Di Perjalanan Ke Damaskus
Mereka meninggalkan Mekah dan sampai ke Madinah…
Ketika mereka melewati Madinah, Guru kita terkenang dengan tempat dimana ibu dan ayahnya dimakamkan dan semua pengalaman yang dialaminya di sana… Hatinya terenyuh…
Kafilah itu bergerak menuju Utara dan setiap hari semakin jauh dari Hijaz dan mendekati Damaskus… Gurun pasir, angin dan bukit pasir yang berpindah-pindah setiap harinya kini berada di belakang mereka… Apabila mereka berhenti di malam hari untuk beristirahat, para kafilah yang lebih berpengalaman akan berbagi kisah yang menarik dari perjalanan dan apa yang telah mereka jumpai di masa lalu…
Mereka telah melewati Madyan dan Wadi al-Qura dan akhirnya tiba di Siria… Ketika sampai di Basra, mereka berhenti di lapangan yang luas dari biara Pendeta Bahira. Bahira, aslinya Yahudi, adalah pendeta mualaf yang nama aslinya adalah Sarjis. Dia adalah salah seorang dari ulama Yahudi terkemuka. Ada sebuah kitab di biara itu yang mengandung informasi penting mengenai masa depan, berdasarkan ajaran Isa as.
Pada suatu hari, Bahira sedang menyepi di ruang tirakat, seperti yang biasa dia lakukan, untuk mempelajari kitab-kitabnya, ketika suara denting lonceng yang tiba-tiba membuatnya terkejut… Itu pasti sebuah kafilah dagang pikirnya… Dia meninggalkan kitab-kitabnya dan melongok ke luar jendela. Sebuah kafilah yang cukup besar sedang mendekati biara. Dia mengawasi beberapa lama lalu melihat sesuatu yang aneh!
Ketika kafilah itu bergerak, sebuah awan ikut bergerak!
Ini sungguh ganjil. Apakah itu dia, ataukah sungguh ada awan yang mengikuti kafilah? Dia mengamati lebih dekat. Sungguh, ada sebuah awan tepat di atas kafilah itu dan mengikutinya! Ketika kafilah itu berhenti untuk menemukan tempat istirahat, awan itu pun berhenti. Ketika kafilah itu bergerak menuju pepohonan, awan itu pun ikut bergerak!
Ada sesuatu dengan ini!
Kemudian seseorang memisahkan diri dari kafilah, berlari ke bawah pohon dan berbaring. Pada ketika itu sesuatu yang luar biasa terjadi! Cabang-cabang pohon tiba-tiba menjadi hijau dan bergabung membuat naungan bagi orang yang berbaring di bawahnya…
Jelas ada misteri besar dan hikmah padanya. Bahira mesti menemukan cara untuk menemui orang ini. Mungkin dia bisa mengundang semua pelancong ke acara makan malam besar…
Dia mengambil salah satu kitab dan membuka-buka lembarannya. Kitab ini mengandung informasi tentang sang Nabi yang akan muncul di akhir jaman. Setelah memeriksa dan membaca kitabnya beberapa lama, dia menemukan apa yang dicarinya… Dengan sangat bersemangat dia membaca semua pasalnya. Maka dia pun memperoleh pengetahuan yang diinginkannya. Dia meletakkan kitabnya dan memberitahu orang-orangnya untuk menyiapkan sebuah pesta besar dan mengundang semua anggota kafilah.
Para kafilah ini terheran-heran, karena mereka sering berhenti di dekat biara ini tapi tidak pernah mendapat undangan dari Pendeta Bahira sebelumnya…
Abu Thalib pun merasa heran dengan undangan ini karena dia tahu bahwa pendeta bukanlah orang yang biasa membuat undangan dan acara sosial besar. Namun demikian, dia tidak melihat adanya bahaya untuk memenuhi undangan ini. Dia mengajak semua anggota kafilah dan berangkat menuju jamuan malamnya Bahira.
Bahira menyambut tamu-tamunya, berjabat tangan dengan setiap orang dan menunjukkan tempat duduk mereka. Ketika mereka mengambil tempat duduk di sekitar meja makan, Bahira mengambil peluang untuk mengamati wajah setiap tamunya, tapi ah! Tidak satu pun dari wajah-wajah ini mencerminkan cahaya kenabian…
Apakah dia membuat kesalahan? Dia melihat kembali, satu demi satu dia amati mereka, tapi tidak… tak satu pun memiliki cahaya itu!
Karena bingung, dia mengalihkan pandangannya ke arah karavan dan melihat awan yang sama! Awan itu masih di situ; di atas karavan…
Bahira bertanya, “Wahai kaum Quraisy… Adakah seseorang di karavan kalian yang tidak datang ke perjamuan ini?”
Mereka menjawab, “Wahai Bahira, semua orang di karavan kami ada di sini! Hanya ada seorang anak kecil yang tinggal untuk menjaga barang-barang kami, dia berbaring di bawah pohon dekat karavan.”
Bahira sangat sedih. Pesta ini disiapkan untuk seorang anak kecil. Dan dia bahkan tidak hadir!
Dengan sopan dia meminta, “Tolong bawa dia kemari… Jangan cegah dia mendapat bagiannya, walau bagaimanapun, setiap orang berhak mendapat bagiannya, dan tidak seorang pun bisa meraih lebih dari jatahnya…”
Haris, salah seorang kafilah, berdiri dan berkata, “Aku bersumpah demi Latta dan Uzza, sungguh memalukan kita ini bahwa Muhammad, bin Abdullah, cucunya Abdul Muthalib tidak hadir bersama kita!” lalu dia pun berjalan ke arah karavan…