Meracuni Sumur
Kini dia telah bertambah usia, dia berusaha mengangkat sendiri ember penuhnya... Ketika dia berusaha keras membawa air itu kepada kelompok sukunya, dia tidak peduli dengan air menetes dari ember tuanya yang bocor, meskipun terasa mengurangi bebannya... Tapi ketika dia sampai kepada sukunya, airnya hampir habis karena bocoran itu. Tentu saja dia tak mungkin kembali kepada kaumnya dengan ember kosong! Maka dia penuhi embernya dengan air kotor terdekat dan mempersembahkannya kepada sukunya sebagai air dari 'sumber' mata air murni.
Dari rasa dan keleruhannya, hanya sedikit yang bisa menilai dan mengatakan bahwa itu bukan air yang murni. Kebanyakan tidak mengetahuinya, karena mereka tidak mengetahui apa yang disebut air murni. Mereka tidak pernah pergi ke 'sumbernya'. Meskipun demikian, dengan mempercayai laki-laki tua itu, kaum itu meminum air kotor itu dengan berpikiran bahwa itu air murni, dan mulai menyampaikan kepada yang lain, rasa air murni!” “seperti inilah rupa dan Sejalan dengan bertambahnya usia, kerja otak melamban dan kurang efisien... Kecerdasan pun berkurang dan tak mampu memahami hal-hal tertentu dengan sepenuhnya...
Terutama ketika anak-anak muda mengajukan peranyaan- peranyaan yang sangat kabur... Pada akhirnya, orang dengan gagap membuat-buat dan memberikan jawaban yang bukan-bukan, sebagai usaha perbaikan terhadap topik utamanya. Semuanya karena hubungan dengan sumbernya telah rusak; semuanya karena orang tidak mengetahui sumbernya...
Beberapa di antaranya, untuk melindungi dari prasangka (bahaya) bahkan memaksakan ide-ide seperti:
“Sumbernya suci! Jangan ganggu sumber sucinya! Kami di sini dan siap membantu Anda dalam segala hal..”
Tapi, apabila jawaban mereka bertentangan dengan ilmu yang tertulis dari sumbernya, mereka mulai menutupi dan mengubah informasi di sumbernya dengan penafsiran menggelikan seperti:
“Benar, sumbernya mengatakan demikian, namun bukan itu yang dimaksud sumbernya... Sumbernya mengatakan demikian karena kalian tidak akan memahaminya dengan cara lain. Apa yang ingin dikatakan sebenarnya adalah begini..”
Karenanya, informasi yang diberikan oleh sumbernya kemudian disalahtafsirkan, dipelintir dan dibelokkan.
Alasannya sederhana.
Jika seseorang bukan merupakan sumber, dan tidak mampu memahami sumber-sumber lainnya, mereka akan mencoba menyelesaikan suatu hal dalam patameter-prameter tak-logisnya, dan apabila solusi-solusi tambalannya tidak bersesuaian dengan ilmu sumber aslinya, mereka memelintirnya dan mulai memberikan penafsiran agar membuatnya sejalan dengan kebenaran mereka sendiri!
Saya rasa dan saya pikir, tidak ada yang beda tentang apa yang saya tulis di tahun 1966 dalam buku pertama saya Pewahyuan dan yang sekarang. Apa yang saya katakan 15 tahun yang lalu dan apa yang saya katakan dan tulis dewasa ini semuanya sama. Satu- satunya alasan mengapa pikiran saya dituliskan, ucapan saya direkam secara audio dan video, adalah untuk mencegah agar informasi yang saya singkap dalam pembicaraan-pembicaraan saya tidak berubah sejalan dengan waktu.
Yang telah saya katakan dan saya tulis di masa lalu adalah yang saya katakan dan tulis sekarang ini. Ini adalah ketentuan dari tanggung-jawab yang saya rasakan kepada Rasulullah (sa w) dan merupakan berkat dari Allah.
Saya tuliskan setiap kata dalam tulisan saya dengan kesadaran bahwa pada suatu hari saya akan berhadapan dengan Rasulullah (saw) dan mempertanggungja wabkan segala sesuatu yang saya sampaikan.
Jika saya membuat kesalahan, sayalah yang bertanggungjawab.
Tapi tidak ada satu orang pun yang berhak mengubah atau memelintir tulisan atau pembicaraan saya agar sesuai dengan idenya sendiri!
Itulah mengapa dikatakan kepada manusia:
“Jika Anda tidak cukup cerdas, maka sedikitnya percayalah!”
Sayangnya, ketika seseorang tidak memiliki keimanan dan kecerdasan, hasilnya berupa pencemaran terhadap sumbernya!
Saya mohon... Janganlah meracuni sumurnya! Jangan mencemari subernya!