Cetak halaman

Kunjungan Ke Thaif Dan Balasan Pahit

Penganiayaan yang ditimpakan kepada guru kita oleh kaum musyrikin hari demi hari semakin meningkat dan tak tertahankan. Menghadapi situasi ini, pada malam ke dua puluh tujuh bulan Syawwal, yang bertepatan dengan tahun ke sepuluh kenabian, beliau meninggalkan Mekah dan pergi ke Thaif ditemani budak yang beliau merdekakan yang kemudian menjadi anak angkat beliau, Zaid bin Haritsah.

Tujuan beliau adalah mencari dukungan dari bani Tsaqif di Thaif agar memungkinkan mereka menjalankan kehendak Allah. Ketika Guru kita sampai di Thaif, beliau bertemu dengan tiga anggota suku Tsaqif terkemuka bernama Abdi Yalil, Mas’ud, dan Habib. Beliau berbicara kepada mereka tentang kewajiban Islam, sistem keyakinan, dan amal-amal yang perlu dikerjakan, mengajak mereka untuk memeluk keyakinan ini. Diskusinya berjalan selama sepuluh hari.

Di akhir percakapan, dua darinya menentang dengan terbuka dan mengungkapkan pikiran mereka kepada Guru kita sebagai berikut:

“Jika Allah benar-benar telah mengirim engkau sebagai RasulNya, semoga aku dikutuk dan hinakan seolah aku telah mencuri atau merobek kain penutup Kabah!”

“Apakah Allah tidak bisa mengirim orang yang lebih kuat dari engkau sebagai Rasul? Apakah Rabb-mu sedemikian lemah sehingga Dia tidak bisa menemukan orang yang lain?”

Orang ke tiga, Abdi Yalil, berbicara dengan pandangan yang agak lebih bijak dibanding yang lain:

“Aku bersumpah, aku tidak ingin terlibat percakapan dengan engkau. Jika Engkau benar-benar seorang pembawa pesan, ada bahaya yang sangat besar yang akan menentangmu dan tidak akan mendengar perkataanmu. Tapi jika engkau berbohong dan bermaksud menggambarkan dirimu sebagai seorang Rasul, aku pun tidak ingin terlibat dalam percakapan denganmu.”

Mendengar tanggapan dari para pemimpin Thaif ini, Guru kita merasa sedih dan membuat permintaan kepada mereka:

“Tolong percakapan kita ini hanya di antara kita saja. Jangan dibukakan kepada orang lain.”

Namun demikian, kaum Quraisy telah sampai kepada mereka dan telah mulai menghasut mereka:

“Jika kalian tidak mengusirnya dari kota kalian, kalian akan menghadapi masalah besar. Dia akan mengumpulkan orang-orang bodoh kalian, wanita-wanita kalian, dan anak-anak dan hanya akan menimbulkan masalah bagi kalian!”

Pada akhirnya, terpengaruh oleh himbauan ini, kaum musyrikin Thaif mengusir Guru kita dan putra angkat beliau, Hazrat Zaid dari Thaif:

“Cepatlah pergi! Pergilah kemanapun yang engkau inginkan! Engkau membawa kesusahan kepada kaummu sendiri; bahkan mereka pun menentangmu. Kau pikir bisa menipu kami dengan keadaan ini?”

Setelah itu, mereka membentuk sekelompok preman untuk menyertai Rasulullah saw dan menimpakan beragam siksaan kepada beliau.

Ketika Guru kita keluar dari Thaif, mereka mulai menghujani beliau dengan batu. Mereka pun melemparkan benda-benda lain yang berbahaya kepada beliau sehingga kaki beliau luka dalam. Kepala beliau sedikit luka, dan darah mulai mengucur darinya. Meskipun mengalami rasa sakit dan kesulitan, mereka memaksa beliau berdiri setiap kali beliau mencoba duduk. Memaksa beliau berjalan di tengah-tengah hinaan dan lemparan batu.

Di tengah-tengah serangan ini, Zaid yang berusaha menjadi tameng bagi Rasulullah saw dari lemparan batu, kepalanya robek dan darah pun mengucur ke wajahnya. Kakinya juga terluka dan berdarah.

Akhirnya, mereka mencari perlindungan di kebun Utbah dan syaibah bin Rabiah yang tidak jauh dari situ. Mereka tidak bisa lagi melangkah atau mengucapkan sepatah kata pun. Ini merupakan siksaan terbesar yang dialami Guru kita.

Doa terkenal yang disampaikan Guru kita pada ketika itu adalah sebagai berikut:

“Ya Allah, kuperlihatkan kepadamu bahwa kekuatanku telah habis, dan kini aku tidak berdaya, ditimpa hinaan di antara orang-orang itu. Wahai yang Maha Pengasih dari pengasih! Engkau adalah Rabb dari orang-orang yang lemah dan miskin, yang direndahkan semua orang.

Ya Rabbi, Engkau tidak akan biarkan aku jatuh ke tangan-tangan jahat dan musuh-musuh yang hina. Engkau begitu pengasih sehingga Engkau bahkan tidak akan membuatku bergantung kepada kerabat dekat yang kepadanya Engkau berikan kekuasaan atas urusanku.

Ya Rabbi, jika Engkau tidak marah kepadaku, aku tidak peduli dengan kesusahan dan derita yang menimpaku. Namun juga benar bahwa ampunanmu dan kasihmu cukup besar dengan tidak membiarkanku mengalami ujian ini.

Ya Rabbi, aku berlindung kepada cahaya wajahMu yang menghapus semua kegelapan, dari terjatuh kedalam murka dan ketidakridaanMu. Cahaya yang menerangi kegelapan dunia ini dan Akhirat, penyelamat kehidupan.

Ya Rabbi, aku bertaubat kepadaMu hingga Engkau rida kepadaku.

 Ya Rabbi, sesungguhnya, semua daya dan kekuatan hanya milikMu semata.”

 

Pada saat itu, Utbah dan syaibah menyaksikan keadaan Guru kita dan anak angkat beliau. Mereka memanggil budak Kristen mereka, Addas, dan memberinya satu tangkai besar anggur, dan memerintah kepadanya untuk memberikannya kepada Rasulullah saw.

Dengan taat, Addas mengikuti perintah itu, memberikan anggur itu langsung kepada Guru kita, yang menerima anggur itu dengan ucapan, “Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang.” dan mulai memakannya.

Ucapan Basmalah menarik perhatian Addas, dan berkata, “Sungguh, orang-orang di wilayah ini tidak kenal dan tidak menggunakan ungkapan itu.”

Mendengar ini, Guru kita bertanya kepada Addas, “Wahai Addas, dari mana asalmu? Apakah agamamu?”

“Aku dari Nineveh! Aku seorang Kristen,” Addas menjawab.

“Jadi, engkau senegeri dengan manusia shaleh, Yunus, putra Matta?” kata Guru kita.

Addas terkejut oleh pertanyaan ini dan bertanya, “Dari mana engkau tahu Yunus, putra Matta?”

“Dia itu saudaraku! Dia seorang Rasul, dan aku juga seorang Rasul!”

Mendengar perkataan itu, Addas tidak bisa mengendalikan dirinya dan bersujud di depan kaki Guru kita saw. Sementara itu, Utbah, yang mengamati dari jauh, menoleh kepada Syaibah dan berkata, “Lihat, Laki-laki itu bahkan telah membelokkan keyakinan budak kita tepat di depan mata kita. Dia telah menyesatkannya!”

Pada saat itu, Addas juga mendekati mereka. Utbah menampar Addas sambil berkata, “Memalukan, Addas! Lihat, laki-laki ini telah menyesatkanmu dari agamamu.” Addas menanggapi mereka dengan mengatakan, “Wahai Tuan! Aku bersumpah, tidak ada seorang pun di muka bumi yang lebih baik dari manusia mulia ini. Dia berbicara kepadaku tentang sesuatu yang hanya seorang Rasul yang bisa mengetahuinya.”

Setelah itu, Guru kita berangkat menuju Mekah dengan hati yang sedih dan susah. Selama dalam perjalanan ini, ada kejadian yang diriwayatkan dalam hadits Sahih Bukhari:

Aisyah (semoga Allah rida dengan periwayatannya), “Pada suatu hari, aku betanya, ‘Ya Rasulullah, apakah engkau mengalami hari yang lebih sulit dan berat dibanding hari ketika Perang Uhud?”

Guru kita menjawab, “Wahai Aisyah, aku menghadapi banyak kesulitan dari kaumku (Quraisy). Namun, kesukaran yang aku jumpai pada hari Aqabah lebih berat dibanding semuanya. Ketika aku ke Thaif mencari perlindungan bagi hidupku, dan menawarkan permintaanku kepada putra Abdi Kullal, Abdi Yalil, dia tidak menanggapi permohonanku. Aku kembali dengan derita dan kejutan. Ketika aku sampai ke tempat Karni Salib dan menengadahkan kepalaku ke langit, aku melihat awan menaungiku. Ketika aku mengamati awan itu, aku mengenal bahwa Jibril as. berada di dalamnya. Pada ketika itu Jibril as. berkata kepadaku,

‘Allah pasti mendengar apa yang dikatakan kaummu tentang engkau, dan Dia mengetahui bahwa mereka tidak mau melindungi. Allah telah mengirim malaikat pegunungan kepadamu (untuk mematuhi perintahmu). Engkau bisa memerintah apapun yang engkau inginkan terhadap kaummu.’

 Mendengar ini, malaikat pegunungan itu juga memanggil dan menyalami Guru kita:

‘Ya Muhammad, apa yang dikatakan Jibril benar. Aku siap mendengar perintahmu. Jika kau menginginkannya, aku bisa membuat kedua pegunungan ini, yang dikenal sebagai Abu Qubais dan Quaiqian, menimpa orang-orang Mekah.’

Aku berkata, ‘Aku ingin bahwa Allah mengeluarkan sebuah generasi dari keturunan orang-orang musyrik yang akan beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan Dia.’”

Perjalanan yang menyedihkan ini berlangsung selama sekitar sebulan. Guru kita memutuskan untuk kembali ke Mekah. Ketika beliau menyempaikan maksudnya kepada Zaid, Zaid bertanya dengan keheranan, “Ya Rasulullah, bagaimana engkau akan kembali kepada mereka sedangkan mereka telah mengusirmu?”

Guru kita menjawab,”Wahai Zaid, Allah pasti akan mengangkat kesukaran yang kau lihat ini. Tidak diragukan, Dia akan membuka jalan keselamatan. Allah, Yang Maha Kuasa, pasti akan memenangkan agamaNya dan memberikan pertolongan kepada RasulNya.”

Setelah itu, Guru kita pergi ke Gunung Hira, dekat Mekah. Ketika beliau tiba di sana, beliau mendapati Abdullah bin Uraiqith. Beliau mengutus dia ke Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amr, orang-orang yang berpengaruh di kota Mekah, untuk menanyakan apakah mereka mau memberikan perlindungan selama misi Risalah beliau.

Namun beliau menerima tanggapan sebagai berikut: “Karena aku telah membuat perjanjian dengan penduduk Mekah, aku tidak memiliki wewenang untuk menawarkan perlindungan kepada orang lain.” Tentu saja, rasa takut mereka terhadap musyrikin Quraisy memainkan peranan penting terhadap tanggapan Akhnas dan Suhail.

Setelah mendengar ini, Guru kita mengutus Abdullah bin Uraiqith kepada Muth’im bin Adi agar bisa masuk ke Mekah. Beliau menginstruksikan kepada Abdullah untuk mengatakan, “Muhammad menanyakan apakah engkau akan menawarkan perlindungan baginya hingga dia menyampaikan pesan yang diamanatkan Rabb-nya kepadanya.”

Abdulah berangkat ke Mekah dan menyampaikan pertanyaan itu kepada Muth’im bin Adi.

Tanggapan Muth’im bin Adi terhadap pertanyaan itu sebagai berikut: “Ya, biarkan dia datang. Aku akan menawarkan perlindungan baginya. Biarkan dia melanjutkan misinya!” Dengan penerimaan ini, rasa untuk menunjukkan kebesaran diri memainkan peranan dibanding kedekatan kepada agama.

Muth’im bin Adi berusia di atas sembilan puluh tahun. Esok harinya, dia mempersenjatai dirinya, dengan dikelilingi anak-anaknya serta anak-anak saudara laki-lakinya, dan menjelaskan mengapa dia melakukan langkah ini: “Ketahuilah bahwa aku menawarkan perlindunganku kepada Muhammad! Tidak seorang pun boleh menyentuhnya! Jika tidak, dia akan menghadapi kami!”

Setelah itu, ditemani anak-anak dan keponakannya, dia membawa Guru kita memasuki Haram Asy-Syarif. Anak-anak dia menyebar di sekitar Kabah. Pada ketika itu, Abu Jahal muncul dan mendekati Muth’im bin Adi dan bertanya, “Ya Muth’im, apakah engkau mendukung dia ataukah mengikuti dia?”

Muth’im menjelaskan situasinya dengan lantang, “Aku pendukungnya. Wahai masyarakat Quraisy, ketahuilah bahwa Muhammad berada di bawah perlindunganku. Tidak seorangpun boleh mencelakainya!”

Di tahun ke sepuluh, pada hari Selasa tanggal dua puluh Zulqaidah, Rasulullah saw memasuki Mekah lagi dan melaksanakan thawaf tujuh keliling, mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.

Sungguh, di lain waktu, Rasulullah saw selalu mengingat kebaikan ini. Setelah Perang Badar, ketika putra Muth’im, Jubair, yang belum memeluk Islam ketika itu, didekati Guru kita, beliau berkata, “Jika ayahmu Muth’im bin Adi masih hidup dan memintaku untuk memaafkan orang-orang yang rusak ini, aku akan memaafkan mereka semua demi dia!”


7 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini