Pengamatan Pendeta Bahira
Tidak lama kemudian, Haris kembali dengan Muhammad di sampingnya. Ketika Guru kita bergabung dalam jamuan itu, Bahira mulai mengamatinya tanpa orang lain melihatnya. Pertanda pertama terbukti, karena ketika Muhammad datang mendekat bersama Haris, awan itu bergerak mengikutinya. Ketika beliau duduk di meja makan, Bahira mempunyai kesempatan untuk mengamatinya lebih dekat lagi; semua pertanda yang dia baca mengenai Nabi terakhir bersesuaian dengan Guru kita.
Setelah makan malam, ketika para kafilah bersiap untuk berangkat, Pendeta Bahira memegang tangan Muhammad dan bertanya:
“Wahai anakku tercinta! Atas nama Latta dan Uzza, maukah engkau menjawab pertanyaanku dengan jujur?
Sumpah yang menyertakan Latta dan Uzza adalah sesuatu yang baru didengar Bahira dari Haris. Tapi itu tidak bersesuaian dengan Guru kita.
“Wahai orang tua! Jangan bersumpah kepadaku atas nama Latta dan Uzza! Jika engkau mempunyai pertanyaan kepadaku, jangan bertanya dengan nama-nama berhala. Demi Allah, tidak ada yang lebih aku benci dibanding berhala-berhala ini!”
“Maka untuk kasih Allah, tolong jawab aku!”
Kali ini Muhammad merasa senang.
“Tanyalah apapun yang kau mau!”
Bahira sangat gembira:
“Katakan kepadaku, bagaimana engkau tidur?”
“Mataku tidur, hatiku tidak tidur!”
Kemudian, dari cara beliau duduk, dari apa yang beliau minum hingga dimana dan bagaimana beliau bermain, Bahira menanyakan semua dalam daftar pertanyaanya. Setiap jawaban yang diperolehnya cocok dengan ciri-ciri di dalam kitabnya.
Kemudian dia bertanya kepada orang di sekitar dia, “Katakan tentang warna merah di matanya, apakah itu warna sementara?”
“Kami tak pernah melihat kedua matanya tanpa warna merah itu” jawab mereka.
Bahira bagai orang yang menemukan berliannya yang hilang! Dia meminta ijin kepada Guru kita untuk melihat punggungnya.
Sungguh, persis seperti yang tertulis dalam kitab itu, ada sebuah ”Cap Nubuwwah” – sebuah tanda lahir yang besar – tepat di tengah-tengah tulang belikat Muhammad. Inipun salah satu tanda dari Nabi terakhir, yang akan muncul di akhir jaman, seperti tertulis di dalam kitab itu. Setelah itu, Bahira tidak lagi mampu menahan diri… Dia membungkuk dan dengan lembut mencium tanda lahir Guru kita.
Orang-orang Quraisy yang hadir mengawasinya dengan tercengang… Ini sungguh pemandangan yang menarik.
“Muhammad pastinya berharga bagi Pendeta Bahira” mereka mulai bergumam satu sama lain. Kemudian Bahira berpaling kepada Abu Thalib dan bertanya, “Apa hubungan anak ini dengan Anda?”
“Dia anakku” jawab Abu Thalib.
Ini terdengar janggal bagi Bahira.
"Berdasarkan pengamatanku dia tidak mungkin anakmu… Menurut kitab-kitab, ayahnya sudah tiada…”
Mendengar ini, Abu Thalib mengatakan kepadanya yang sebenarnya.
“Engkau benar! Dia anak saudaraku… Ayahnya meninggal ketika dia masih di dalam rahim ibunya!”
“Dan ibunya?”
“Dia meninggal ketika Muhammad berusia enam tahun.”
Bahira nampak senang. Kini dia telah yakin dengan pengamatannya.
“Ya Abu Thalib! Sebuah perjanjian telah dibuat ketika kita memulai jalan ini… Anak yang diberkati ini akan menjadi Nabi akhir jaman. Semua tanda Nabi terakhir tercatat dalam kitab-kitab dan Muhammad memiliki semua ciri-ciri ini!
Sekarang kewajiban engkau untuk mengurungkan membawa anak ini ke Damaskus. Karena orang-orang Yahudi Damaskus akan mengenalinya segera setelah melihat dia, karena semua ulama Yahudi tahu ciri-ciri Nabi terakhir…”
Sebagian mereka yang anti-Islam menyatakan bahwa Muhammad saw mengklaim sebagai Rasul berdasarkan pengamatan Bahira. Namun, sumber-sumber otentik jelas-jelas mengatakan bahwa pembicaraan ini tidak dilakukan dengan keyakinan, dan bahwa para kafilah hadir dan menyaksikan hal ini.
Jika klaim mereka yang anti-Islam benar, tentunya setelah Muhammad diberi tugas risalah, lawan-lawannya akan keluar dan menentang dengan hal ini.
Informasi yang saya sampaikan kepada Anda berasal dari kitab-kitab Siyar yang berisi periwayatan oleh orang-orang yang hidup di jaman itu. Jika klaim-klaim ini benar, tentunya akan disebutkan di dalam kitab-kitab Siyar.
Lagi pula, kita mesti ingat bahwa Guru kita hanya berusia 12 ketika peristiwa ini terjadi. Sebesar apa pengaruh pendapat seperti ini pada anak berusia 12 tahun dalam jangka sesingkat itu? Setiap orang yang normal akan menilainya sebagai omong-kosong… Oleh karenanya, saya tidak mau mengambil perhatian dengan pernyataan dangkal yang bukan-bukan ini.
Setelah ini, kitab-kitab Siyar berbicara mengenai perang Fijar, yang tidak memiliki relevansi langsung maupun tidak langsung dengan Guru kita. Karenanya, saya akan melanjutkan kisah ini tanpa membahas pasal itu.