Hari Yang Ditunggu-Tunggu Sekian Lama
Akhirnya, pada suatu hari… Pada tengah hari yang paling panas! Sinar matahari sedang membakar tanah…
Biasanya, selama waktu ini, penduduk kota akan tinggal di pojokan rumah-rumah mereka, entah untuk beristirahat ataupun berbincang dengan gembira di tempat yang sejuk.
Pada jam segitu, satu sosok dengan kepala terbungkus kain tebal diam-diam dengan tenang sedang menuju rumah Hazrat Abu Bakar as-Siddiq, berjalan di atas tanah yang panas…
Pada ketika itu, seseorang dari dalam rumah, yang sedang memandang keluar melalui jendela, mengenali sosok yang sedang mendekat itu dan memberitahu mereka yang ada di dalam rumah:
“Lihat! Rasulullah datang… Dan pada jam segini, beliau belum pernah datang sebelumnya!”
Mendengar itu, Hazrat Siddiq segera berdiri dan berkata:
“Semoga orang-tuaku dikurbankan untuknya! Pasti ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi… Jika tidak, dia tidak akan datang pada jam segini!”
Muhammad saw biasanya mengunjungi rumah mereka pada pagi hari atau malam hari, menanyakan keadaan mereka dan tinggal sebentar sebelum kemudian berpisah. Jam-jam seperti ini bukan waktu yang biasa untuknya berkunjung. Kecemasan Hazrat Siddiq tentunya karena merasa ada perkara penting yang sedang dihadapi.
Perintah berhijrah kepada Nabi Muhammad saw diberikan dalam Surat Al-Isra ayat 80:
Katakanlah, “Rabb-ku, dimana pun aku masuk, aku masuk dalam Kebenaran dan dari manapun aku keluar, aku keluar dalam Kebenaran, dan membentuk dari DiriMu (ladun Mu, potensi Nama-nama yang menyusun esensiku) kekuatan kemenangan!”
Rasul yang mulia itu sampai dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diajak masuk, beliau menatap Hazrat Siddiq dan berkata:
“Minta siapapun yang hadir bersamamu untuk keluar.”
Hazrat Abu Bakar Siddiq, sambil merujuk kepada istrinya Ummu Ruman, putrinya Asma, dan putrinya yang dinikahkan kepada Rasul saw, Hazrat Aisyah, berkata:
“Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan mereka muhrim.”
Pada saat itu, Guru kita menjelaskan masalahnya:
“Ya Abu Bakar, Allah telah memberi ijin kepadaku untuk berhijrah dari Mekah ke Madinah.”
“Ya Rasulullah, semoga orang-tuaku dikorbankan bagimu! Apakah aku kan disertai engkau dalam perjalanan ini?”
“Ya, engkau pergi bersamaku, Abu Bakar.”
“Semoga orang-tuaku dikorbankan bagimu, ya Rasulullah! Pilihlah salah satu dari kedua unta ini sebagai hadiah.”
“Aku hanya menerimanya dengan membayarnya, ya Abu Bakar.”
Untuk ini, Hazrat Siddiq menerima empat ratus dirham dari Guru kita sebagai pembayaran untuk unta itu. Dalam waktu yang tersisa, Ummu Ruman, Aisyah, dan Asma cepat-cepat menyiapkan bekal perjalanan mereka. Mereka membawa beberapa daging dan roti dalam sebuah tas. Kemudian, Asma merobek ikat pinggangnya menjadi dua bagian. Yang satu digunakan untuk mengikat tas itu dan yang lainnya untuk mengikat wadah air. Karena hal itulah, panggilan Asma menjadi “Zatun-Nitakain,” yang artinya “orang dengan dua ikat pinggang.”
Setelah itu, Hazrat Siddiq memanggil Amir bin Fuhairah, dan berkata:
“Ya Amir, aku mempercayakan beberapa kambing kepadamu mulai sekarang. Kami akan tinggal di gua kecil di Gunung Tsur untuk beberapa malam. Ambil kambing-kambing ini, beri dia makan di siang hari, dan bawakan kepada kami susunya pada malam hari.”
“Baik, Tuan,” jawab Amir.
Setelah Amir pergi, Abdullah bin Uraiqith, seorang pemandu ahli datang:
“Wahai Abdullah, engkau adalah pemandu ahli. Aku mempercayakan kepadamu dengan kedua unta yang berdiri di kebun. Ambil mereka dan bawalah ke pesisir pantai dengan menyapu jejaknya. Setelah tiga malam, datanglah ke kaki Gunung Tsur dan temui kami.”
“Siap, Tuan,” kata Abdullah, yang merupakan pemandu paling ahli di Mekah.
Hampir semua persiapan telah selesai. Sebagai instruksi terakhir, Hazrat Abu Bakar Siddiq berkata kepada putranya Abdullah:
“Anakku Abdullah, kumpulkan informasi dengan menyusuri kota di siang hari, lalu datangi kami di malam hari dengan berita terbaru tanpa terlihat siapapun.”