Pada mulanya, shalat ditawarkan sebanyak 40 kali sehari, dan kemudian pada akhirnya berkurang menjadi lima kali saja. Mengapa lima?
Rasulullah, Muhammad Mustafa (saw), yang paling memahami dan mengerti tentang Al-Qur'an, selalu berdoa lima kali sehari; beliau dan para pengikutnya melaksanakan shalat di sepanjang hidup mereka. Dari sini dapat difahami bahwa shalat adalah sesuatu yang dijalani dan dirasakan bukannya sekedar dilakukan.
Mari menyadari peringatan “celakalah orang-orang yang lalai dengan shalatnya”. Yakni dengan mengingat pula perkataan, “Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa al- Fatihah”; orang yang melaksanakan shalat mesti merenungkan dan merasakan makna dari ayat-ayat yang sedang dibacanya di dalam shalat. Perenungan inilah yang memungkinkan pelakunya memasuki esensi dari shalat. Melalui perenungan meditatif ini, pelaku akan menyadari bahwa tubuh mereka hanyalah wahana sementara bagi mereka, dan bahwa mereka adalah 'khalifah' yang dianugerahi potensi-potensi 'agung' yang perlu digali dan diaktualisasikan dari potensi tidurnya sebelum beralih ke kehidupan akhirat.
Realisasi dan kegiatan mengingat ini membentuk aktivitas intelektual dalam ingatan jangka-pendek dan mendorong kehidupan seseorang ke arah data yang baru diperoleh, untuk periode waktu tertentu. Selama jam-jam terjaga, periode ini terbagi menjadi 5 bagian. Karenanya, bergantung pada kinerja ingatan jangka-pendeknya, pelaku menghabiskan masa hidupnya dalam 'iman', hingga periode berikutnya!
Bahkan, shalat tidak terbatasi oleh periode waktu. Setiap periode memiliki shalatnya sendiri.
Orang bisa saja membaca ajaran agama kata per kata, menghafal jalan Sufi dan menyimpannya dalam ingatan jangka- panjang sedemikian rupa sehingga dapat diingat kembali saat diperlukan, seperti halnya komputer. Karenanya, mereka bisa nampak 'seperti orang suci', padahal kenyataannya tidak lebih dari seorang filsuf!
Jika selama evaluasi mereka pada saat sekarang ini kesadaran mereka tidak mencegah mereka terperangkap oleh dorongan-dorongan jasmaniah, atau jika emosi- emosi mereka menyebabkan mereka menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan logika mereka, juga dengan kecerdasan dan 'ilmu keimanan' yang tersimpan di dalam ingatan jangka- panjang mereka, ini akan membuat mereka buta dan bertindak tanpa melihat realitas keimanan. Untuk orang 'tanpa iman' ini, 'merasakan' kematian bahkan bukan sebagai pilihan! Mereka akan meninggal dan dibangkitkan sebagai orang yang 'tidak beriman.'
Oleh karena itu, kalah oleh dorongan-dorongan jasmaniah dan emosi-emosi serta berperilaku yang merusak kecerdasan merupakan isyarat yang nyata bahwa seseorang tidak memiliki keimanan terhadap wujud non-materi yang akan hidup abadi setelah kematian. Pengalaman kematian dari orang semacam itu akan selaras dengan ahwal (keadaan) 'tanpa iman' di dalam ingatan jangka-pendek mereka, sebanyak apapun jumlah orang yang tertarik akan ilmu dan perkataannya serta atribut perilaku orang-suci yang disandangkan kepadanya.
Ini adalah topik yang sangat luas; saya hanya berbagi mengenai gambaran umum dari pemahaman saya terhadapnya. Pemikiran yang lebih jauh pastinya akan sangat membantu dalam menggali lebih banyak hal lainnya...
Apakah kita pernah memikirkan sejauh mana ketidakseimbangan kolesterol dan hormonal yang tinggi bisa mempengaruhi kinerja otak dan psikologi kita?
Pernahkah kita berpikir bagaimana ketidakseim- bangan metabolik karena mengk onsumsi makanan yang berbahaya bagi liver dapat merusak energi biokimia otak kita, dan kemudian mengakibatkan kerusakan psikolo- gis?
Telah saya katakan, ini adalah topik yang sangat luas. Tingkat pengetahuan manusia saat ini dalam bidang ini bagaikan melakukan bedah otak menggunakan kapak!
Menjauhkan diri dari apa-apa yang membahayakan keseimbangan otak, liver dan hormonal kita mungkin akan memberikan peruntungan yang tak terbayangkan bagi kita di akhirat...
Mari kita renungkan...
28 Juni 2003
Raleigh – NC, USA