Wahyu Ilahi
Sekarang, mari bergerak maju menuju hari-hari penuh berkah saat diwahyukannya Risalah…
Ketika Guru kita berusia 39 tahun, kemajuan besar mulai terjadi dalam ihwal spiritual beliau… Beliau telah banyak menghabiskan waktu menyendiri di Gunung Hira, tiga mil dari Mekah. Daya tangkap pendengaran dan penglihatan beliau telah menjadi sangat tajam… Beliau mulai mendengar pepohonan dan bebatuan memberi salam ketika beliau melewati mereka…
Setelah menyelesaikan meditasi dan perenungannya di Guanya di Gunung Hira, Guru kita kembali ke Mekah dan memutari Kabah tujuh kali…
Pada akhirnya, enam bulan menuju ulang tahunnya yang ke-40, kemampuan supranatural mulai menampakkan diri dimana mimpi-mimpi Guru kita yang dilihat beliau di malam hari menjadi kenyataan di hari berikutnya secara tepat… Siapa-siapa yang melakukan apa di dalam mimpi beliau akan menjadi nyata pada siang harinya…
Ini berjalan selama enam bulan… Akhirnya, suatu malam yang kuat di bulan Ramadhan, kemungkinan besar Malam Lailatul Qadar, (bertepatan dengan bulan Pebruari tahun 611) lagi-lagi ketika Guru kita dalam perenungan yang dalam di guanya di Gunung Hira, sesuatu yang luar biasa terjadi…
Mari simak langsung dari Siti Aisyah ra., ummul mukminin, untuk meriwayatkan sisanya:[1]
“Awal dari wahyu kepada Rasulullah adalah dalam bentuk mimpi-mimpi yang menjadi kenyataan seperti cahaya siang yang benderang, kemudian dikaruniakan kepadanya kecintaan untuk menyendiri. Beliau biasa pergi menyendiri di gua Hira dimana beliau biasa beribadah (hanya kepada Allah) terus-terusan selama beberapa hari hingga timbul keinginan untuk melihat keluarganya. Beliau biasa membawa bekal untuk tinggal lalu kembali kepada Khadijah (istrinya). Kemudian membawa bekal kembali untuk menyendiri. Hingga pada suatu hari tiba-tiba Kebenaran turun kepadanya ketika beliau berada di gua Hira.
Seorang malaikat datang kepadanya dan memintanya untuk membaca. Rasulullah menjawab, “Aku tidak tau cara membaca.”
Rasul menambahkan, “Malaikat itu memelukku (dengan paksa) dan menekanku sedemikian kuatnya sehingga aku tidak mampu lagi menahannya. Dia kemudian melepaskanku dan memintaku lagi untuk membaca dan aku menjawab, ‘Aku tidak tahu cara membaca.’ Kemudian dia memelukku lagi dan menekanku untuk yang kedua kalinya hingga aku tidak sanggup lagi untuk menahannya. Dia kemudian melepaskan aku dan lagi-lagi memintaku untuk membaca. Tapi lagi-lagi aku menjawab, ‘Aku tidak tahu cara membaca (atau apa yang mesti kubaca)?’ Kemudiaan dia memelukku untuk yang ketiga kali dan menekanku, lalu melepaskan aku dan mengatakan:
BACALAH DENGAN NAMA RABB-MU YANG MENCIPTAKAN… BACALAH! KARENA RABB-MU YANG MAHA PEMBURAH, YANG MENGAJARKAN DENGAN PENA, MENGAJAR MANUSIA APA YANG TIDAK DIKETAHUINYA...[2]
Kemudian Rasulullah pulang dengan ayat-ayat itu dan dengan jantung yang berdetak kencang. Dia menuju Khadijah binti Khuwailid dan berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah menyelimutinya hingga rasa takutnya berlalu. Kenudian beliau menceritakan kepadanya segala sesuatu yang terjadi dan berkata, “Aku takut bahwa sesuatu mungkin terjadi padaku.” Khadijah menjawab, “Tidak akan pernah! Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakan engkau. Engkau menjaga hubungan baik dengan sahabat dan kerabat, menolong orang fakir dan miskin, melayani tamumu dengan murah hati dan menolong orang-orang yang tertimpa musibah.” Khadijah kemudian membawa beliau kepada sepupunya Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza, yang selama periode pra-Islam menjadi pemeluk Kristen dan mengetahui tulisan Ibrani. Dia akan menuliskan Injil dalam bahasa Ibrani sebanyak yang Allah kehendaki baginya untuk menulis. Dia sudah lanjut usia dan telah kehilangan penglihatannya. Khadijah berkata kepada Waraqah, “Dengarlah kisah keponakanmu, wahai sepupuku!” Waraqah bertanya, “Wahai keponakanku, apa yang telah engkau lihat?” Rasulullah menjelaskan apa yang telah beliau lihat. Waraqah berkata, “Itu adalah namus, yang menjaga rahasia-rahasia Tuhan (malaikat Jibril) yang telah Allah kirim kepada Musa. Andai saja aku masih muda dan bisa hidup di masa ketika kaummu akan mengusirmu.” Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah membenarkan dan berkata, “Siapapun yang datang dengan membawa sesuatu yang serupa dengan yang engkau bawa telah diperlakukan dengan sikap permusuhan, dan jika aku masih hidup hingga hari ketika engkau diusir, maka aku akan mendukungmu sepenuhnya.”
Tapi setelah beberapa hari kemudian ,Waraqah meninggal dunia…
Pada tahap ini, Guru kita berusia 40 dan Khadijah 55 tahun.
Pada suatu hari ketika mereka di rumah, malaikat itu datang lagi kepada Muhammad… Dia segera memanggil Khadijah, “Khadijah, malaikat itu datang lagi!”
Mendengar itu, Khadijah mendekat dan duduk di samping beliau.
“Bangunlah, wahai anak pamanku,” katanya, “duduklah di sebelah kiriku.”
Muhammad melakukan itu. Khadijah bertanya, “Apakah engkau masih bisa melihat dia?”
“Ya”, katanya.
Khadijah berkata, “Maka beralihlah dan duduk di sebelah kananku.”
Beliau melakukan itu, lalu bertanya, “Apakah engkau masih bisa melihat dia?”
Ketika beliau berkata bahwa beliau masih bisa melihatnya, Khadijah memintanya untuk beralih dan duduk di pangkuannya. Setelah beliau melakukan itu, Khadijah bertanya lagi apakah beliau masih bisa melihatnya. Dan ketika belau mengatakan ya, Khadijah menyingkapkan pakaian dan melepas kerudungnya ketika Rasul masih duduk di pangkuannya.
Kemudian Khadijah bertanya, “Sekarang, apakah engkau masih bisa melihatnya?”
Beliau menjawab, “Tidak.”
Khadijah berkata, “Wahai anak pamanku, bergembira dan berbaik-sangkalah, dia itu malaikat dan bukan setan. Seandainya dia itu jin, dia tidak akan pergi ketika aku membuka kerudungku…”
Khadijah RA mungkin dinasihati sepupunya Waraqah untuk melakukan itu agar mereka benar-benar yakin…
Setelah wahyu pertama yang dibawa malaikat Jibril, Inspirasi Agung itu berhenti untuk beberapa waktu. Ada beberapa riwayat yang berbeda mengenai berapa lama jeda pewahyuan ini. Menurut sebagian selama lima belas hari, sebagian yang lain satu bulan, tiga bulan, satu tahun, atau tiga tahun…
Guru kita menjadi sedih karenanya… sedemikian rupa sehingga pada beberapa kesempatan beliau berpikiran untuk melemparkan dirinya dari atas gunung. Akan tetapi setiap akan melakukan itu, malaikat Israfil tiba-tiba muncul dan mencegahnya…
Akhirnya, pada suatu hari, wahyu yang sudah ditunggu lama itu pun tiba…
Diriwayatkan Jabir bin Abdullah Al-Anshari yang membicarakan tentang periode berhentinya wahyu dengan melaporkan ucapan Rasul:
“Ketika aku berjalan, tiba-tiba saja aku mendengar suara dari langit. Aku melihat ke atas dan melihat malaikat yang sama yang mengunjungiku di Gua Hira sedang duduk di sebuah kursi di antara langit dan bumi. Aku menjadi takut kepadanya dan segera pulang dan berkata, “Selimuti aku.” Kemudian Allah mewahyukan ayat-ayat berikut:
WAHAI OARANG YANG BERSELIMUT; BANGUNLAH DAN BERI PERINGATAN! SADARILAH KEAGUNGAN RABB-MU! SUCIKAN PAKAIANMU (kesadaran – otak)! KETIDAKSUCIAN HINDARILAH (dualitas, penilaian yang keliru)![3]
Setelah itu, wahyu mulai turun dengan kuat, sering dan teratur.”
Seperti disebutkan di atas, penyingkapan Al-Qur’an kepada Guru kita adalah dalam bentuk Pewahyuan Ilahiah. Pewahyuan terjadi dalam delapan bentuk yang berbeda.
Mari kita bahas mengenai itu…
Bentuk pertama: Sebagai mimpi-mimpi yang benar. Seperti yang diriwayatkan hadits di atas, selama enam bulan Nubuwwah pertama, Guru kita melihat mimpi-mimpi yang benar yang menjadi kenyataan di hari berikutnya. Faktanya, terkadang wahyu-wahyu disingkapkan kepada beliau di dalam mimpinya…
Bentuk ke dua: Dalam kondisi hipnagogi (ihwal peralihan kesadaran di antara terjaga dan tidur). Dalam keadaan ini, malaikat Jibril mengilhamkan ayat-ayat kedalam hati Muhammad tanpa menampilkan diri. Fakta itu disebutkan dalam hadits berikut:
Abu Umamah meriwayatkan bahwa Rasul berkata, “Ruhul Qudus (malaikat Jibril) meniupkan kedalam hatiku bahwa tidak ada jiwa yang mati hingga dia menerima semua rezekinya. Oleh karena itu carilah rezekimu dengan cara yang baik. Jangan keterlambatan datangnya rezeki yang datang menujumu membuatmu mencarinya dengan cara yang tidak halal; karena Allah tidak akan memberikan apa yang di sisiNya kecuali melalui ketaatan.” (Majma’ azZawaa’id)
Bentuk ke tiga: Jibril muncul dengan bentuk manusia dan menyampaikan ayat-ayat kepada beliau. Malaikat ini lebih suka menyerupai Dihyah ibnu Khalifah Al-Kalbi, murid Muhammad yang sangat tampan.
Bentuk ke empat: Berikut beberapa hadits dari Guru kita mengenai bentuk pewahyuan ini.
“Ketika Allah menetapkan suatu perkara di langit, para malaikat akan mengepakkan sayap-sayapnya saking takutnya, bagai suara rantai yang mengenai batu licin, kemudian jatuh bersujud… Setelah rasa takut itu diangkat, mereka saling bertanya satu sama lain, ‘Apa yang telah ditetapkan Rabb kita?’ dan mereka menjawab ‘Rabb kita telah menetapkan Kebenaran dan bagiNya lah sifat-sifat yang Agung.’”
Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra.:
“Ketika Allah ingin menetapkan suatu perkara, Dia berfirman melalui wahyu, yang membuat langit bergetar karena takutnya kepada Allah. Ketika para penghuni langit mendengarnya, mereka menjadi lemah dan jatuh bersujud. Yang pertama tersadar dan bangkit adalah Jibril, maka Allah berfirman kepada Jibril dan Jibril menyampaikan wahyu itu kepada yang dituju. Ketika dia melewati satu langit ke langit berikutnya, para malaikat bertanya: ‘Apa yang ditetapkan Rabb kita wahai Jibril’ Jibril menjawab, ‘ Dia menetapkan Kebenaran dan Dia Yang Maha Tinggi’ dan para malaikat pun mengulangi apa yang dikatakan Jibril…”
Seperti bisa dilihat, begini pula cara para malaikat menerima wahyu.
Bentuk pewahyuan ini membuat Guru kita berkeringat meskipun di hari yang paling dingin. Jika beliau kebetulan berada di punggung unta ketika wahyu itu tiba, untanya akan jatuh ke tanah saking kuat dan beratnya wahyu itu… Pada suatu hari di Gunung Arafah, sebuah wahyu turun kepada Rasul ketika dia di atas unta, dan sang unta jatuh ke tanah karena tidak mampu menahan beratnya wahyu itu…
Di saat yang lain, Zaid bin Tsabit meriwayatkan:
“Pada suatu hari, aku sedang duduk di samping Rasul saw ketika sebuah wahyu tiba kepada beliau. Rasul tidak kuat menahan beratnya, dan lututnya mengenai lututku ketika rasa berat itu menguasinya. Demi Allah, aku belum pernah merasakan apapun yang lebih berat dari lutut Rasulullah saat itu. Kemudian beliau terbebas dari itu dan berkata kepadaku, “Tuliskan wahai Zaid! Aku mengambil skapula dan menuliskannya…”
Lebih jauh Zaid meriwayatkan:
“Aku biasa menuliskan wahyu yang datang kepada Rasulullah. Ketika wahyu mendatangi Rasul, beliau akan mulai berkeringat dan merasa tidak nyaman, tapi setelah beberapa saat keadaan ini akan hilang… Beliau akan membacakan dan aku menuliskan… Terkadang sangat sulit untuk menyelesaikan tugas menuliskan ayat-ayat ini. Aku akan merasakan kakiku seperti patah dan mengira tak akan bisa berjalan lagi. Ketika surat Al-Maidah diwahyukan, beratnya surat ini amat sangat sehingga aku merasa bahwa pergelangan tanganku benar-benar patah…”
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan:
“Ketika sebuah ayat sedang diwahyukan, tak satu pun dari kami bisa memandang wajah Rasulullah saw… Ketika wahyu ilahi tiba, pertama-tama tubuh Rasul akan mulai gemetar, kemudian suasana sedih dan tidak nyaman menguasai beliau, wajah beliau pucat pasi dan beliau akan memejamkan matanya dan nafasnya mulai memburu…”
Terkadang orang-orang yang di dekatnya juga bisa mendengar suara-suara. Hazrat Umar ra. meriwayatkan:
“Ketika wahyu ilahi tiba, kami biasa mendengar suara yang mirip dengungan lebah di sekitar Rasulullah saw…”
Bentuk ke lima: Jibril akan menyampaikan wahyu dalam bentuk aslinya dengan ke-600 sayapnya, masing-masing sayap cukup besar untuk menutupi seluruh ufuk… Bentuk pewahyuan ini hanya terjadi dua kali. Yang pertama pada awal Risalah; wahyu pertama yang tiba setelah periode jeda. Ketika Guru kita melihat Jibril dalam bentuk aslinya, keadaan beliau seperti sedang keraksukan (trance)… Yang ke dua adalah ketika Malam Mi’raj, ketika mereka sampai ke Sidrat al-Muntaha...
Bentuk ke enam: Ini adalah pewahyuan yang terjadi selama mi’raj mengenai praktek shalat lima waktu yang diwahyukan langsung kepada Guru kita dari Allah tanpa perantaraan malaikat, seperti ketika Musa as. berbicara kepada Allah... Jenis pewahyuan ini hanya terdiri dari pembicaraan dan pendengaran; tidak melibatkan penampakan.
Bentuk ke tujuh: Ini adalah bentuk yang paling kuat dan sulit untuk dikelaskan. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan kontak langsung Guru kita dengan Allah ketika Mi’raj, tanpa hijab di antaranya. Tidak seorang pun yang belum merasakan kematian bisa memahami ini. Karenanya, sulit dan akan sia-sia saja untuk menjelaskan mengenai hal ini. Hanya orang-orang yang mati dalam keadaan beriman yang bisa memahami keadaan ini.
Berikut sebuah hadits yang menegaskan hal itu:
“Tidak seorang pun dari kalian, pada Hari Penghakiman, yang tidak melihat dan berbicara langsung dengan Rabb-nya tanpa penerjemah, perantara atau bentuk hijab apapun di antaranya!”
Bentuk ke delapan: Penglihatan Allah dan wahyu diberikan langsung di dalam mimpi-mimpi beliau.