Pengejaran

Mengetahui bahwa Rasulullah dan Hazrat Siddiq berangkat ke Madinah, kaum musyrikin Quraisy mengirim utusan kepada suku-suku di sekitar. Mereka mengumumkan bahwa siapapun yang menangkap dan membawa kembali Muhammad dan Abu Bakar Siddiq ke Mekah akan diberi imbalan dua ratus unta kepada setiap orangnya.

Suku Mudlij adalah salah satu dari suku-suku yang hidup dekat pesisir Mekah. Seperti semua suku lainnya, mereka telah menerima kabar itu namun tidak begitu memperhatikannya. Suraqah bin Malik bin Ju’syum, adalah salah satu dari anggota suku itu. Pada hari itu, seperti hari-hari lainnya, dia telah menyelesaikan pekerjaan sehari-harinya dan sedang beristirahat dengan berbaring.

Namun nampaknya dia tidak bisa menemukan ketentraman. Seorang penunggang kuda yang basah dengan keringat mendekatinya. Penunggang kuda ini dari suku Quraisy. Dia berhenti di depan Suraqah dan berkata, “Hei Suraqah! Aku melihat beberapa orang, seperti musafir, sedang menuju pesisir pantai. Aku curiga bahwa itu Muhammad dan teman-temannya.”

Suraqah segera memahami situasinya. Para musafir itu memang Rasulullah dan para sahabatnya. Namun dia tidak ingin berbagi dua ratus unta dengan siapapun.

Dia menanggapi, “Orang-orang yang engkau lihat bukan Muhammad dan teman-temannya. Mungkin yang engkau lihat itu Abu Fadl dan teman-temannya. Mereka baru saja melewati kami.”

Utusan Quraisy ini sangat tidak suka dengan tanggapan ini. Dia mengerutkan keningnya, memacu kudanya tanpa berkata-kata lagi, dan berlalu.

Suraqah, setelah memandang langit dan nampak berpikir, perlahan-lahan bangun dan memasuki rumahnya. Rupa-rupanya, dia tidak ingin teman-temannya mengetahui niatnya. Dia menoleh kepada budaknya yang sedang duduk di sebuah pojokan dan berkata, “Ambil kudaku dan pergilah ke bukit di belakang rumah. Tunggu aku di sana! Awas jangan sampai dilihat siapapun!”

Sang budak cepat-cepat bangkit dari tempatnya dan pergi ke luar. Suraqah diam di dalam sebentar, lalu mengambil tombak panjangnya yang mengkilat lalu keluar melalui belakang rumah dan berjalan menuju bukit itu. Dia meyakinkan bahwa kilatan tumbaknya tetap dekat dan sejajar dengan tanah agar tidak menarik perhatian siapapun. Akhirnya dia sampai ke tempat kudanya dan dengan cepat menaikinya, lalu berkata kepada budaknya, “Kembalilah ke rumah. Jangan katakan apapun kepada siapapun!”

Ketika budaknya menuju rumah, Suraqah mengarahkan kudanya menuju pantai dan berangkat. Kuda Arab itu melaju kencang di sepanjang pesisir, berlari lebih cepat daripada imajinasi siapapun, seekor kuda Arab merah yang bergerak laksana terbang. Suraqah berusaha lebih keras lagi, dengan menyadari bahwa unta-unta itu tidak sebanding dengan kudanya. Dia terus memacu keras kudanya.

Hazrat Siddiq, mendengar sayup-sayup suara berisik terbawa angin, memalingkan kepalanya dan melihat seorang laki-laki yang sedang mendekati mereka dengan kecepatan penuh diatas kuda yang berlari kencang. Dengan cepat dia memberitahu Rasulullah, “Semoga orang-tuaku dikorbankan untukmu, ya Rasulullah! Seorang penunggang kuda sedang mendekati kita dengan cepat!”

Guru kita mengangkat kepalanya sedikit dan berkata, “Ya Allah, buat dia jatuh dari kudanya!”

Ketika Suraqah, yang sudah cukup dekat kepada mereka, meneruskan pengejarannya, kudanya tiba-tiba terpeleset, tersandung dan jatuh ke tanah. Suraqah tidak bisa menjaga keseimbangannya dan berakhir dengan menggeletak di atas pasir. Namun gerak jatuh dan bangkitnya hampir seketika. Dia berhenti sesaat, merenungkan nasibnya. Kemudian, dia berpikiran untuk mengundi nasibnya.

Di antara orang-orang Arab, mengundi nasib merupakan praktek biasa untuk mencari pertanda. Apabila mereka akan melaksanakan suatu tugas, mereka akan mengeluarkan kantung kulit kecil yang mereka bawa. Di dalam kantung itu berisi dua anak panah, yang satu bertuliskan “Na’am” (Ya) dan yang lain “La” (tidak). Tanpa melihat, mereka akan mengambil satu secara acak. Yang manapun yang mereka tarik, “Ya” atau “Tidak” menentukan apakah mereka akan melanjutkan tugasnya atau tidak. Itu merupakan kebiasaan khusus pada masa itu.

Suraqah segera meraba ke bawah ikat pinggangnya pada kantung ramalannya. Secara acak dia memilih salah satu anak panah itu sambil berpikir, “Apakah bisa mencelakai Muhammad dan teman-temannya?”

Anak panah yang ditariknya bertuliskan “La” (Tidak).

Suraqah tidak puas dengan hasilnya. Dia menaiki kudanya lagi dengan perasaan tidak menentu. Dia berhenti untuk sesaat.

Lalu tiba-tiba, dia memacu kudanya untuk maju.

“Yeaahh!”

Kuda merah itu melanjutkan pengejarannya terhadap rombongan itu. Meskipun tadinya sudah jauh jarak di antara mereka, namun kini makin mendekat. Semakin lama dia semakin dekat, dan akhirnya, dia begitu dekat sehingga Suraqah mulai mendengar Rasulullah membacakan sesuatu.

Rasulullah saw, alih-alih menoleh ke belakang, beliau terus melakukan bacaannya. Sementara Hazrat Siddiq sering memalingkan kepalanya ke belakang.

Sesuatu mesti terjadi, dan benar saja! Tiba-tiba keajaiban terjadi. Kedua kaki depan kuda Suraqah mulai tenggelam ke dalam pasir. Kuda itu terus tenggelam dan semakin buruk. Kedua kaki depan kuda itu perlahan-lahan terkubur hingga lututnya di dalam pasir.

Suraqah tidak bisa lagi menahan dirinya dan terhatuh dari kudanya. Cepat-cepat dia bangkit dari pasir lunak itu dan mulai berjuang menyelamatkan kudanya. Dia berusaha membebaskan kudanya sementara kudanya pun berjuang meloloskan diri, tapi mereka tidak berhasil.

Betapa besar hikmah yang bermain di sini! Ketika Suraqah melepaskan tangannya dari kuda itu, sang kuda menjejakkan kakinya sekali lagi dengan sekuat tenaga. Penyelamatan! Kaki-kaki kuda itu terlepas dari pasir melalui usaha terakhirnya ini.

Namun, pada saat yang sama, tepat dari lubang bekas terjebaknya kaki kuda itu, sebuah asap seperti tiang api naik ke langit dan menghilang.

Suraqah menjadi semakin putus harapan. Dia merogoh kembali kantung ramalannya untuk yang ke dua kalinya. Pertanyaannya masih sama, “Apakah aku bisa mencelakai Muhammad dan teman-temannya?”

Jawaban pada anak panah itu sama dengan sebelumnya, “La” (Tidak).

Dalam keadaan bingung dan kini menerima jawaban yang sama untuk ke dua kalinya, dia kehilangan nafsunya sama sekali, “Ya Muhammad! Ya Muhammad! Aku menyerah! Berhentilah!” teriaknya.

Rasulullah mendengar ucapannya dan menghentikan untanya. Suraqah menaiki kudanya dan mendekati mereka.

“Aku Suraqah, putra Malik dari suku Ju'syum,” dia memperkenalkan. “Aku menjamin, tidak sekarang ataupun di masa datang, tidak ada bahaya yang akan mendatangimu dariku. Seperti halnya di masa lalu, engkau belum melihat permusuhan apapun dariku.”

Suraqah kemudian menjelaskan imbalan yang dijanjikan orang Quraisy kepadanya dan apa niat mereka. Setelah itu dia berkata:

“Di depan, engkau akan menjumpai beberapa hewan gembala di perjalanan. Hewan-hewan itu milikku. Ambillah sebanyak yang engkau suka jika engkau melihatnya.”

“Aku tidak menginginkan mereka; aku tidak membutuhkannya, Suraqah, “ jawab Rasulullah.

Suraqah kemudian berkata, jika demikian, tuliskanlah untukku sebuah surat perlindungan untuk menjamin keselamatanku.”

Rasul menginstruksikan kepada Amir untuk menulis sebuah surat perlindungan bagi Suraqah. Amir mematuhinya, menuliskan dokumen yang diminta pada selembar kulit dan memberikannya kepada Suraqah.

Setelah itu, Rasul berkata kepada Suraqah, “Jangan katakan kepada siapapun bahwa engkau melihat kami. Jagalah sebagai rahasia!”

Setelah itu, Guru kita meminta untanya maju dan melanjutkan perjalanan beliau.

Suraqah melanjutkan kepulangannya, menapaki langkah-langkahnya, dan tidak lama kemudian berjumpa dengan teman-temannya yang menuju ke arahnya dari arah yang berlawanan. Dia bertanya, “Kalian semua mau kemana tergesa-gesa begini?”

“Kami sedang mencari Muhammad dan teman-temannya. Dan engkau, datang dari mana?” tanya mereka.

“Jangan bersusah-susah pergi terlalu jauh dan membuat diri kalian letih dengan sia-sia,” jawab Suraqah. “Aku telah memeriksa seluruh area sejauh mata memandang, tapi tidak ada pertanda dari keberadaan mereka. Tak ada jejak, tak ada jejak sama sekali. Mari mencari ke arah lain.”

Suraqah – yang memeluk Islam selama ekspedisi Thaif dan telah tinggal di Madinah hingga masa Khalifah ke tiga, Utsman – berbalik dan memimpin teman-temannya berbalik arah. Sejak titik itu, Rasulullah saw, Abu Bakar ra. dan kedua pemandu mereka melanjutkan perjalanan tanpa kejadian apapun.

Kadang-kadang, mereka bertemu beberapa kafilah yang dikenal Abu Bakar karena hubungan dagang. Mereka akan saling menyapa:

“Salam, Abu Bakar!”

“Salam, Abu Jamil!”

“Siapa yang duduk di depanmu?”

“Dia pemandu kami, menolong perjalanan kami.”

Abu Bakar tidak pernah membukakan identitas kepada orang-orang yang tidak mengenalnya bahwa orang yang duduk di depannya adalah Rasulullah saw.


19 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini