Pernikahan!
Pada hari-hari berikutnya, Guru kita menjelaskan situasinya kepada pamannya Abu Thalib, yang kemudian pergi kepada Khadijah untuk menanyakan apakah dia serius mengenai tawarannya itu. Khadijah membenarkan bahwa tawarannya itu benar.
Tidak lama kemudian tanggal pernikahan ditetapkan. Ayah Khadijah telah meninggal dunia di salah satu pertempuran Fijar. Oleh karena itu, pamannya Amr bin Asad menjadi walinya, dan dia pula yang merestui pernikahannya dengan Muhammad.
Pada hari perjanjian nikah, Muhammad bersama semua pamannya mendatangi rumah Khadijah…
Dalam cara pra-Islam dan Islami, jika dua orang ingin menikah, yang mesti mereka lakukan hanyalah membuat keputusan dan mengatur perjanjian nikah. Tidak ada upacara tunangan atau ritual cincin pertunangan sebelum pernikahan. Cara demikian diambil dari penganut Kristen. Orang-orang Kristen akan meminta pendeta mereka memasangkan cincin emas atau platina kepada kedua calon mempelai. Ritual semacam ini tidak ada dasarnya di dalam Islam.
Khadijah juga mengundang beberapa kerabatnya, walau dia tidak mengatakan kepada pamannya Amr ibn asad mengenai pernikahan itu. Karena kondisi keuangan Muhammad bukan yang terbaik, dia takut pamannya mungkin tidak menerimanya.
Setelah makan malam pernikahan, menurut tradisi, paman Muhammad Abu Thalib menyampaikan sambutan pertama. Banyak anekdot oleh para ahli sejarah mengenai pernikahan ini, namun saya tidak ingin membahas rinciannya karena itu tidak lebih dari sekedar narasi para ahli sejarah tertentu.
Ketika Abu Thalib menyampaikan sambutannya dan meminang Khadijah atas nama keponakannya Muhammad, sepupu Khadijah Waraqah, yang sebelumnya menafsirkan mimpi Khadijah dan yang memiliki reputasi baik di antara orang-orang Mekah, menyambut positif dan menegaskan bahwa Muhammad cocok untuk Khadijah.
Meskipun demikian, Abu Thalib berkata, “Ya Waraqah, sungguh perkataanmu benar. Namun, untuk mengikuti tradisi dan agar perjanjian nikahnya resmi, paman Khadijah Amr bin Asad juga mesti membenarkannya…”
Mendengar ini, Amr ibn Asad berdiri dan berkata, “Wahai orang-orang mulia kaum Quraisy, aku bersaksi bahwa aku menikahkan Khadijah, putrinya Khuwailid kepada Muhammad bin Abdullah!”
Unta-unta diqurbankan dan pesta pun dibuat untuk orang-orang Mekah…
Muhammad berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun ketika mereka menikah. Maka, mimpinya pun menjadi kenyataan, dan mereka hidup bersama dengan tentram dan bahagia selama duapuluh lima tahun…
Anak pertama mereka laki-laki dan diberi nama Qasim. Itulah sebabnya nama panggilan Muhammad menjadi Abul Qasim (ayahnya Qasim).
Anak ke dua mereka perempuan bernama Zaynab. Dia lahir ketika Guru kita berusia 30 tahun.
Anak ke tiga mereka perempuan bernama Ruqayyah, lahir ketika Guru kita berusia 33 tahun…
Anak ke empat perempuan, Ummu Kultsum.
Anak ke lima adalah Hazrat Fatimah al-Zahra yang lahir ketika Guru kita berusia 40 tahun.
Dan yang terakhir, anak ke enam dari Khadijah bernama Abdullah!
Semua anak-anak beliau, kecuali Fatimah al-Zahra, meninggal ketika masih berusia muda. Hazrat Fatimah, seperti dikenal, hidup lama dan menikah dengan Hazrat Ali, yang akan kita lihat di bab-bab berikutnya, yang melahirkan Hazrat Hasan dan Hazrat Husain.
Keturunan Guru kita karenanya berlanjut dari cucu beliau Hasan dan Husain. Keturunan Hazrat Hasan dirujuk sebagai “SYARIF,” sementara keturunan Hazrat Husain dirujuk sebagai “SAYYID”…