Cetak halaman

Kisah Pasukan Gajah

Akhirnya, Justinian 1, kaisar Bizantium yang beragama Kristen mendengar penyiksaan terhadap orang-orang Kristen itu. Dia merasa terganggu dan menulis surat kepada Raja Abisinia Negus untuk membalaskan dendam bagi orang-orang Kristen, karena terlalu jauh dan mustahil pada saat itu baginya untuk melakukan perjalanan ke Yaman. Sementara Raja Abisinia Negus bertetangga dengan Yaman, sehingga tidak akan berat baginya untuk melakukan itu.

Merespons permintaan ini, Raja Negus mengirimkan 70 ribu tentara ke Yaman untuk menyerang Zu Navas. Pasukan itu dipimpin oleh seorang komandan bernama Aryad, yang dalam waktu singkat menyerbu Yaman dan menimbulkan pembantaian besar-besaran di lingkungan sekitar.

Zu Navas dikalahkan. Ketika tidak melihat jalan keluar, dia melarikan kudanya ke laut dan melakukan bunuh diri. Aryad terus melakukan pembantaian dengan kejam hingga tidak menyisakan seorang pun darinya.

Dengan tidak berdaya dan putus asa, rakyat meminta Abrahah untuk menyelamatkan mereka, yang kemudian menyerang Aryad. Setelah pertempuran berdarah yang panjang, Abrahah membunuh Aryad dan menguasai Yaman.

Abrahah kemudian menjadi penguasa tunggal dari Himyar.

Namun, ketika Raja Negus mendengar ini, dia merasa terhina; dia menganggapnya sebagai pemberontakan terhadapnya lalu bersumpah, “Jika aku tidak menggunduli kepalanya dan menginjak tanahnya, semoga terkutuk jalanku!”

Tidak lama setelah Abrahah menerima berita ini… Dia segera mencukur rambutnya dan memasukkannya ke dalam sebuah katong, dan mengisi kantong yang lain dengan tanah Yaman dan mengirimkannya kepada Raja Negus.

Petisi Abrahah sebagai berikut:

“Wahai Sultan dari para Sultan!

Aryad itu pelayanmu, begitu juga aku… Dia melakukan kekejaman yang mengerikan di Yaman yang akan mempermalukan dan menghinakan Negus. Tak tahan lagi dengan perilakunya itu, aku terpaksa melakukan tindakan dan menghentikannya agar tidak mempermalukan namamu. Tujuanku adalah menjunjung tinggi perintahmu dan kemuliaanmu di Himyar, bahkan lebih dari itu. Aku mendengar sumpah Anda mengenai pelayanmu, karenanya aku kirimkan semua rambutku dan juga tanah Yaman. Taruhlah itu di bawah kaki Anda dan injaklah agar sumpahmu terlaksana.

Pelayanmu Abrahah…”

Merasa tersanjung, Raja Negus mengirimkan kata ampunan dan memerintahkan kepadanya untuk tinggal di sana beberapa lama lagi.

 

Ibu kota Afrika Selatan pada saat itu adalah Sana. Namun begitu, kaum musyrikin akan mengunjungi Kabah selama musim ziarah. Ini membuat Abrahah berpikir… Bagaimana bisa begitu banyak orang yang mau melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk mengunjungi bangunan berdinding empat yang terisi batu-batu dan berhala-berhala?

Dia bertanya kepada orang-orang yang berada di bawah pelayanannya, “Bangunan itu terbuat dari apa?”

Mereka menjawab, “Bebatuan!”

“Dan diselimuti dengan apa?”

“Dengan kain belang-belang dari Yaman.”

Kemudian Abrahah bersumpah dengan nama Yesus bahwa dia akan membangun yang lebih unggul dari itu.

Pembangunan pun segera dilaksanakan. Dalam waktu singkat, sebuah gereja tanpa tanding berdiri dengan sebutan Al-Kilis, satu-satunya di jazirah Arab…

Batu-batunya dibawa dari reruntuhan Balkis, tiang-tiang marmer berharga dipasang di dalamnya dan dinding-dindingnya diselimuti dengan mosaik yang luar biasa… Pintu-pintunya terbuat dari pelat-pelat perungu yang dilekatkan dengan paku-paku dari emas dan perak. Lantai-lantainya dihias dengan marmer-marmer besar berwarna-warni. Pintu menuju altar dihiasi dengan batu-batu mulia dan kayu salib di gereja itu memiliki intan-intan besar di tengah-tengahnya.

Ketika pembangunan selesai, Abrahah mengumumkan bahwa gereja Kristen terbesar telah dibangun dan mengundang, atau lebih tepatnya memaksa, setiap orang untuk mengunjunginya, termasuk para pejiarah yang datang mengunjungi Kabah.

Pemaksaan itu menimbulkan perlawanan dan sejalan dengan waktu orang-orang mulai mengeluh. Akhirnya, pada suatu malam, seseorang yang bernama Nufail memasuki gereja itu dan membuang hajat di depan altar. Dia kemudian berlalu tanpa seorang pun mengetahuinya.

Esok paginya ketika para penjaga membuka gereja itu dan mendapati kotoran manusia di depan altar, mereka berlari menuju Abrahah untuk melapor. Abrahah sangat murka. Dia bersumpah, “Mereka melakukan ini karena aku memalingkan mereka dari Kabah Arab! Aku bersumpah akan meruntuhkan Kabah mereka hingga rata dengan tanah!”

Abrahah mengumpulkan 60 ribu tentara dan berbaris menuju Kabah. Pasukan tentara ini dipimpin oleh monster gajah hibrida bernama Mahmud, yang dikirim oleh Raja Negus sebagai perkuatan, yang dibelakangnya diikuti oleh 12 gajah biasa…

Di perjalanan, sebuah suku arab mencoba menghentikan mereka, akan tapi tidak berhasil. Tentara Abrahah menyerbu ke arah Mekah tiada tertahan. Pasukan tentara ini berhenti di Thaif, dimana mereka disambut baik oleh para pemimpinnya dan didukung oleh seorang pemandu.

Di masa lampau penduduk Thaif tidak pernah berpihak kepada kebenaran. Di kemudian hari, mereka pun akan menimbulkan salah satu penderitaan besar kepada Guru kita Muhammad saw.

Pasukan tentara ini berhenti dalam jarak setengah hari dari Mekah untuk menginap dan beristirahat. Sementara itu, Abrahah menugaskan seorang utusan dengan salah seorang komandan untuk menyelidiki area sekitar Mekah. Utusan itu, bersama suku Tihamah, menjarah barang-barang  milik para kafilah termasuk 200 ekor unta milik Abdul Mutholib, kakek dari guru kita, lalu kembali kepada Abrahah…

Salah seorang dari kafilah yang melihat kejadian ini berlari menuju Abdul Mutholib dan memberitahukan situasi saat itu. Mengetahui ini, Abdul Mutholib segera berangkat menuju pangkalan Abrahah.

Di sana, dia mendapati Zu Nafr, pemimpin dari salah satu suku yang melawan Abrahah di perjalanan, yang kini jadi tawanan. Dia menjelaskan situasinya dan meminta nasihat kepadanya.

Zu Nafr mengatakan kepada Abdul Muthalib untuk menemui Nufail, seorang pengendara unta, untuk menyampaikan salam dan meminta kepadanya untuk menyusun pertemuan dengan Abrahah…

Abdul Muthalib menemui Nufail, menjelaskan situasinya dan memintanya untuk menyusun pertemuan dengan Abrahah.

Nufail membawa Abdul Muthalib dan menuju tenda Abrahah. Dia masuk ke tenda sendirian dan berkata, “Wahai Sultan yang agung! Penguasa Quraisy, pemimpin umatnya, Abdul Muthalib datang untuk mengunjungi Anda, dia menunggu ijin Anda untuk masuk. Mohon sudi kiranya untuk menerima kehadirannya…”

Abrahah tidak mempunyai urusan dengan penduduk Mekah, maka dia pun menerima masuk Abdul Muthalib ke tendanya.

Ketika Abdul Muthalib masuk, secara tanpa sadar Abrahah berdiri. Abdul Muthalib mempunyai kharisma besar yang tidak terindera oleh Abrahah… Dia berjalan menuju Abdul Muthalib dan berkata, “Selamat datang pemimpin Mekah!” dan mempersilakan duduk di kasur di samping singgasananya, kemudian duduk di sampingnya. Mereka mulai bercakap dengan bantuan seorang penerjemah….

“Katakan padaku! Apa yang Anda inginkan dariku?”

Abdulmuthalib menjelaskan, “Utusan Anda menyerang lingkungan kami dan menjarah 200 ekor unta saya. Saya mohon Anda mengembalikan unta-unta saya…”

Wajah Abrahah langsung masam…

“Ketika Anda memasuki tendaku, Anda kelihatan sebagai orang besar! Tapi sekarang, setelah mendengar permintaan Anda, Anda tidak lebih berharga di mataku dibanding seekor nyamuk… Karena aku datang untuk meratakan milik Anda yang paling berharga, warisan leluhur Anda, Kabah itu! Bukannya memintaku mundur dan menyelamatkan Kabah, malah Anda meminta kembali unta-unta Anda?!”

Abdul Muthalib tersenyum dan berbicara dengan jelas:

“Apa salahnya dengan itu wahai Sultan? Aku memiliki unta-unta itu dan bertanggungjawab atas perlindungan mereka. Karena itulah saya meminta Anda mengembalikannya. Adapun mengenai Kabah, itu milik Allah, maka tanggung jawab Allah lah untuk melindunginya!

Abrahah marah sekali.

“Tiada kekuatan yang bisa melindungi Kabah terhadapku!”

Jawaban Abdul Mutholib sederhana dan jelas:

“Itu bukan urusanku. Itu antara Anda dan Allah, sang pemilik Kabah!

Abrahah pun memerintahkan untuk mengembalikan unta-unta itu kepada Abdul Muthalib, kemudian memerintahkan kepada tentaranya untuk bersiap menyerang Kabah sesegera mungkin.

Ketika Abdul Muthalib kembali ke Mekah, dia menyampaikan kepada penduduk Mekah bahwa Abrahah memutuskan untuk menyerang Mekah dan meruntuhkan Kabah apapun yang terjadi. Dia menginstruksikan kepada mereka untuk membawa harta mereka yang paling berharga dan mundur ke pegunungan.

Kemudian dia berpegangan pada simpai Kabah dan berdoa:

“Ya Ilahi! Bahkan seorang hamba pun melindungi rakyatnya dan anak-anaknya. Dengarlah tangisan dan ratapan kami! Ya Ilahi, lindungi rumahMu agar orang-orang jahat tidak menghancurkannya! Kami memohon keselamatan Kabah dari Engkau semata, jangan hentikan karuniaMu kepada kami, bahkan untuk sesaat! Hinakanlah Negus dengan murkaMu, jangan biarkan nenek-moyang Quraisy tersiksa di alam kubur mereka! Jika kiblat kami (Kabah) diambil Negus, itupun dari ketetapanMu, tapi jangan biarkan kami menyaksikannya!”

Setelah menyelesaikan doanya, Abdul Muthalib membawa keluarganya mundur ke pegunungan, dimana semua penduduk Quraisy bermalam. Ketika fajar tiba, penduduk Quraisy memandang ke arah pangkalan Abrahah dari kejauhan…

Pasukan yang sangat besar dengan 60.000 tentara, monster gajah raksasa yang diikuti 12 gajah lainnya sedang berbaris menuju Mekah… Setiap orang terpana dan bertanya-tanya… Apakah mereka benar-benar akan meluluh-lantakkan Kabah?

Ketika pasukan tentara itu mendekati Mekah, tiba-tiba pengendara unta di atas Mahmud, si gajah raksasa, meluncur turun melalui belalainya dan membisikkan sesuatu di telinganya. Lalu tiba-tiba, binatang raksasa itu berlutut ke tanah. Bagaimana itu terjadi? Mengapa itu terjadi? Tidak seorang pun yang mengerti! Sementara itu sang pengendara unta berlari ke pegunungan dan menghilang di tengah-tengah tebing batu…

Setiap orang kebingungan! Para pengendara unta lainnya mengambil alih dan mencoba membangunkan sang gajah… Apa pun yang mereka lakukan tidak membuat sang gajah bergerak. Akhirnya, seseorang membuat kepalanya berputar ke arah Yaman. Setelah itu, Mahmud berdiri dan mulai berlari ke arah Yaman.

Para tentara dan para komandan sangat marah. Mereka menaiki unta mereka dan mengejar Mahmud. Mereka membacok kepalanya dengan golok kecil, menariknya dengan kait, dan mencambukinya, namun tidak berhasil! Sang raksasa teguh dengan pendiriannya! Tidak mau pergi ke arah Mekah!

Para tentara termangu-mangu dan kebingungan. Mereka mulai kehilangan keteraturan, dengan putus asa memikirkan mengapa situasi ini terjadi. Lalu tiba-tiba awan-awan hitam mulai muncul di langit dan bergerak mendekati dan semakin mendekati Abrahah dan pasukannya… Pada awalnya, mereka pikir itu pasti hujan, mereka mengambil pakaian tebal dan tikar-tikar anti hujan mereka… Tapi kemudian mereka menyadari bahwa awan-awan hitam itu bukanlah awan, melainkan kawanan burung. Mereka adalah burung-burung Ababil. Masing-masing burung membawa tiga buah batu; satu di paruhnya dan dua di kakinya.

Ini adalah mu’jizat dari sang pemilik Kabah… Sebuah cerminan dari realita ayat yang nantinya diwahyukan kepada Guru kita beberapa tahun kemudian:

“TENTARA-TENTARA LANGIT DAN BUMI KEPUNYAAN ALLAH”[1]

Masing-masing burung Ababil dengan sangat sadar dan bersengaja melemparkan batu ke kepala orang-orang Abisinia… Batu-batu yang dinamai “sijjin” ini menembus kepala mereka dan merusak total tubuh mereka…

Para penduduk Quraisy, yang mengamati dari pegunungan, mulai berpesta sambil terkejut dan teramat bersukaria!

Ada hal yang sangat misteri mengenai batu-batu ini… Siapapun yang terkena olehnya langsung terinfeksi dan terbakar, dan bagian yang terbakar ini terlepas dari tubuhnya. Para tentara tercerai-berai, berlari tanpa arah berusaha menghindar dari burung-burung ini. Di sisi lain, Abraha telah menaiki untanya dan berusaha berlari dengan kaki-tangannya. Lalu tiba-tiba, sebuah batu mengenainya dan tubuhnya langsung terbakar, dan anggota tubuhnya mulai berjatuhan. Dalam waktu singkat, tidak ada yang tersisa dari ke 60.000 tentara itu selain anggota-anggota tubuh yang melepuh dan beberapa orang yang masih menggeliat dan gemetar meregang rasa sakit...

Setelah peristiwa itu mereda dan semua burung berlalu, orang-orang Mekah turun dari pegunungan dan mulai melakukan pesta syukuran, sedangkan sebagian kecil dari mereka yang monoteis berdoa kepada sang pencipta alam semesta dengan khidmat dan penuh rasa syukur…

Inilah Kisah Pasukan Gajah yang terjadi 50 hari sebelum kelahiran Guru kita… Semua penduduk dan pengunjung kota Mekah hadir dan mengalami peristiwa itu. Inilah sebabnya surat “Al-Fiil” yang diwahyukan setelah misi risalah diberikan kepada Guru kita, tidak seorang pun yang menolak kebenarannya. Juga setelah peristiwa ini pula penyakit campak dan cacar mulai muncul… Mungkin batu-batu “sijjin” yang dibawa burung-burung Ababil ini mengandung bibit penyakit ini…

 



[1]Al-Qur’an 48:7

5 / 51

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini