Matahari Di Tangan Kananku, Bulan Di Tangan Kiriku…
Karena meningkatnya tekanan dan penyiksaan dari kaum musyrikin, Guru kita kemudian tinggal di rumah Arqam bin Asad… Rumah Arqam ada di sebelah Utara Gunung Shafa, sebuah rumah kopel di jalan yang sempit dimana rumah-rumah lainnya milik Bani Syaibah…
Guru kita melanjutkan tugasnya meskipun rentan menghadapi kondisi yang menyulitkan… Orang-orang yang tidak beriman dan musyrikin semakin hari semakin cemas dengan perkembangan Islam… Ketenaran dan keunggulan Islam telah sampai kepada kaum dan suku lain yang terdekat…
Kaum musyrikin mengadakan rapat untuk menemukan solusi untuk itu. Akhirnya, diujung pertemuan dibuat sebuah keputusan. Sebuah kelompok yang terdiri dari sepuluh orang akan mengunjungi Abu Thalib dan memintanya untuk bertanggung jawab atas situasi yang sudah tidak terkendali itu… Maka, sebuah kelompok, termasuk Utbah bin Rabi’ah dan Walid bin Mughirah, pergi menuju Abi Thalib untuk membahas masalah mereka:
“Wahai Abu Thalib… Engkau tahu bahwa keponakanmu merupakan masalah serius bagi kami. Dia tidak mau tutup mulut mengenai tuhan-tuhan kami. Dia mengklaim para leluhur kita tertipu dan menuduh kita sebagi orang jahil dan bodoh. Engkau mesti menghentikan dia… Apa dia menghentikan jalannya atau engkau berhenti menghalang-halangi kami… Kami tahu engkau tidak sejalan dengannya, maka jika engkau tidak menghalang-halangi, kami bisa menghentikannya sendiri…”
Abu Thalib merasa tidak senang. Walau demikian, dia tidak bereaksi negatif; dia hanya mengatakan kepada mereka bahwa dia akan melakukan yang terbaik untuk menemukan solusi bagi masalah mereka… Tapi sebenarnya, dia terlalu menyayangi Guru kita sehingga tidak berkata apapun terhadap beliau…
Perlu dicatat bahwa kasih sayang Abu Thalib kepada Guru kita bukan karena Allah, tapi karena beliau adalah anak saudaranya, keponakannya… Sedangkan Allah memerintahkan bahwa cinta dan kebencian kita mesti karena Allah semata… Ini sebabnya mengapa cinta Abu Thalib kepada keponakannya tidak bisa menyelamatkannya dari derita abadi…
Sementara itu, Guru kita sedang bekerja sepenuh tenaga untuk menyebarkan Islam. Jumlah muslim terus bertambah hari demi hari, meningkatkan polaritas di antara orang-orang yang beriman dan tidak beriman hingga ke tingkatan yang tidak bisa dijelaskan…
Pada puncaknya, keadaan itu sampai ke titik menuju peperangan. Kaum musyrikin Mekah memutuskan untuk memberi ultimatum terakhir kepada Abu Thalib:
“Wahai Abu Thalib… Engkau tahu bahwa dalam pandangan kami engkau itu pemimpin orang-orang terhormat. Terakhir kali kami mengunjungimu, kami meminta dengan baik-baik untuk menghentikan keponakanmu. Bukannya mengikuti permintaan kami, engkau malah membela dan mendukungnya. Ketahuilah bahwa kami tidak akan lagi membiarkan dia merendahkan kita, leluhur dan tuhan-tuhan kita… Engkau hentikan dia, atau kami akan memerangimu dan dia hinga salah satu di antara kita tidak bernyawa!”
Ini adalah ultimatum yang keras… Tekad kaum musyrikin sudah teguh. Agenda sebenarnya adalah untuk membuat Abu Thalib menentukan berada di pihak mana dirinya.. Abu Thalib harus menemukan jalan keluar dari situasi kritis yang serius ini… Akhirnya, dia memutuskan untuk berbicara kepada keponakannya…
Ketika Guru kita tiba di rumah pamannya, Abu Thalib menjelaskan:
“Keponakan yang ku sayangi… Para bangsawan dan para tokoh Quraisy kemarin datang dan mengeluhkan tentang engkau… Hal-hal yang mereka katakan membuatku gundah… Aku minta engkau berhenti menghina leluhur dan tuhan-tuhan mereka agar engkau bisa melindungi dirimu dan aku juga… Jangan membuatku berada di posisi yang tak bisa aku tangani…”
Permohonan Abu Thalib sangat menyentuh… Apakah itu menyiratkan bahwa dia tidak akan lagi melindungi Guru kita?
“Pamanku yang kusayangi… Demi Allah, jika mereka meletakkan Matahari di tangan kananku dan Bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan jalanku! Entah Allah yang akan menyebarkan agama ini ke seluruh dunia, atau aku yang mati di jalan Allah…”
Tanggapan Guru kita membuat Abu Thalib sangat sedih. Namun demikian, cintanya kepada keponakannya lebih berat dibanding segalanya… Kali ini, dengan menerima dan dengan nada yang tenang, Abu Thalib meyakinkan keponakannya:
“Ya Muhammad, lanjutkan dan bicaralah sesukamu! Aku bersumpah tidak akan pernah meninggalkanmu atau membiarkanmu tanpa perlindungan! Lanjutkanlah perjuanganmu…”
Segera saja kaum musyrikin mendengar tentang ini… Kali ini mereka pergi kepadanya dengan rencana yang lain:
“Ya Abu Thalib… Engkau tahu siapa anak muda ini; putra dari Walid bin Mughirah, Umarah bin Walid… Dia adalah pemuda Quraisy yang paling kuat, paling tampan dan paling baik moralnya, dan dia juga seorang penyair… Ini, ambillah dia sebagai putramu, dia akan membantumu dalam segala hal. Sebagai imbalannya, berikan keponakanmu dan biarkan kami membunuhnya. Dengan cara ini, engkau akan mempunyai seorang putra, dan kami akan terselamatkan dari laki-laki yang menghina leluhur dan tuhan-tuhan kami… Bagaimana pendapatmu?
Tawaran ini membuat Abu Thalib tertawa… Dia mencemoohkannya:
“Mengapa engaku tidak memberi aku putramu dan biarkan aku membunuhnya terlebih dahulu, lalu engkau bisa memiliki keponakanku, bagaimana jika begitu?”
Kaum musyrikin kebingungan:
“Tapi putra kami tidak melakukan apa yang keponakanmu lakukan… engkau rawat putra kami dan dia bisa membantumu dengan segala yang engkau butuhkan…”
Abu Thalib menyeringai, “Aku pikir kalian masih sehat dan waras… Kalian tidak mungkin menawarkan hal yang lebih bodoh dari ini… Aku mesti merawat putra dari kalian-kalian yang bodoh, sedangkan kalian membunuh putraku? Semoga tuhan memberi kalian apa yang pantas kalian dapatkan… Apakah kalian pernah melihat unta betina memberi makan dan merawat bayi-bayi yang bukan anaknya? Tidak bisakah kita sebagai manusia memiliki kepatutan untuk berperilaku seperti binatang?”
Terhadap ini, Muth'im bin Adi di antara kaum musyrikin yang masih kerabat Abu Thalib menanggapi:
“Ya Abu Thalib, suku engkau telah bersikap adil dan berbelas kasih kepada engkau. Mereka sekuat tenaga melindungi engkau dari bahaya. Bahkan mereka berupaya meringankan engkau dari hal yang engkau pun tak setuju dengannya. Pendirianmu jelas tidak bisa dibenarkan!”
Abu Thalib tidak setuju:
“Aku bersumpah bahwa tidak satupun dari mereka telah bersikap adil dan berbelas kasih kepadaku… Dimana belas kasih dari penawaran ini? Jelas kalian punya kepentingan pribadi yang membuat engkau berdiri di antara mereka dan menyerangku. Maka lakukanlah sekehedak kalian!”
Hubungan mereka menjadi rusak… Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah bertempur; memaksa untuk menundukkan... Tapi pihak manakah yang akan berjaya?
Di hari-hari berikutnya, kaum musyrikin meningkatkan intensitas penyiksaan mereka kepada para muslim… Kebrutalan dan kekejaman mereka sebagai manusia sungguh tidak bisa dimengerti…
Sementara itu Abu Thalib mengumpulkan putra-putra Hashim dan Muthalib dan menyampaikan perhatiannya terhadap kemungkinan rencana pembunuhan terhadap Muhammad saw. Dia meminta agar mereka bersatu padu dan menjaga beliau jika serangan semacam itu terjadi, dan mereka semua berjanji sepenuh hati untuk itu.
Para pemimpin Quraisy yang diketuai Abu Jahal telah berkumpul kembali di Haram Asy-Syarif untuk menemukan solusi bagi masalah yang tak kunjung selesai itu.
Pada akhirnya, salah seorang di antara mereka menyarankan bahwa Muhammad mesti dibunuh. Beberapa orang pemuda yang hadir pada pertemuan itu mengaku siap untuk melaksanakan misi itu…
Setelah rencana itu dibuat, Zaid bin Harits diam-diam meninggalkan pertemuan dan langsung menuju ke rumah Abu Thalib… Dia mengatakan kepada Abu Thalib mengenai keputusan mereka dan rencana mereka untuk mengeksekusi Muhammad…
Abu Thalib bertanya, “Wahai Zaid, apakah engkau tahu tentang kabar keponakanku? Apakah engkau tahu dimana dia sekarang?”
“Ya Abu Thalib, aku tahu, aku bersamanya pagi tadi…”
“Tolong panggil dia, minta kepadanya untuk segera kemari!”
Zaid pergi ke rumah di belakang Gunung Shafa dimana Guru kita sedang bercakap dengan para pengikutnya dan menceritakan kepada beliau tentang situasinya. Guru kita langsung menuju rumah pamannya.
“Keponakanku sayang, apakah engkau sedang sibuk dengan urusan penting?”
“Kami sedang rapat penting dengan beberapa teman…”
“Engkau tahu bagaimana situasinya... Aku ingin engkau pulang sekarang dan jangan kemana-mana hingga engkau mendengar sesuatu dariku…”
Guru kita melakukan apa yang dikatakan pamannya, beliau pulang dan pergi tidur. Sementara itu, Abu Thalib menyampaikan berita kepada semua orang yang berani di kalangan putra-putra Hashim dan Muthalib untuk melengkapi diri mereka dengan pedang dan senjata-senjata dan berkumpul di rumahnya.
Pada dini hari, semua leki-laki pemberani dari suku mereka telah berkumpul di rumah Abu Thalib.
Abu Thalib memerintahkan:
“Sekarang aku akan pergi ke Haram Asy-Syarif dan kalian ikut aku!”
Abu Thalib berhenti dulu di rumah Guru kita, meminta beliau bergabung dan pergi ke Haram. Dengan Guru kita di sisinya, dan sekelompok besar dari pria pemberani dari bani Hasyim dan Muthalib, Abu Thalib memasuki Haram Asy-Syarif dimana Abu Jahal dan para pemimpin Quraisy sedang duduk-duduk. Dia berseru:
“Wahai para pemimpin Quraisy! Tahukah kalian kenapa aku datang kemari?”
“Tidak…?” jawab mereka, terkejut dan tertegun melihat kelompok yang bersenjata…
Abu Thalib mengatakan kepada mereka bahwa dia tahu mengenai rencana mereka dan memerintahkan kepada orang-orangnya, “Angkat pedang kalian!”
Semua laki-laki pemberani di belakang Abu Thalib menarik pedang mereka pada waktu yang bersamaan menunggu perintah untuk menyerang.
Abu Thalib melanjutkan:
“Aku bersumpah kepada kalian, jika kalian membunuh Muhammad, tidak seorang pun dari kalian akan hidup! Kami akan memerangi kalian hingga semua dari kalian tidak bernyawa, dan kami tidak akan menyerah hingga kami semua gugur dalam urusan ini!”
Abu Jahal dan teman-temannya kebingungan. Mereka tidak menyangka akan hal ini. Tidak seorang pun dari mereka memiliki keberanian untuk berbicara apapun…
Abu Thalib kemudian membacakan syair pujiannya yang meninggikan Guru kita dan merendahkan para pemimpin kaum musyrikin… Singkatnya, kata-kata terakhir dia adalah:
“Wahai kaum Quraisy… Aku bersumpah demi rumah Allah bahwa kalian berada dalam kegelapan kemungkaran, pembangkangan kalian kepada Muhammad hanya membuktikan kebodohan kalian… Apakah kalian benar-benar berpikir kalian bisa membunuh Muhammad tanpa melewati nyawa kami? Tahukah kalian bahwa kami tidak akan meninggalkannya hingga kami mengorbankan diri kami untuk melindungi dia. Dan setelah kami mati, kematian kami akan dibalas oleh anak-anak kami yang akan melanjutkan perjuangan kami!?”
Setelah membacakan syair pujiannya, Abu Thalib dan Guru kita serta kelompok bersenjatanya berlalu… Sekali lagi para pemimpin Quraisy melihat sejauh mana tantangan yang mereka hadapi ke depan… Itu sungguh tidak akan mudah… Tapi itu tidak merubah segalanya… Dengan jalan apapun, mereka tahu harus menemukan sebuah cara…
Pada suatu hari, Guru kita sedang berada di Kabah melakukan thawaf. Beberapa orang musyrikin menghalangi jalannya. Di antara mereka ada Walid bin Mugirah, Umayyah bin Halaf, Aswad bin Muthalib, dan Ash bin Wa'il… Mereka memohon:
“Dengar Muhammad, kami punya tawaran untukmu… Kami akan memberimu uang yang cukup, ternak dan harta untuk menjadikanmu yang terkaya di Mekah. Tambahan pula, engkau bisa memiliki semua wanita yang engkau inginkan… Apa yang kami mau sebagai imbalannya adalah engkau berhenti merendahkan tuhan-tuhan kami. Bagaimana menurutmu?”
Guru kita sekedar tersenyum dan melanjutkan thawafnya…
Mereka berpikir bahwa beliau menilai tawaran mereka terlalu kecil, lalu menambahkan:
“Jika hal itu tidak cukup, kami bisa menawarkan lebih! Engkau sembah tuhan-tuhan kami untuk sehari dan kami akan menyembah tuhanmu untuk sepuluh hari. Engkau menyembah tuhan kami selama satu bulan dan kami akan menyembah tuhanmu selama satu tahun… Dengan cara ini, jika tuhanmu lebih baik dibanding tuhan-tuhan kami, kami mendapat manfaat darinya. Tapi sebaliknya jika tuhan-tuhan kami lebih baik dibanding tuhanmu, engkau tidak tercerabut darinya…”
Guru kita menanggapi:
“Tidak satupun dari tawaran kalian menarikku sedikit pun… Aku bukan datang untuk mengambil kekayaan kalian, bukan untuk menjadi kaya ataupun terkenal, bukan juga bertujuan untuk menjadi pemimpun kalian… Allah mengirimkan aku kepada kalian sebagai Rasul… Dia mewahyukan kitabNya kepadaku… dan memberiku misi untuk memperingatkan kalian akan derita yang akan menimpa kalian atas perbuatan-perbuatan buruk kalian serta balasan yang akan kalian terima atas perbuatan-perbuatan baik kalian… Ini perintah Allah. Telah kusampaikan pesan ini kepada kalian. Sekarang, aku mesti bersabar hingga Allah memberikan putusanNya di antara kita.”
Atas hal ini, ayat-ayat berikut diwahyukan:
Katakanlah, “Apakah kalian memerintahkan aku menyembah apa-apa disamping Allah, wahai orang-orang yang jahil?”
Aku bersumpah ini diwahyukan kepada kalian dan orang-orang sebelum kalian, “Sungguh, jika kalian menyekutukan apapun dengan Allah (jika kalian bersikap menduakan – berbuat syirik) semua perbuatan kalaian akan menjadi sia-sia dan kalian pasti akan termasuk orang-orang yang merugi!”
Tidak, beribadahlah hanya kepada Allah dan jadilah golongan orang-orang yang bersyukur (mengevaluasi rahmat akan apa yang dimaksud menjadi seorang hamba)![1]
Katakanlah, “Hai orang-orang yang mengingkari ilmu mengenai realita (hakikat)!”
“Aku tidak mempertuhankan apa yang kalian pertuhankan (Diri Pencela [ego] kalian – otak kedua di perut kalian).”
“Dan engkau bukan pula penyembah dari (beribadah kepada) apa yang aku sembah.”
“Dan aku tidak akan menyembah (beribadah kepada) apa yang kalian pertuhankan.”
“Dan engkau tidak akan menyembah (beribadah) kepada yang aku ibadati.”
“Bagimu (pemahamanmu akan) agamamu dan bagiku (pemahamanku akan) agamaku!”[2]
Oleh karenanya, tanggapan Guru kita kepada tawaran mereka mencakup 3 ayat pertama dari Surat Az-Zumar dan 6 ayat dari Surat Al-Kafirun…
Sekali lagi, rencana kaum musyrikin mengalami kegagalan…
Sekali lagi, mereka mulai memikirkan cara-cara baru dan rencana-rencana baru untuk mengalahkan Muhammad…