Masa Kekacauan & Kebiadaban
Tidakkah engkau melihat bagaimana Rabb-mu berbuat terhadap pasukan gajah? Bukankah Dia membuat rencana mereka sia-sia? Dan mendatangkan kepada mereka gerombolan burung-burung yang melemparkan kepada mereka batu-batu dari lempung yang keras, sehingga mereka bagai jerami yang dikunyah.[1]
Di dalam kitab-kitab sejarah, tahun dimana Guru kita dilahirkan tercatat sebagai ‘Tahun Gajah’. Tidak diragukan, peristiwa terbesar di Jazirah Arab pada masa itu adalah ‘Peristiwa Gajah’ yang terjadi 50 hari sebelum kelahiran Guru kita.
Tercatat bahwa tanggal lahir Guru kita 12 Rabiul Awwal, atau menurut kalender Gregorian 20 April 571. Semua muslim menerima ini sebagai informasi yang pasti.
Tanpa diragukan, Peristiwa Gajah adalah sebuah pelajaran yang menjadi teladan bagi kemanusiaan.
Tapi, pertama-tama mari kita berjalan mundur untuk melihat sekilas ke masa itu…
Yaman, yang terletak di sebelah Selatan Jazirah Arab, pada saat itu berada di bawah pemerintahan Zu Navas, seorang mualaf Ibrani. Di masa lalu, Zu Navas adalah seorang penyembah berhala, yang identitas kelaminnya agak bermasalah karena karakter dan caranya berdandan dan perilakunya bertentangan sifat dan perilaku seorang pria. Karena sifat rendah diri dan mempunyai masalah kelemahan, dia kemudian memeluk Judaisme dan berganti nama menjadi Joseph (Yusuf). Dengan itu, dia merasa ‘superior’ dan mampu menutupi karakter kewanitaannya dengan agamanya yang baru. Pada ketika itu, dia meradang dan benar-benar menggali lubang api dan melempar rakyatnya yang menentang Judaisme ke dalamnya hingga mati terbakar – baik itu penyembah berhala ataupun yang beragama Kristen. Dia akan memaksa dan menyiksa rakyatnya, terutama orang-orang Kristen, untuk menjadi Yahudi dengan cara apapun…
Sampai sejauh itulah kekacauan yang menguasai masa itu.
Guru kita, beberapa waktu kemudian, memberikan contoh berikut untuk menggambarkan derita rakyat di masa itu:
“Di masa lalu ada seorang Sultan dan peramalnya. Ketika sang peramal menjadi tua, dia berkata kepada sang Sultan. ‘Aku telah tua, tugaskan kepadaku seorang pelayan agar aku bisa mengajarinya cara meramal.’ Maka sang Sultan pun mengirimnya seorang anak muda. Setiap hari, anak muda ini akan melewati seorang pendeta ketika berjalan menuju sang peramal. Pada suatu hari, dia duduk dan menyimak kepada sang pendeta. Dia begitu terpengaruh oleh apa yang didengarnya sejak hari itu sehingga dia akan berhenti di tempat pendeta itu setiap hari dan menyimak ceramahnya, sebelum berangkat menuju sang peramal. Sang peramal akan memukul dan menghukumnya jika dia datang terlambat.
Ketika anak muda itu menceritakan perihal itu kepada sang pendeta, sang pendeta menginstruksikan kepadanya “Apabila engkau merasa takut dengan sang peramal, katakan kepadanya engkau ditahan oleh keluargamu, dan apabila engkau takut dengan keluargamu katakan kepada mereka bahwa engkau ditahan oleh sang peramal.” Hari-hari berjalan seperti ini, lalu suatu hari anak muda ini menjumpai seekor binatang buas yang menghalangi perjalanan orang-orang. Dia memungut batu dan berpikir, hari ini kita akan membuktikan apakah sang pendeta atau sang peramal yang lebih baik. Kemudian dia berdoa, “Ya Allah, jika engkau lebih setuju dengan pekerjaan sang pendeta dibanding pekerjaan sang peramal, bunuhlah binatang ini sehingga orang-orang bisa lewat…” lalu melemparkan batu itu. Binatang buas itu pun mati dan orang-orang pun bisa melewati jalan. Kemudian si anak muda pergi menuju sang pendeta dan menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Pendeta itu berkata kepadanya, “Anakku, hari ini engkau lebih baik dibanding aku. Kemuliaanmu telah mencapai derajat yang aku ramal sebelumnya. Tentu saja engkau akan segera menjumpai masalah. Apabila engkau menjumpainya, jangan beritahu mereka tentang tempatku.”
Waktu pun berlalu. Anak muda itu menyelamatkan orang-orang lepra dan menyembuhkan orang buta dan sakit. Kemasyhuran anak muda itu sampai ke telinga seorang yang buta, yang menjadi anggota dari dewan Sang Sultan. Dia pergi kepada anak muda itu dengan membawa hadiah-hadiah yang mahal dan berkata, “Jika engkau menyembuhkanku, akan kuberikan semua ini untukmu.” Anak muda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan siapapun. Hanya Allah yang menyembuhkan! Jika engkau beriman kepada Allah, aku akan berdoa, dan Allah akan menyembuhkanku…” Maka, laki-laki itu menaruh keyakinannya kepada Allah dan penglihatannya disembuhkan.
Dia kemudian pergi ke Sultan dan duduk di sampingnya seperti biasanya. Sang Sultan bertanya, “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?” Laki-laki itu menjawab, “Tuhanku!” Sang Sultan berseru, “Kau punya tuhan selain aku!? Laki-laki itu menjawab, “Allah adalah tuhan saya dan juga tuhan Anda!”
Oleh sebab itu, Sang Sultan menyiksanya hingga dia mengatakan tempat dimana anak muda itu berada. Anak muda itu ditemukan dan dibawa kepada sang Sultan dan sang Sultan pun bertanya kepadanya, “Anakku, aku mendengar kekuatan sihirmu bisa memberikan kesembuhan kepada orang yang buta dan lepra…?” Anak muda itu berkata, 'Aku tidak menyembuhkan siapa pun, hanya Allah yang menyembuhkan…”
Oleh sebab ini, sang Sultan menyiksa berat anak muda ini tiada henti hingga akhirnya dia memberitahu mereka dimana sang pendeta berada.
Sang pendeta segera dibawa kepada sang Sultan dan dia pun memerintahkan kepada sang pendeta, “Lepaskan agamamu!” Namun sang pendeta menolak.
Sang Sultan meminta gergaji dan meletakkannya di kepala sang pendeta dan membelahnya menjadi dua.
Kemudian laki-laki dari dewannya dibawa dan diperintah untuk melepaskan agamanya. Dia pun menolaknya dan sang Sultan pun membelah kepalanya menjadi dua.
Kemudian si anak muda dibawa dan diperintah, “Lepaskan agamamu!” dan anak muda itu pun menolaknya. Maka, sang Sultan menyerahkannya kepada sekelompok orang bawahannya dan berkata kepada mereka, “Bawa anak muda ini ke gunung anu. Jika kalian sudah sampai ke puncaknya, dan jika dia melepaskan agamanya maka itu bagus, tapi jika tidak lemparkan dia ke bawah gunung!”
Orang-orang Sultan itu membawa dia ke puncak gunung dan anak muda itu berdoa, “Ya Allah, lindungilah aku dan beri mereka pembalasan” dan tiba-tiba gunung pun berguncang dan membinasakan orang-orang itu.
Anak muda itu pun kembali menuju kepada sang Sultan dan sang Sultan bertanya kepadanya, “Dimanakah teman-temanmu?” Anak muda itu menjawab, “Allah menyelamatkanku dari mereka.” Maka sang Sultan pun menyerahkan anak muda itu kepada kelompok lain dari orang-orangnya dan berkata kepada mereka, “Letakkan dia di perahu (yang disebut Qarqur) dan bawa dia ke tengah-tengah samudera. Jika dia melepaskan agamanya maka itu bagus, tapi jika tidak lemparkan dia ke lautan!”
Mereka membawa anak muda itu dan dia berdoa, “Ya Allah, lindungi dan selamatkanlah aku dari orang-orang ini” Tiba-tiba perahu itu terbalik dan semua laki-laki itu tenggelam kecuali anak muda itu.
Anak muda itu berjalan kembali kepada sang Sultan dan sang Sultan bertanya, “Apa yang terjadi dengan teman-temanmu?” Dia menjawab, “Allah menyelamatkan aku dari mereka!” lalu menambahkan, “Engkau tidak bisa membunuhku hingga engkau melakukan apa yang kukatakan!” “Apa yang engkau mau aku melakukannya?” tanya sang Sultan.
“Kumpulkanlah semua orang di tempat terbuka dan ikatlah aku di sebuah pohon kurma. Kemudian ambil panah dan busurku dan katakan, “Dengan nama Allah, Tuhan dari anak muda ini!” dan panahlah aku. Jika engkau melakukan ini, engkau bisa membunuhku.
Maka, sang Sultan mengumpulkan semua orang dan mengikat anak muda itu di sebuah pohon kurma. Dia mengambil sebuah panah dari kantung panah anak muda itud an memasangnya pada busurnya lalu berkata, “Dengan nama Allah, tuhannya dari anak muda ini!” lalu menembakkan panahnya. Panah itu mengenai pelipis si anak muda, anak muda itu meletakkan tangannya di pelipisnya lalu meninggal.
Seketika itu orang-orang berseru, “Kami beriman kepada Tuhannya anak muda ini!”
Kawan sang Sultan berpaling kepada sang Sultan dan berkata, “Kau lihat apa yang terjadi? Apa yang paling kau takutkan menjadi kenyataan, orang-orang telah beriman!”
Kemudian sang Sultan memerintahkan orang-orangnya untuk menggali parit di kalan-jalan dan memenuhinya dengan api.
Dia memerintahkan, “Lemparkan setiap orang yang menolak untuk melepaskan agama barunya ke dalam api!”
Setelah semua orang disiksa dan dibakar hingga mati, akhirnya tersisa seorang wanita berdiri dengan seorang anak di tangannya. Sesaat sebelum wanita itu ragu-ragu di hadapan api, anaknya berkata, “Ibu, kuatlah dan sabarlah, karena engkau berada di jalan yang lurus!”
Seperti itulah kebiadaban dan kebrutalan yang menguasai masa itu…