Aminah Meninggal
Beberapa hari setelah kejadian ini, Aminah memutuskan untuk pulang.
Itu adalah hari ke empat atau ke lima mereka berada di gurun menuju kembali ke Mekah, ketika Aminah tiba-tiba jatuh sakit dan mengalami demam. Suhu tubuhnya begitu tinggi ke titik dimana dia hampir-hampir kehilangan kesadaran dan membuatnya jatuh. Untuk beberapa saat dia merasa lebih baik sebelum terkena serangan berikutnya.
Dalam kondisi ini, mereka hampir tidak bisa mencapai dusun terdekat yang disebut Abwa. Aminah mengalami kejang-keang yang semakin parah dan semakin sering. Guru kita, yang masih berusia enam tahun pada saat itu, sangat berduka dengan situasi yang menyakitkan itu. Beliau tidak ingin jauh dari sisi ibunya bahkan untuk sesaat pun. Terkadang mereka memaksa beliau untuk mencari angin tapi hanya sebentar beliau segera kembali ke sisinya.
Akhirnya, kondisi Aminah mencapai tahap puncaknya. Di saat-saat terakhirnya, dengan sangat sukar, beliau memutar kepalanya kearah putranya dan berkata:
“Setiap bentuk kehidupan akan mengalami kematian; setiap yang baru akan menjadi tua. Aku telah mengisi waktuku dan aku pun akan mati. Jika apa yang Allah tunjukkan kepadaku dalam mimpiku benar, engkau sungguh akan menjadi Rasul itu… Betapa terhormatnya aku bahwa Allah telah membuatku memiliki seorang putra seperti engkau… Aku akan mati, tapi Allah abadi! Karena Dia menciptakanmu, maka Dia juga akan membesarkanmu!”
Suaranya menjadi semakin lemah, kelopak matanya bertambah berat, hingga akhirnya dengan nafas terakhirnya beliau menutup matanya dan kepalanya pun terkulai ke samping…
Guru kita kini menjadi yatim piatu… Beliau kehilangan ayahnya sebelum beliau lahir, dan kini pada usia 6 tahun, beliau menyaksikan kematian ibundanya tersayang…
Esok harinya, setelah pemakaman Aminah di dusun Abwa, Muhammad dan pengasuhnya Ummu Aiman berangkat ke Mekah. Ummu Aiman sendiri belum cukup umur untuk bepergian melewati gurun dengan seorang anak kecil. Namun dengan pertolongan Allah, mereka bisa sampai ke mekah dengan selamat lahir-batin. Setelah lima hari perjalanan melewati gurun, mereka akhirnya sampai ke rumah.
Ketika Abdul Muthalib melihat mereka, wajahnya nampak pucat. Jelas sesuatu yang buruk telah terjadi!
“Apa yang terjadi wahai Ummu Aiman, apakah engkau membawa kabar buruk?”
Muhammad berlari ke arah kakeknya, tak mampu menahan air-matanya lagi ketika Ummu Aiman berusaha menjelaskan situasinya sambil bercucuran air mata…
Abdul Muthalib memeluk erat-erat cucunya sambil meneteskan air matanya…
“Bayiku sayang, cucuku yang paling berharga… Pertama engkau kehilangan ayahmu, dan kini engkau kehilangan ibumu… Sayangku, cucuku yang malang…”
Mereka semua menangis dalam duka.