Pembaca yang terhormat…
Junaid al-Bagdadi pernah berkata, “Air mengambil warna dari cangkirnya” … Ini bisa dimengerti ketika Anda mulai memahami maksud beliau sebenarnya. Air mengambil bentuk, rasa dan warna dari cangkir dimana ia berada. Menurut sifat alami cangkir, air berubah rasa, bentuk dan warna.
“Sungguh, kamu tidak mengetahui ini (kamu hidup di dalam kepompongmu), dan Kami menghilangkan darimu hijabmu, maka penglihatanmu, mulai saat ini menjadi tajam.”[1]
Ini adalah maqom dimana ayat ini akan mewujud dan Anda akan mulai melihat Kebenaran.
Para pembaca yang terhormat, ketahuilah bahwa…
Kebenaran adalah Kebenaran yang sama, selalu begitu… Yang berbeda hanyalah tingkat pemahaman dari mereka yang melihatnya…
Air adalah air yang sama, yang berbeda adalah kerannya… Pelajarilah tentang air, tapi cobalah juga untuk memahami esensinya!
Jika telah ditunjukkan kepada Anda samudera, jangan menyangkal apa yang ada di dalam cangkir; jika telah ditunjukkan kepada Anda apa yang ada di dalam teko, jangan menyangkal apa yang ada di dalam uap; jika telah ditunjukkan kepada Anda uap, jangan menyangkal dengan awan… Walaupun nama dan bentuk beragam, esensinya tetap sama.
Berusahalah untuk meraih ilmu sebanyak mungkin dari sedikit perkataan agar Anda bisa meraih kematangan dengan cepat.
Tapi kini, tidak seorang pun pernah mencapai ujung jalan, kecuali mereka yang telah menjadi titik-titik air di samudera. Jangan pernah mengatakan, “Aku di dalam danau, aku aman”, tapi berusahalah untuk mencapai sungai, kemudian mencapai samudera agar Anda juga menjadi setitik air di dalamnya. Karena banyak danau dan kolam telah kering dan lenyap di masa lalu, beda halnya dengan samudera.
Jika Anda mencoba untuk mencatat apa yang Anda lihat di sana, walau semua samudera dan sejenisnya menjadi tinta, semuanya akan habis sebelum satu kata pun dituliskan – tiada tangan atau lisan ataupun kesadaran memadai untuk memahaminya.
Jika setelah peleburan ini Anda ditugaskan untuk kembali, segalanya akan kembali ke tempatnya. Anda akan mulai lagi mengatakan ‘Aku’ dan ‘kamu’, tapi kali ini Anda akan tahu siapa yang sebenarnya Anda panggil.
Pembaca yang terhormat…
Jangan pernah menilai siapapun atau apapun dari penampilannya agar Anda tidak tertipu!
Setan hanya melihat luaran Adam dan terperosok kedalam kesalahan yang ceroboh karena menilai beliau berdasarkan wujud luarnya.
Dia mengatakan, “Dia diciptakan dari tanah sedangkan aku diciptakan dari api… Api lebih unggul dari tanah, karenanya aku lebih unggul dari Adam” dan menolak untuk bersujud kepada Adam.
Kendati memiliki ilmu, dia gagal mengenal Adam bahwa Allah telah memberi Adam Kebenaran Agung, yang tidak dia miliki dan tidak diketahuinya, dan dia menyangkal ketidakmampuannya untuk mengenal itu.
Sedangkan Allah mengatakan:
“Maka, setelah Aku menakar dia (membentuk otaknya) dan meniupkan kedalamnya (mewujud melalui dia; kata ‘meniupkan’ berarti berproyeksi secara eksplisit, mewujud, bermaterialisasi) ruhKu (Nama-namaKu) …”[2]
Setan pada hakikatnya diminta untuk tidak memandang tampilan luar Adam dan seolah bersujud saja kepadanya, meski sebenarnya bersujud kepada Allah. Tapi dia tidak bisa menerima apa yang tidak bisa dilihatnya. Dia membatasi hal-hal hanya pada apa yang bisa dilihatnya dan menolak kemungkinan lain di luar kapasitas inderanya. Karenanya dia menjadi kafir, atau penutup Kebenaran.
Kebenaran ditutupi oleh orang-orang yang tidak mengetahuinya, atau oleh mereka yang tidak menginginkan kritikan dari mereka yang tidak memahaminya! Keduanya sama-sama menutupi kebenaran. Yang pertama merupakan sikap tidak percaya sedangkan yang ke dua dari kesadaran absolut seperti halnya para nabi dan orang-orang yang tulus (siddiq).
Jadi, jangan pernah menolak apapun yang otak Anda tidak mampu untuk memahaminya. Katakan saja:
“Kami percaya, semua ini berasal dari Rabb kami.”[3]
Dan berusahalah untuk menjadi para ahli realita; yakni orang-orang yang telah mencapai hakikat.
Ketahuilah bahwa orang yang menerapkan ilmunya bukanlah orang yang mendengar, membaca, dan belajar, melainkan orang yang memahami.
Banyak orang yang telah mendengar Kebenaran atau membaca karya para guru-guru yang tercerahkan, namun tidak mampu memahami. Mereka gagal untuk memahami realita, dan karenanya berusaha mengingkari, bahkan menyalahkannya.
Jangan menjadi peniru, tapi jadilah seorang pengamal.
Jangan menjadi pembaca, tapi jadilah seorang yang dibacakan.
Para pembaca yang terhormat…
Dikatakan bahwa, “Para waliku ada di bawah kubahku, tidak ada yang tahu siapa mereka” … Tahukah Anda siapa mereka?
Ada sebagian hamba yang menjauhkan diri dari dunia dan akhirat: mereka tenggelam di kedalaman samudera dan menjadi setetes air darinya.
Mereka telah “bermoral dengan moralnya Allah” dan tidak lagi peduli dengan menginginkan atau tidak menginginkan.
Ketika Rabb mereka bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka menjawab, “Apapun yang Engkau kehendaki,” karena telah memahami di tahap sebelumnya bahwa menginginkan untuk ‘tidak menginginkan’ pun merupakan bentuk keinginan! Hal ini pun mereka tinggalkan. Bisakan setetes air meminta kepada samudera untuk membawanya kesana dan kemari? Dia hanya pergi kemana sang ombak membawanya. Jika realita adalah samudera, bisakah kita mengatakan bahwa ombak sebagai manifestasi, cerminan dari ilahi?
Mereka lah orang-orang yang hidup sebagai cerminan rahmat ilahi bagi mahluk lainnya. Rahmat mencapai mahluk melalui mereka.
“Sungguh, rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan (rahmat Allah mencapai Anda melalui tangan yang menyampaikannya).”[4]