Pembangunan Masjid Nabawi
Pada hari itu, kota Madinah sedang mengalami kegembiraan dan keceriaan yang luar biasa. Setiap orang berharap menjadi tuan rumah bagi Abu Bakar Siddiq dan Muhammad saw di rumah mereka. Namun, Rasul Al-Akram mengatakan bahwa unta beliau, Qashwa, akan berhenti dan berlutut sendiri di tempat yang disukainya, dan mereka akan mengikutinya. Unta itu membawa mereka ke sebuah lahan kosong di seberang rumah Khalid bin Zaid, lalu berhenti dan berlutut ke tanah.
Karena itu, Guru kita saw dan Hazrat Abu Bakar Siddiq turun dari unta. Rasul Al-Akram kemudian mengunjungi rumah Hazrat Khalid.
Hazrat Khalid, yang kini dikenal sebagai Khalid bin Zaid Abu Ayyub Al-Anshari, dimakamkan di daerah Eyup Sultan, Istambul, sebuah tempat yang dikunjungi banyak orang setiap harinya. Dia adalah seorang Anshar, putra dari Zaid, dan ayah dari Ayyub.
Ketika Rasul Al-Akram menjadi tamu di rumah Hazrat Khalid, Hazrat Abu Bakar Siddiq tinggal di rumah Hazrat Haritsah bin Harits, tokoh terkemuka dan kaya di antara penduduk lokal Madinah.
Kala itu pagi pertama setelah Rasul Al-Akram tiba di Madinah dan melewati malam pertamanya di rumah Hazrat Khalid. Rasul Al-Akram mengerjakan shalat Subuh dan terlibat percakapan dengan para sahabatnya.
Sebenarnya, Khalid ra. tidak bisa tidur malam itu. Dia khawatir bahwa Guru kita terganggu karena beliau tidur di lantai bawah. Oleh karena itu, besok paginya, keluarga itu memutuskan bahwa Rasulullah tidur di lantai atas.
Pagi itu, Khalid ra. bergegas menuju Rasulullah saw dan berkata, "Ya Rasulullah, kami tidak bisa tidur tadi malam karena engkau tidur di lantai bawah."
"Kenapa, ya Khalid? Kenapa kalian tidak bisa tidur?"
"Kami khawatir bahwa anak-anak membuat suara gaduh dan mengganggu engkau. Itu sebabnya kami tidak bisa tidur. Debu-debu juga mungkin jatuh menimpamu."
Guru kita saw meyakinkannya dengan berkata, "Tidak, Khalid, kalian tidak mengganggu kami. Bahkan lebih baik begitu. Orang-orang datang dan pergi, dan karenanya mereka bisa mengganggu kalian."
Namun Khalid ra. bersikeras, "Tapi cara ini bertentangan dengan keramahan dan rasa hormat kami kepadamu, ya Rasulullah. Tolong terima permintaanku agar engkau tidur di lantai atas."
Rasulullah saw setuju, maka beliau pun tinggal di lantai atas rumah Hazrat Khalid. Malam itu, Guru kita memikirkan tentang tanah tempat unta beliau berlutut.
Hazrat Khalid bertanya-tanya dengan bersuara, "Tanah siapa ini ya?" Lalu dia teringat, "Oh, itu kepunyaan putranya Rafi dari Bani Najjar. Dua anak yatim yang kehilangan ayah mereka yang memilikinya. Pemimpin kota kita, Abu Imamah As'ad, adalah perwaliannya."
Rasulullah saw sangat tergerak ketika beliau mendengar kata "yatim." Beliau tahu bahwa Allah, yang membawa beliau kepada situasi ini, juga akan memberi berkah yang banyak kepada kedua anak yatim ini.
Merasa ingin tahu, Guru kita bertanya, "Siapa kedua anak yatim ini?" Hazrat Khalid menjelaskan, "Mereka putra-putra Rafi, Sahl dan Suhail. Mereka mewarisi tanah ini dari ayah mereka. Kurma-kurma dikeringkan di sini, dan umat Islam berkumpul di sini untuk shalat berjamaah. Imam As'ad memimpin shalat kami."
Rasulullah mengungkapkan keinginannya untuk bertemu kedua anak yatim itu dengan berkata, "Bisakah kalian membawa anak yatim itu kemari, ya Khalid?" Khalid mengiyakan dan memanggil kedua anak itu.
Menjelang sore hari, kedua anak itu datang ke hadapan Rasulullah dengan gembira, mencium tangan Rasulullah. Merupakan kehormatan yang sangat besar bagi mereka bisa bertemu Rasulullah. Setelah membelai dan menunjukkan rasa kasih-sayang kepada mereka, Guru kita berbicara: "Wahai Sahl dan Suhail, aku ingin membeli lahan kosong kalian. Maukah kalian menjualnya kepada kami?" Kedua anak itu terkejut dan menjawab, "Apakah itu bisa diterima, ya Rasulullah?"
"Kenapa tidak?"
"Kami tidak menjualnya untuk uang, ya Rasulullah."
Guru kita bertanya lebih jauh, "Lalu apa yang akan kalian lakukan?"
"Kami akan memberikannya sebagai hadiah, semata untuk rida Allah."
Rasulullah saw merasa senang dengan perilaku mereka. Namun beliau memikirkan apakah adil mengambil tanah dari kedua anak yatim ini. Beliau berkata kepada mereka, "Semoga Allah rida dengan kalian! Namun, aku bisa membeli lahan kalian dengan harga yang pantas."
Kemudian Guru kita berpaling kepada Hazrat Abu Bakar dan berkata, Kita membeli lahannya seharga sepuluh mitsqal. Bayarkan uangnya kepada anak-anak itu, ya Abu Bakar."
Kemudian beliau menyapa semua yang hadir dengan mengatakan, "Wahai sahabat-sahabatku, aku membeli lahan ini untuk membangun sebuah masjid. Mulai hari ini ke depan, kita harus mempersiapkan diri untuk memulai pembangunan masjid ini. Dengan rahmat Allah, kita akan segera menjalankan shalat kita di sini dengan berjamaah."
Pada lahan ini ada pohon-ponon kurma dan anggur. Di bawah bimbingan Guru kita, pepohonan dan anggurnya ditata, dan tanahnya pun dengan cepat diratakan dan disiapkan untuk membangun dinding-dindingnya.
Pertama-tama, Rasulullah saw memesan untuk membuat bata, kemudian mengadakan kayu-kayu. Akhirnya, hari pemasangan batu pondasi pun tiba.
Dengan kalimat berkah "Bismillahir-Rahamaanir-Rohiim", Rasulullah saw meletakkan batu pertama. Hazrat Abu Bakar, Hazrat Ali, Hazrat Umar dan yang lain mengikutinya. Para sahabat, melihat dedikasi Rasul, terinspirasi untuk bekerja lebih giat lagi. Sebagian mengangkut kayu, sebagian memindahkan bata, dan sebagian yang lain membangun dinding-dindingnya. Tujuan mereka bersama adalah menyelesaikan masjid muslim pertama di Madinah.
Selama pembangunan Masjid Rasul (Masjid Nabawi), orang yang paling semangat adalah Ammar bin Yasir. Sementara sahabat yang lain masing-masing membawa satu bata dari galian Baqi'ul Habjaba, Ammar membawa dua bata sekali jalan. Ketika ditanya kenapa dia melakukan itu, dia menjawab, "Aku membawa bata yang ke dua demi Rasulullah."
Ada sebagian yang memendam perasaan buruk terhadap Ammar bahkan berkeinginan untuk membunuhnya. Ammar menyampaikan perihal ini kepada Rasulullah dan berkata, "Mereka ingin membunuhku, ya Rasulullah!" Mendengar ucapan Ammar ini, Guru kita mengusap wajahnya yang berkeringat dan berdebu seraya berkata, "Celakalah mereka yang merenanakannya terhadapmu, ya Ammar! Namun, hidupmu tidak akan berakhir di tangan mereka, sekelompok pemberontak akan mengakhiri hidupmu, sedangkan engkau akan mengundang mereka ke Surga pada saat itu."
Perkataan Rasulullah saw mengenai masa depan Ammar menjadi sebuah ramalan yang terpenuhi. Selama Perang Siffin, ketika Ammar berpihak kepada Hazrat Ali ra. dan melawan pemberontak yang dipimpin Muawiyah, dia terbunuh oleh orang-orang yang memberontak terhadap Hazrat Ali ra. Tepat ketika itu, Ammar sedang mengajak mereka untuk bergabung di bawah panji Hazrat Ali ra.
Pembangunan Masjid Rasul berlangsung selama tujuh bulan. Selama itu, Guru kita tinggal di rumah Hazrat Khalid. Selama tujuh bulan ini, kaum Anshar, umat muslim di Madinah, bergiliran membawa makanan dan minuman untuk beliau, tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melayani beliau. Hampir setiap malam, mereka bergegas untuk menyatu dalam kelompok Rasul yang diberkati, berupaya meraih ilmu dan hikmah sebanyak mungkin dari beliau.
Di penghujung bulan ke tujuh, keluarga Guru kita, Hazrat Aisyah dan keluarga Abu Bakar Siddiq dibawa ke Madinah.
Ketika hari-hari itu berlalu, pembangunan masjid terus berlanjut, dan rasa persatuan serta kesetiaan di antara umat Islam awal terus menguat.