Janji Setia Aqabah Pertama
Satu tahun kemudian, di antara tahun Islam ke sepuluh dan ke sebelas, telah dilakukan upaya penyebaran Islam kepada suku-suku lainnya. Guru kita saw mengambil setiap peluang untuk memperkenalkan dan menawarkan Islam kepada mereka yang datang. Namun mereka ragu untuk menerima karena propaganda negatif oleh penduduk Mekah, dengan rasa takut akan akibat-akibatnya.
Tahun-tahun ini mungkin yang paling menantang bagi Guru kita, karena penganiayaan semakin meningkat dari hari ke hari. Mekah menjadi tempat yang tidak tertahankan lagi bagi kaum muslimin.
Guru kita kadang melakukan perjalanan ke suku-suku sekitar disertai Abu Bakar ra. dan Ali ra., mengajak para pemimpin suku untuk memeluk Islam. Namun meskipun upaya itu sudah dilakukan, tidak ada hasil positif yang dicapai, dan mereka kembali ke titik awal dengan rasa duka. Ini berlanjut hampir selama dua tahun.
Akhirnya, sekelompok kecil berjumlah enam orang dari suku Khazraj di Yatsrib (yang kemudian dikenal sebagi Madinah) datang ke Mekah. Mereka berkemah dekat Aqabah di Mina. Pada saat itu, Guru kita kebetulan melewati mereka dan bertanya:
“Siapa kalian?”
“Kami dari suku Khazraj!”
“Apakah kalian tetangga dan sekutu orang Yahudi?”
“Ya”
“Bisakah kami bercakap dengan kalian?”
“Tentu. Silakan duduk.”
Penduduk Madinah terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini terkadang berselisih dan terkadang membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Orang yahudi adalah ahli kitab dan ilmu, sementara suku Khazraj dan suku Aus adalah orang-orang musyrik dan penyembah berhala.
Apabila ada keretakan hubungan antara orang Yahudi dan suku-suku lainnya, orang-orang Yahudi akan marah dan mengancam mereka dengan cara berikut:
“Seorang Nabi akan segera datang! Bayang-bayang kedatangannya sudah sampai kepada kami! Apabila dia datang, kami semua akan mengikutinya, kemudian kami akan menumbangkan kalian seperti bangsa Iram dan Ad!”
Karena hal ini, orang-orang dari suku Khazraj dan Aus tahu bahwa mereka akan menghadapi seorang Nabi masa depan. Ketika Guru kita berjumpa mereka dan mulai berbicara, perkaranya perlahan menjadi jelas bagi keenam individu ini!
“Aku dikirim sebagai Rasul Allah, Rabb-nya seluruh alam… Aku mengajak kalian untuk mengakui Allah saja dan memberikan kesaksian bahwa sungguh aku ini adalah Rasul Allah!”
Keenam orang Madinah itu telah yakin bahwa Guru kita adalah Rasul Allah itu.
Kemudian beliau membacakan ayat Al-Qur’an:
“Allah telah berkehendak bahwa bagi setiap ego/diri akan menjalani akibat perbuatannya! Sungguh, Allah itu Sari’ul Hisab (membuat hasil dari perbuatan secara instan)!
Ini peringatan bagi manusia; agar mereka mengambilnya sebagai peringatan dan ketahuilah bahwa HUitu ESA, pemilik Uluhiyah! Agar orang-orang yang berakal, yang bisa merenung secara mendalam, mengingat dan mengevaluasi (kebenaran ini)![1]
Setelah ayat ini dibacakan, orang-orang Madinah itu berbicara satu sama lain:
“Dia pasti Rasul yang dikatakan orang-orang Yahudi itu. Mari kita segera mengimani dan mengikutinya agar mereka tidak mendahului kita dan menarik kita kepada golongan mereka!”
Maka dari itu, mereka membenarkan dan meyakini segala yang dikatakan Guru kita, lalu mereka berbicara sebagai berikut:
“Ketika kami datang kemari, suku-suku kami saling bermusuhan satu sama lain juga dengan orang-orang Yahudi. Kami berharap bahwa Allah, melalui engkau, akan mengumpulkan dan menyatukan mereka. Sekarang kami akan kembali dan mengajak mereka kepada apa yang engkau sampaikan, dan kami akan meminta mereka bergabung kedalam golongan orang-orang yang berserah diri. Jika Allah mengumpulkan dan menyatukan mereka di dalam agama ini, tidak akan ada seorang pun yang posisinya lebih mulia dan terhormat dibanding engkau.”
Setelah diskusi ini, kelompok pertama dari Madinah, yang terdiri dari Abu Umamah As’ad, Auf bin Harits, Rafi bin Malik, Qutbah bin Amir, Uqbah bin Amir, dan Jabir bin Abdullah, kembali kepada suku-suku mereka dan berbagi pengalaman dan mengajak setiap orang memeluk Islam dan mendahului orang Yahudi. Kabar tentang Islam menyebar dengan cepat dan meluas di Madinah hingga ke titik dimana hampir tidak ada satu rumah pun yang tidak menyebutkan Islam dan Guru kita.
Maka setahun telah berlalu.
Di tahun berikutnya, selama musim Haji, sebuah kelompok yang berjumlah dua belas orang tiba di Mekah dari Madinah. Enam di antaranya adalah orang-orang yang telah berjanji setia kepada Guru kita selama kunjungan sebelumnya, dan enam lainnya muslim yang baru. Rasulullah saw menawarkan peluang kepada mereka semua untuk berjanji setia bersama, disertai pasal-pasal berikut:
1. Tidak menyekutukan apapun atau siapapun dengan Allah.
2. Tidak mencuri.
3. Tidak melakukan zina.
4. Tidak membunuh anak-anak.
5. Tidak keliru menuduh orang lain dan menyebarkan dusta.
6. Tidak menentang perbuatan yang benar.
Lebih jauh lagi, Rasulullah menambahkan kata-kata berikut:
Barangsiapa memenuhi janji mereka, balasannya dari Allah, dan Surga menantikan mereka.
Jika salah seorang dari kalian melakukan dosa-dosa ini dan menerima hukuman sebagai akibatnya, ia menjadi tebusan bagi kesalahannya.
Dan jika siapapun di antara kalian melakukan dosa-dosa ini tapi tetap menyembunyikan dari Allah tanpa membukakannya, maka terserah Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.”
Mendengar pasal-pasal ini, orang-orang Madinah menerimanya tanpa keberatan dan berjanji setia kepada Guru kita, berjanji untuk mengikuti dan mematuhinya.
Peserta dalam Perjanjian Aqabah pertama adalah sebagai berikut: As’ad bin Zurarah, Auf bin Harits, Mu’adz bin Harits, Rafi bin Malik, Dzakwan bin Qais, Ubadah bin Shamith, Yazid bin Sallam, Abbas bin Ubadah, Uqbah bin Amir, Qutbah bin Amir, Malik bin Tayyihan, dan Umair bin Sa’ad, semoga Allah rida kepada mereka.
Setelah janji setia itu, para muslim itu kembali ke Madinah dan meminta Rasul untuk mengutus seseorang untuk memimpin shalat mereka dan mengajari mereka Al-Qur’an. Sebagai tanggapannya, Guru kita mengirim Mus’ab bin Umair ke Madinah sebagai pemimpin dan guru mereka. Sebagai tambahan, beberapa lama kemudian, dikirim pula Ummu Maktum ke Madinah dengan tanggung-jawab yang sama.
Ketika Mus’ab tiba di Madinah, dia tinggal di rumah As’ad bin Zurarah dan tinggal di sana di sepanjang misinya. Ketika menjalankan tugasnya dan menuntun penduduk Madinah kedalam Islam, mereka memutuskan, atas usulan As’ad, untuk mengunjungi daerah-daerah tetangga.
Mereka memasuki sebuah kebun milik seorang musyrikin yang bernama Sa’ad bin Muadz dari suku bani Zafar.
Pada saat itu, Sa’ad juga ada di sana, ditemani teman dekatnya Usaid bin Hudhair, seorang anggota terkemuka dari suku mereka. As’ad, yang membawa Mus’ab ke kebun itu, adalah kerabat jauh dari Sa’ad, maka dia tidak bisa langsung meminta mereka meninggalkan kebun. Maka, dia meminta temannya Usaid yang hadir bersama mereka.
“Engkau tahu bahwa As’ad adalah kerabatku, jadi aku tidak bisa menghampiri mereka sekarang ini. Tapi engkau bisa ke sana dan meminta mereka yang menipu orang-orang bodoh dan lemah di antara kita itu untuk meninggalkan kebun. Katakan kepada mereka untuk tidak kembali, atau aku akan berurusan dengan mereka dengan kekerasan!” pinta Sa’ad kepada Usaid.
Usaid bin Hudhair tidak menolak permintaan temannya dan mengambil tombaknya, berjalan menuju para muslim yang berkumpul di dekat sumur di dalam kebun. Melihat kedatangan Usaid dari kejauhan, As'ad membungkuk dan berbisik di telinga Mus’ab:
“Orang yang sedang menuju kita ini adalah tokoh penting di antara kaumku. Cobalah untuk mengalihkannya kepada Islam jika dia sampai kemari.”
Mus’ab menjawab, “Jika dia mau mendengarkanku, aku sungguh akan mencoba untuk mengajaknya menjadi muslim.”
Dengan cepat, Usaid mendekati mereka dan berteriak kepada Mus’ab: “Mengapa kalian datang kemari? Apakah untuk menghina suku kami yang lemah-otak dan bodoh? Biar kuingatkan, jika engkau menghargai nyawamu, tinggalkan tempat ini segera!”
Mus’ab menanggapi dengan tenang: “Daripada berbicara seperti ini, mengapa engkau tidak duduk dan mendengarkan kami? Jika engkau tidak setuju dengan apa yang kami katakan, maka engkau sangat berhak untuk menolak. Sebaliknya, bukankah lebih baik jika menerima apa yang menurutmu menggembirakan?”
Untuk sesaat Usaid berpikir, lalu berkata: “Engkau benar! Katakanlah lebih banyak kalau begitu… Aku akan mendengarkan.”
Lalu dia duduk, siap untuk mendengar keterangan Mus’ab.
Pertama-tama, Mus’ab menjelaskan kepada Usaid beberapa informasi tentang prinsip-prinsip agama Islam, kemudian dia membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Usaid sangat senang dengan apa yang didengarnya, tanpa sengaja menyela: “Wah, ini hal yang begitu indah! Betapa bijaknya kalian telah menjadi muslim. Jadi, apa yang perlu aku lakukan untuk menjadi muslim sekarang?”
Maka, mereka pun menjelaskan kepadanya apa yang diperlukan untuk menjadi seorang muslim: “Pertama-tama, engkau membersihkan dirimu dengan melakukan wudhu yang sempurna. Engkau bersihkan pakaianmu dengan sebaiknya. Lalu, engkau membaca Syahadat, menyatakan keimananmu kepada Allah dan Rasul, lalu mengerjakan shalat.”
Instruksi ini bergema di hati Usaid. Dia bangkit, mengambil air wudhu, membersihkan pakaiannya, membaca Syahadat, mengerjakan shalat dua rakaat dan bertaubat atas perbuatan masa lalunya. Setelah itu, dia menyapa As’ad dan Mus’ab:
“Ketika aku datang kemari, Aku meninggalkan seseorang di belakang. Jika dia menjadi muslim, tidak seorang pun dari kaumku yang akan menentang Islam, dan mereka semua akan menjadi muslim. Orang itu adalah Sa’ad bin Muadz. Sekarang akan aku kirim di kemari.”
Kemudian Usaid kembali kepada kaumnya. Sa’ad melihat kedatangan Usaid dari kejauhan dan melihat dengan cermat perubahan pada sikapnya. Dia menoleh kepada orang disekitarnya dan berkata:
“Orang ini kembali dengan keadaan yang berbeda dibanding ketika dia pergi! Pasti ada sesuatu yang telah terjadi!”
Pada saat itu, Usaid juga telah sampai kepada mereka. Sa’ad bertanya dengan bernafsu:
“Apa yang telah terjadi? Apa yang telah engkau lakukan? Apakah engkau telah menyuruh mereka pergi?”
Usaid berbicara dengan tenang dan acuh tak acuh:
“Aku mengatakan kepada mereka apa yang engkau katakan. Namun, aku tidak melihat perilaku yang melanggar dari mereka. Tapi aku meminta mereka untuk menghentikan tindakan-tindakan mereka. Lebih dari itu, aku mendengar bahwa anak-anak Haris, sepupumu itu, telah memutuskan untuk membunuh As’ad dengan tujuan utama untuk mempermalukanmu!”
Ketika Sa’ad bin Muadz mendengar kabar ini, dia menjadi sangat marah. Dengan cepat dia bangkit dan berangkat ke jalan menuju ke arah Mus’ab dan As’ad.
Ketika melihat Sa’ad mendekat dari kejauhan, As’ad mengingatkan Mus’ab dengan mengatakan:
“Itu dia Sa’ad bin Muadz! Jika dia juga menjadi setia kepadamu, tidak akan ada satu orang pun yang akan tersisa tanpa memeluk Islam.”
Sa’ad mendekati mereka, dia mengamati sikap mereka. Tidak mendapati pertanda pergolakan ataupun kesusu, dia sadar bahwa Usaid telah mendorongnya untuk memfasilitasi pertemuan.
Namun demikian, dalam kemarahan yang kuat, dia mendekati mereka dan berkata:
“Oh As’ad! Jika tidak ada kekeluargaan di antara kita, Aku tahu apa yang akan kulakukan padamu. Engkau tidak bisa mudah menerapkan sesuatu yang kami tidak menyetujuinya di lingkungan kami.”
Mus’ab menyela dan menanggapinya menggantikan As’ad:
“Oh Sa’ad, daripada berkata begitu, kenapa engkau tidak duduk dan mendengarkan kami? Dan jika apa yang kami katakan berkenan denganmu, bukankah akan lebih baik bagi Anda bergabung dengan kami?”
Sa’ad memikirkan kata-kata ini untuk sesaat. Tidak ada pernyataan yang nampak tidak masuk akal. Sangat masuk akal dan sebuah usulan yang pas.
Kemudian Mus’ab menjelaskan seluk-beluk keyakinan Islam kepada Sa’ad dan mulai membacakan awal dari surat Az-Zkhruf dari Al-Qur’an:
Ha, Mim.
Demi ilmu yang jelas-jelas menyingkapkan realita (hakikat)
Sungguh, Kami membuatnya dalam Qur’an berbahasa Arab, agar kalian menggunakan akal kalian (memahami dan mengevaluasinya)!
Dan sungguh, ia dalam Kitab Induk (ilmu Allah) di hadapan Kami, luhur (‘Aliy) dan penuh hikmah (Hakim).
Apakah Kami akan mengabaikan kalian karena kalian orang-orang yang melampaui batas (memboroskan kekuatan esensial melekat kalian)?
Dan telah banyak Nabi yang Kami datangkan kepada kaum-kaum sebelum kalian.
Namun apabila seorang Nabi datang kepada mereka, mereka memperolokkan apa yang dibawanya.
Maka, kami binasakan banyak umat, yang lebih kuat dari mereka, karenanya… Kaum terdahulu menjadi kisah yang penuh teladan!
Sungguh, seandainya kalian tanyakan kepada mereka, “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan mengatakan, “Al-Aziz dan Al-‘Alim.[2]
Sa’ad belum pernah mendengar perkataan semacam itu sebelumnya. Lagi pula, wahyu ilahi yang dia dengarkan pertama kali ini memiliki dampak yang luar biasa terhadapnya, dan tanda-tanda keimanan pun muncul di wajahnya. Begitulah cara orang memasuki agama Islam.
Dia bertanya:
“Apa yang mesti aku lakukan untuk menjadi seorang muslim?
“Engkau berwudhu, membersihkan diri, kemudian menyatakan keimananmu kepada Allah dan RasulNya, lalu masuk kedalam agama Islam dengan mengerjakan shalat dua rakaat dan bertaubat atas perbuatanmu di masa lalu.”
Mendengar jawaban ini, Sa’ad mengambil keputusan yang tegas lalu bangkit dari tempatnya dan melangkah menuju sumber air. Di sana, dia melakukan ritual wudhu, membersihkan diri, membaca syahadat, mengerjakan shalat dua rakaat, bertaubat atas perbuatan masa lalunya, lalu kembali kepada kaumnya.
Orang-orang dari suku itu bisa merasakan bahwa sesuatu telah berubah pada diri Sa’ad, sikap dan perilakunya. Ketika dia mendekati mereka, dia bertanya:
“Wahai putra-putra Abdul Asyhal, bagaimana kalian mengenal aku di antara kalian, dan bagaimana tindakan-tindakanku menurut pikiran kalian?”
Mereka menjawab:
“Engkau adalah pemimpin kami! Engkau selalu membimbing kami dengan pemikiran dan pendapat-pendapatmu. Engkau yang terbaik di antara kami dan paling murah hati.”
Mendengar tanggapan ini, Sa’ad mengeluarkan kata-kata berikut bagai berondongan peluru:
“Hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasulnya, haram bagiku untuk bercakap dengan kalian laki-laki dan perempuan!”
Mereka tertegun oleh perkataan yang tidak terduga ini.
Mereka tahu bahwa Sa’ad adalah seperti mereka belum lama ini, tapi kini dia telah memeluk Islam. Karena Sa’ad adalah pemimpin terhormat mereka, mereka pikir, maka mereka pun harus terus mengikuti dia. Oleh karenanya, mereka semua membuat keputusan untuk menjadi muslim.
Maka, menjelang akhir malam itu, keseluruhan lingkungan itu telah menjadi muslim.
Setelah pergantian keyakinan di lingkungan ini, As’ad dam Mus’ab menggabungkan kekuatan dan bekerja dengan rajin. Dalam waktu singkat, tidak ada lagi satu rumah pun yang tersisa di lingkungan itu yang belum memeluk Islam.