Doa Abdulmuthalib…
Kini Muhammad berusia lima tahun. Halimah dan suaminya Haris mengembalikan guru kita ke Mekah untuk selamanya. Namun inipun dengan tantangan.
Karena mereka berangkat di akhir pagi, ketika sampai di Mekah, kegelapan malam telah lama terlewati. Namun begitu, jalan-jalan di kota Mekah cukup ramai… Ketika mereka mencoba menembus keramaian, di satu titik, Halimah baru sadar bahwa Guru kita tidak berada di sisinya.
“Kemana dia menghilang kali ini!? Halimah berpikir dengan cemas, sambil melangkah bersama suaminya mencarinya. Mereka menyusuri semua jalan, melewati kerumunan orang, juga di jalur-jalur yang sepi. Tapi sungguh sangat mencemaskan, beliau tidak ditemukan dimana pun! Sang anak yang diamanatkan kepadanya hilang! Di kala mereka akan mengembalikannya dalam keadaan selamat lahir-batin, bagaimana dan mengapa hal ini terjadi?
“Halimah, kupikir kita mesti menemui Abdul Muthalib dan menceritakan kepadanya agar kita semua bisa mencarinya bersama-sama, mungkin itu memudahkan kita untuk mencarinya…”
Mereka bergegas menuju Abdul Muthalib dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Bersama-sama beberapa orangnya Abdul Muthalib, mereka mencari dan memeriksa ke setiap sudut kota, lagi dan lagi. Tapi tidak, beliau tidak ditemukan dimana pun! Mereka mencari berjam-jam namun tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya sama sekali!
Akhirnya, Abdul Muthalib pergi menuju Kabah, berlutut di depan pintunya dan mulai berdoa dengan sangat putus asa…
“Ya Allah! Engkau lah yang mengilhamkan kepadaku untuk menamainya Muhammad! Engkau lah yang memberikan dia kepada kami! Aku mohon, jangan ambil dia dari kami! Aku mohon, kembalikanlah dia kepada kami…!”
Sementara itu, Waraqah bin Naufal dan beberapa yang lain dari suku Quraisy mencari Guru kita di pegunungan. Ketika dia mencari di setiap sela-sela batang dan bebatuan, tiba-tiba seorang anak muncul.
Waraqah bertanya dengan rasa ingin tahu, “Siapa engkau , Nak? Apa yang sedang engkau lakukan di sini, di waktu seperti ini?”
“Aku Muhammad, bin Abdullah, bin Abdul Muthalib…”
Beliau ditemukan! Harta pusaka yang hilang ditemukan! Saking gembiranya, mereka segera membawa beliau menuju Kabah, dimana Abdul Muthalib masih khusyu berdoa…
“Wahai Abdul Muthalib! Ya Abdul Muthalib! Kami menemukan cucumu!”
Abdul Muthalib berdiri dengan gembira dan suka-cita…
“Terimakasih ya Rabb! Sungguh Engkau mengabulkan doa semua orang yang berpaling kepadamu secara tulus!”
Kemudian dia berlari menuju mereka dan bertanya, “Siapa engkau, Nak?”
“Aku Muhammad, bin Abdullah, bin Abdulmuthalib!”
Dia memeluk erat cucunya dengan penuh cinta dan kegembiraan…
“Dan aku adalah kakekmu, sayangku! Aku kakekmu cintaku, cahaya mataku!”
Keduanya, Abdul Muthalib dan Guru kita menangis sambil berpelukan dengan penuh rasa syukur…
Setahun kemudian, ketika Guru kita berusia 6 tahun, Aminah mengusulkan kepada ayah mertuanya, Abdul Muthalib, “Ayah, Muhammad dicintai dan sangat diperhatikan oleh kakeknya dan paman-paman dari ayahnya, dan aku sangat bersyukur karenanya. Namun, aku juga ingin dia menemui paman-paman dari ibunya agar mereka pun mencintai dan peduli kepadanya dengan selayaknya. Jika engkau mengijinkan, aku akan membawa dia ke Yatsrib untuk menemui paman-pamannya di sana…”
Abdul Muthalib setuju dengan Aminah dan berkata, “Engkau benar Aminah, pergilah dengan baik-baik dan kembalilah dengan keadaan baik-baik pula…”
Dua hari kemudian, Aminah berangkat ke Yatsrib bersama Muhammad dan pengasuhnya, Ummu Aiman.
Sepupu Aminah, Najjar, dan putra-putranya tinggal di Yatsrib. Mereka adalah keturunan dari pamannya. Segera setelah sampai di Yatsrib, Aminah berhenti di sebuah tempat yang disebut Darun-Nalga dan menuju ke rumah sepupunya. Yang penting dari rumah ini adalah tempat dimana ayah Muhammad, Abdullah, dimakamkan.
Aminah menoleh kepada putranya dan berkata, “Anakku sayang, makam ayahmu di sini. Ayahmu memiliki karakter dan fitrah yang elok. Kakekmu sangat menyayanginya, itu sebabnya beliau sangat mencintaimu. Pada suatu hari, ayahmu melakukan perjalanan usaha ke Damaskus bersama sebuah kafilah… Di saat kembali, dia berhenti di Yatsrib untuk tinggal bersama paman-pamanmu beberapa hari. Sayangnya, dia tiba-tiba sakit berat dan dalam beberapa hari kami kehilangan dia. Itu sebabnya dia dimakamkan di sini…”
Guru kita merasakan kesedihan yang mendalam untuk pertama kalinya… Karena beliau kemudian memahami apa artinya tidak mempunyai seorang ayah. Kesedihan seorang anak yatim muncul dengan sendirinya. Matanya berkaca-kaca dan dua tetesan besar mengalir melalui pipi beliau… Dengan perlahan dia terisak dan memeluk ibunya, menekan wajahnya ke dada ibunya yang penuh kasih sayang…
Siapa yang bisa tahu kenapa Abdullah meninggal dan dimakamkan di Yatsrib? Siapa yang bisa tahu di kemudian hari anaknya akan berhijrah ke Yatsrib sebagai RASUL ALLAH, tempat yang kemudian berganti nama menjadi Madinah, dimana beliau akan sering mengunjungi ayahnya, dan akhirnya pada suatu hari keduanya, ayah dan anak, akan beristirahat selamanya di kota yang sama…?