Ghaza Ataukah Menyerbu Kafilah Dagang?
Dalam terminologi Islam, pertempuran di jalan Allah demi mencari ridaNya disebut "Ghaza." Orang-orang yang turut serta dalam pertempuran ini disebut "Ghazi," dan orang-orang yang mati sebagai pahlawan selama pertempuran disebut "Syahid."
Termilonogi Islam tidak mengelompokkan pertempuran yang tidak bertujuan untuk mematuhi perintah Allah seperti halnya Ghaza. Serupa dengan itu, individu-individu yang tidak turut serta dalam pertempuran yang tidak bertujuan untuk mematuhi perintah Allah tidak bisa disebut sebagai "Ghazi". Label Syahid hanya diberikan kepada orang yang turut serta dalam pertempuran dengan maksud mematuhi perintah Allah...
Namun demikian, di masa dan tempat yang berbeda, beragam individu diberi titel-titel ini berdasarkan kedekatan dengan tujuan yang disebut di atas, dilihat dari perspektif Islami.
Mengingat penjelasan ini, mari kembalikan perhatian kita kepada diskusi di antara Guru kita dengan para sahabatnya mengenai apakah kejadian itu harus dianggap sebagai "serbuan terhadap kafilah dagang" ataukah sebagai sebuah "pertempuran."
Setelah para anggota pasukan kembali, Rasulullah saw mengumpulkan para sahabatnya dan bertanya:
"Wahai para sahabat, bagaimana menurut kalian? Suku Quraisy sedang keluar dari Mekah, dipenuhi kemarahan dan rasa permusuhan terhadap kita. Mereka sedang mendekati kita dengan seluruh kemarahannya. Apakah kita harus mengejar kafilah dagang itu ataukan berhadapan dengan tentara Quraisy?"
Sebagian sahabat meyakini bahwa melakukan pertempuran dengan kaum musyrikin Quraiisy dalam keadaan ini tidak akan menguntungkan. Mereka menyatakan pendapat mereka:
"Dalam sudut pandang kami, akan lebih tepat mengejar kafilah dagang itu dibanding menghadapi musuh."
Rasulullah kemudian merasa perlu untuk memberikan penjelasan lebih jauh:
"Kafilah itu sudah bergerak ke daerah pesisir, sementara Abu Jahal dan tentaranya sedang menuju ke arah kita. Dalam situasi ini, apakah kita harus pergi bertempur ataukah terus mengejar kafilah itu? Bagaimana pemikiran kalian?"
Beberapa sahabat mengulangi kecenderungan mereka untuk mengejar kafilah dagang itu:
"Ya Rasulullah, kita tidak memiliki kekuatan dan sumberdaya untuk bertempur dengan orang Quraisy. Oleh karena itu, kami lebih cenderung untuk mengejar kafilah itu."
Sikap bersikeras ini membuat Guru kita bersedih. Beliau menjadi terdiam untuk sejenak...
Pada ketika itulah Hazrat Abu Bakar Siddiq ra. berdiri dan menyatakan pendapatnya mengenai situasi saat itu. Dia sangat yakin bahwa dalam kondisi ketika itu, bertempur melawan musyrikin Quraisy adalah tindakan yang paling tepat, dengan menekankan bahwa tidak ada jalan mundur dari keputusan ini, sebanyak apapun yang harus dikorbankan.
Mengikuti Abu Bakar ra., Umar ra. pun ikut berdiri. Dia menyatakan bahwa memerangi musyrikin Quraisy adalah pilihan yang tepat, dengan sangat yakin bahwa tindakan itu tidak diragukan akan menghasilkan kemenangan bagi kaum muslimin. Dia berargumen bahwa kekalahan muslim akan berarti akhir dari Islam di muka bumi, dan dia sangat yakin bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.
Pidato Abu Bakar dan Umar sangat menenangkan hati Rasulullah saw...
Kemudian, Miqdad bin Amr ra. berdiri dan menyampaikan pidato yang indah, merangkum pemikirannya dengan perkataan berikut:
"Ya Rasulullah, jika Allah memberimu perintah, engkau mesti memenuhinya! Kami bersamamu, dan, In Sya Allah, kami akan terus berdiri bersamamu! Kami tidak akan mengatakan kepadamu apa yang telah dikatakan Bani Israil kepada Musa: "Pergilah, engkau dan Rabb-mu, dan perangi mereka. Kami akan tinggal di sini menanti hasilnya." Sebaliknya, kami akan mengatakan: "Pergilah, engkau dan Rabb-mu, perangi orang-orang musyrik itu, dan kami besertamu!" Bahkan jika engkau memimpin kami berperang sampai ke lembah Bir Kul Ghimad, kami akan berperang bersamamu!"
Setelah pidato ini, wajah Guru kita penuh kegembiraan.
Tapi apa yang dipikirkan kaum Anshar dengan diskusi ini?
Sa'ad bin Muadz, seseorang yang menyatakan pemikiran kaum Anshar, berdiri dan berbicara, "Ya Rasulullah kami telah beriman kepadamu, kami membenarkan apa yang engkau bawa. Kami telah berjanji untuk mendengarmu dan mematuhi perintahmu. Ya Rasulullah, engkau putuskan saja sesuai kehendakmu, dam kami akan bersamamu. Kami akan setia kepadamu. Kami akan memenuhi janji kami. Kami bersumpah demi Dia yang mengirimmu dengan Kebenaran, jika engkau mengajak kami ke lautan dan menyelam ke dalamnya, kami akan menyelam bersamamu, dan tidak seorang pun dari kami yang tertinggal. In Sya Allah, dengan rahmat dan pertolongan Allah, Dia akan menuntunmu kepada kepahlawanan yang besar. Dengan karunia dan rahmat Allah, bawalah kami ke sana."
Mendengar ini, Guru kita memberikan berita gembira pertama kepada mereka yang hadir dengan berkata, "Ayo kita berbaris maju! Aku membawa berita gembira bahwa Allah telah menjanjikan aku kemenangan atas satu dari dua kelompok. Aku bersumpah demi Allah, aku bisa melihat sekarang ini tempat-tempat di medan pertempuran dimana banyak orang Quraisy akan dipukul jatuh."
Maka, keputusan untuk memulai pertempuran besar telah dibuat. Para sahabat yang sedang bersiap bergabung dalam pertempuran ini termasuk Hazrat Ali, Hazrat Hamzah, Hazrat Zaid bin Haritsah, Hazrat Anas, Hazrat Abu Qubais, Hazrat Abu Marthad Kananah bin Husain, (Hazrat Usman bin Affan tetap di Madinah atas perintah Guru kita karena istrinya Rukayyah, putri Rasulullah, sedang sakit), Hazrat Abu Bakar Siddiq, Hazrat Bilal bin Rabah, Hazrat Utsman bin Mazun, Hazrat Sa'ad bin Muadz, dan Hazrat Amr bin Muadz (semoga Allah rida dengan mereka semua).
Setelah kaum muslimin berangkat menuju area sumur Badar, mereka menghadapi situasi sulit selama sekitar dua hari karena mereka sedang berpuasa. Meskipun menghadapi semua tantangan ini, mereka enggan untuk membatalkan puasa karena saat itu bulan Ramadhan. Menanggapi situasi ini, Guru kita turun tangan dan memerintahkan peserta ekspedisi untuk berbuka puasanya. Kaum muslimin, karena keteguhan agama yang kuat, awalnya beranggapan bahwa perintah Rasul sebagai bentuk keringanan dan ragu untuk berbuka puasa. Akhirnya, dengan tegas Guru kita berkata, "Wahai orang-orang yang taat, aku telah berbuka puasa! Ayolah, kalian pun harus berbuka puasa!" Karena tidak ingin para sahabatnya menderita lebih jauh, Guru kita mesti berbuka puasa juga.
Pada malam ke empat belas Ramadhan, mereka tiba di sumur Rauha. Setelah selesai mengerjakan shalat di sini, Guru kita berdoa kepada Allah:
"Ya Allah, jangan beri Abu Jahal, Firaunnya umatku, kesempatan untuk menang!"
Setelah doa ini, Guru kita berjalan di antara kaum muslimin. Sementara itu, dua orang sahabat, Rifaa bin Rafi dan saudaranya Hallad sedang duduk di dekat kepala unta yang sedang mereka tunggangi secara bergiliran, sambil merenung... Unta mereka nampaknya menolak untuk bergerak lebih jauh sementara perjalanan masih panjang dan mereka akan menghadapi pertempuran yang penting.
Dalam situasi ini, Hallad berbicara kepada saudaranya dengan kesal, "Aku bersumpah bahwa jika Allah mengembalikan kita ke Madinah, aku akan menyembelih hewan ini."
Ketika Hallad menyatakan kekesalannya, mereka tiba-tiba sadar bahwa Guru kita sedang berdiri di dekat mereka sambil mendengarkan... Ketika mereka melihat Rasulullah, mereka mengungkapkan kekhawatiran mereka, "Ya Rasulullah, unta kami tak bisa lagi berjalan."
Rasulullah berhenti sebentar kemudian meminta dibawakan air kepadanya. Beliau langsung berwudhu dengan air itu. Lalu beliau berkata, "Buka mulut untanya."
Mereka mematuhi beliau dan Guru kita menuangkan air dari bekas wudhunya ke dalam mulut unta itu. Setelah itu, beliau menggunakan sisa airnya untuk menggosok punggung unta, lehernya dan sisi tubuhnya. Setelah diperlakukan demikian, unta itu menjadi salah satu hewan yang bergerak di barisan depan dalam perjalanan mereka. Campur tangan ini terbukti sangat bermanfaat selama perang Badar.
Namun setelah mereka kembali, unta itu segera tersesat, dan ketika ditemukan kembali, ia tidak bisa lagi berjalan seperti semula. Pada akhirnya, ketika tiba di Madinah, sang unta disembelih dan dagingnya dibagikan kepada orang-orang miskin di Madinah.