Kematian Abu Lahab
Paman dari Guru kita, Hazrat Abbas, telah memeluk Islam bersama istrinya, Ummu Fazl, serta budak yang dibebaskannya, Abu Rafi, sebelum Perang Badar. Namun dia sulit untuk menyatakannya secara terbuka tentang keimanannya karena kekayaannya yang banyak dan fakta bahwa sebagian besar dari uangnya ada di tangan para musyrikin Mekah. Menyatakannya peralihan keyakinannya secara terbuka akan membuatnya mustahil untuk mendapatkan kembali uang yang dipinjamkannya. Karenanya, dia tidak bisa menyingkapkan keimanannya dan pada akhirnya terpaksa turut serta dalam Perang Badar karena desakan kaum musyrikin. Seperti telah dimaklumi, dia kemudian menjadi seorang tawanan.
Hazrat Abbas ra. mempunyai budak yang dimerdekakan, Abu Rafi, yang tidak turut serta dalam ekspedisi itu dan tetap tinggal di Mekah. Mari kita dengar apa yang terjadi ketika itu dari perspektif dirinya:
"Abu Lahab tidak ikut ke Badar karena beragam alasan dan mengirimkan Ash bin Hisyam sebagai gantinya. Cukup lama waktu berlalu. Pada suatu hari, kami sedang di ruang zam-zam, sedang membuat cangkir air dari kayu, ketika Abu Lahab datang dengan menyeret kakinya... Ummu Fazl pun sedang bersamaku. Abu Lahab duduk dengan punggung menyandar kepadaku...
Pada saat itu, orang-orang di luar mulai terdengar berteriak, "Sufyan bin Harits telah tiba! Sufyan ada di sini!" Mendengar kabar ini, Abu Lahab langsung berseru, "Cepat, bawa dia kemari! Aku bersumpah dia membawa kabar terakhir dari Badar!"
Sufyan datang ke hadapan Abu Lahab dan orang-orang berkumpul di sekitar mereka. Dengan semangat dan rasa ingin tahu, Abu Lahab bertanya, "Keponakanku, ceritakan kepadaku, apa yang telah terjadi? Apa yang mereka lakukan?"
Dengan tenang, Sufyan melaporkan peristiwanya, "Aku bersumpah bahwa ketika kami menghadapi mereka, kami menyerahkan diri pada belas-kasih mereka. Mereka bisa saja membunuh kami atau memenjarakan kami sekehendak mereka. Tapi harus kukatakan, aku tidak menyalahkan orang-orang kita. Kami dihadapkan dengan begitu banyak orang berpakaian putih dengan kuda-kuda yang terawat baik, dan mustahil bagi siapapun atau pasukan manapun untuk bisa melawan mereka..."
Ketika Abu Sufyan menyampaikan itu, aku tidak bisa menahan diri dan berkata tanpa sengaja, "Sungguh itu para malaikat!" Mendengar perkataanku, Abu Lahab menjadi marah dan mengangkat tangannya untuk menampar wajahku dengan keras. Aku melompat ke arahnya untuk membalas. Tapi karena aku ini lemah, dengan cepat dia menguasaiku, melemparku ke tanah dan mulai memukulku dengan keji.
Melihat situasi itu, Ummu Fazl, istri dari Abbas ra. mengambil sepotong kayu besar dan memukul kepala Abu Lahab. Pukulan itu menimbulkan luka, dan darah pun mulai mengalir. Ummu Fazl menegurnya dengan berkata, "Apakah kau pikir akan mudah menyerangnya ketika dia jauh dari tuannya?"
Abu Lahab, dengan kepalanya yang berdarah, berusaha bangkit dan berjalan gontai menuju rumahnya. Tidak seorang pun berani berbicara. Setelah kejadian ini, Abu Lahab hanya hidup selama tujuh hari lagi. Pada hari ke tujuh, kabar kematiannya menyebar. Allah menyebabkannya mati karena penyakit berat yang dikenal sebagai "adese," yang kadang disebut sebagai "Kematian Gelap."
Setelah kematian Abu Lahab, tubuhnya tetap di rumahnya selama dua atau tiga hari tanpa dikuburkan... Mereka tidak menguburkannya... Tubuhnya mulai menyebarkan bau busuk, tapi mereka tidak bisa menguburkannya karena takut dengan penyakit "Kematian Gelap" yang ditakuti penduduk Quraisy sebagaimana halnya wabah. Setelah beberapa hari, seseorang menghadap kepada salah seorang putra Abu Lahab dan menegurnya dengan mengatakan, "Kalian sungguh memalukan, ayah kalian membusuk di rumahnya dan kalian tidak mau mendekatinya. Apakah kalian tidak malu dengan apa yang kalian lakukan?"
Putra Abu Lahab menjawab, "Kami bukan takut dengan ayah kami, melainkan dengan penyakitnya..."
Orang tersebut menawarkan bantuannya untuk mengeluarkan jasadnya, dan mereka pun masuk. Namun mereka tidak bisa mendekatinya... Bahkan mereka pun tidak memandikan mayatnya. Mereka hanya menyiramkan air dari kejauhan. Lalu mereka membungkusnya dengan kain tebal dan membawanya ke daerah bebatuan di luar Mekah. Mayatnya diletakkan di sana, ditutupinya dengan batu-batu agar tidak dijamah binatang, dan ditinggalkan..."