Persaudaraan

Sebelum hijrah, Rasulullah saw biasa membangun ikatan persaudaraan di antara beberapa laki-laki yang masuk Islam. Itu dimulai ketika beliau melihat Abu Bakar ra. dan Umar ra. menghampiri beliau bergandengan tangan. Karena menyaksikan pemandangan ini, Guru kita berkata:

"Setelah para Rasul dan para Nabi, di antara orang-orang yang beriman, yang paling sempurna keimanannya adalah mereka yang terbaik karakternya. Maka, siapapun di antara kalian yang ingin melihat orang beriman yang keimanannya paling sempurna, lihatlah pada orang-orang yang datang ini."

Dengan perkataan ini, Rasulullah saw merujuk kepada orang-orang yang berusia di atas empat puluh tahun, termasuk di antaranya Hazrat Ali ra., yang tidak diragukan telah menerima banyak keutamaan dan dianugerahi pernyataan Rasulullah, "Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah gerbangnya."

Setelah itu, Rasulullah saw menjadikan Hazrat Abu Bakar ra. dan Hazrat Umar ra. bersaudara. Kemudian beliau melanjutkan membuat persaudaraan di antara pasangan individu-individu berikut:

1. Hazrat Usman ra. dengan Hazrat Abdurrahman bin Auf ra.

2. Hazrat Hamzah ra. dengan Hazrat Zaid bin Haritsah ra.

3. Hazrat Zubair ra. dengan Hazrat Abdullah bin Masud ra.

4. Hazrat Sa'ad bin Abi Waqqash ra. dengan Mush'ab bin Umair ra.

5. Hazrat Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra. dengan Hazrat Abu Hudzaifah ra.

6. Ubaidah bin Al-Harits ra. dengan Bilal bin Rabah ra.

7. Sa'id bin Zaid ra. dan Ubaidullah ra.

Segera setelah persaudaraan ini dibangun, Hazrat Ali ra. mendatangi Guru kita saw. dan bertanya, "Ya Rasulullah, engkau telah membuat semua sahabat bersaudara satu dengan lainnya, tapi engkau belum membuat seorang pun menjadi saudaraku, menjadikan aku sendirian. Mengapa begitu?" Rasulullah memberi Ali jawaban yang menentramkan: "Engkau saudaraku di dunia ini dan di akhirat."

Setelah terbangunnya persaudaraan pertama ini, persaudaraan yang ke dua terjadi di bulan ke lima setelah hijrah ke Madinah. Kaum muslimin yang telah berhijrah ke Madinah harus meninggalkan banyak harta mereka di Mekah, dan ketika mereka tiba di madinah, mereka menghadapi keadaan yang sangat menantang.

Melihat kesulitan yang dialami para muhajirin, Rasulullah menyusun sebuah solusi. Kaum muslimin Madinah, yang disebut Anshar, akan menjadi saudara dengan para muhajirin.

Mengikuti keputusan ini, Guru kita membangun persaudaraan di antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin sebagai berikur:

Hazrat Ali dengan Sahl bin Hunaif

Hazrat Utsman bin Affan dengan Aus bin Sabit

Hazrat Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid

Hazrat Umar dengan Uwaim bin Sa'idah

Hazrat Thalhah bin Ubaidullah dengan Ubay bin Ka'ab

Hazrat Zubair bin Awwam dengan Ka'ab bin Malik

Jafar bin Abi Thalib dengan Muaz bin Jabal

Abu Darda dengan Salman al-Farisi

Hazrat Hamzah dengan Kultsum bin Hadam

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dengan Muhammad bin Maslamah

Amir bin Fuhairah dengan Harits bin Aus

Persaudaraan yang dibangun di antara kaum muslimin ini sangat bermanfaat dan luhur. Tidak seorang pun dari mereka memanfaatkan ikatan ini atau yang satu merendahkan yang lain. Masing-masing orang menempatkan segalanya dengan sikap siap membantu semata karena Allah. Mereka hidup untuk Allah, mengeluarkan harta untuk Allah, dan menjaga persaudaraan mereka demi Allah.

Abdurrahman bi Auf ra., yang berhijrah dari Mekah, meriwayatkan pengalaman persaudaraan ini di Madinah sebagai berikut:

"Setelah berhijrah ke Madinah, Rasulullah menjadikan aku bersaudara dengan Sa'ad bin Rabi'. Setelah persaudaraan ini terbangun, Sa'ad berkata kepadaku, 'Ya Abdurrahman, aku yang terkaya di antara kaum Anshar. Aku memutuskan untuk memberikan setengah dari kekayaanku kepadamu sejak saat ini ke depan. Lebih dari itu, aku sekarang punya dua istri. Yang manapun yang engkau pilih, aku akan menceraikannya untukmu, dan setelah masa iddahnya, engkau bisa menikahinya.'

Perkataan Sa'd sangat menyentuhku, dan aku berterimakasih kepadanya dengan mengatakan, 'Semoga Allah memberkatimu dan keluargamu dan kekayaanmu, Oh Sa'ad. Namun, aku tidak membutuhkan semua itu. Tapi tunjukkanlah kepadaku letak pasar besok pagi.'

Besok paginya, Sa'ad membawaku ke pasar, dan aku mulai berdagang mentega dan keju murni di sana. Dengan rahmat Allah, keadaanku membaik dengan cepat. Waktunya tidak lama sehingga keadaanku menjadi jauh lebih baik.

Setelah beberapa lama, aku menikah dengan seorang wanita dari kaum Anshar. Hari esoknya, aku datang ke hadapan Rasulullah saw. Ketika beliau melihat pengaruh safron padaku, yang biasa dipakai orang yang baru menikah, dia bertanya, "Apakah engkau telah menikah, Abdurrahman?" Aku menjawab, "Ya, wahai Rasulullah." Kemudian beliau bertanya, "Dengan siapa engkau menikah?" Aku menjawab, "Aku menikahi perempuan kaum Anshar." Rasul bertanya lebih jauh, "Berapa banyak mahar yang engkau berikan?" Aku berkata, "Aku memberinya emas sekitar lima dirham."

Mendengar ini, Rasulullah menasihatkan, "Maka meskipun hanya dengan seekor kambing, berpestalah untuk orang-orang, ya Abdurrahman."

Setelah itu, aku menjadi cukup kaya dalam waktu singkat. Nampaknya, dimanapun aku berbaring, aku menemukan emas atau perak di bawah tubuhku."

Selama dibangunnya persaudaraan di antara Muhajirin dan Anshar, Rasulullah dalam proses menyelesaikan Masjid An-Nabawi. Pada waktu itu, masjid tidak memiliki menara. Pembangunan menara pertama terjadi selama masa Umar bin Abdulaziz.

Ketika pembangunan masjid ini berjalan, muncul isu lain: bagaimana kaum muslimin memanggil shalat? Sebelum penyelesaian masjid ini, kaum muslimin akan  berkumpul di masjid ketika mereka memperkirakan masuknya waktu shalat. Namun dengan selesainya masjid itu, pertanyaan bagaimana cara memanggil orang-orang untuk shalat menjadi penting untuk dibahas.

Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat bagaimana pendapat mereka mengenai hal ini. Beberapa saran diajukan, namun Guru kita menilainya tidak cocok. Itu termasuk menaikkan bendera di masjid ketika waktu shalat tiba, meniup terompet seperti halnya Yahudi shofar, atau menggunakan lonceng. Rasulullah tidak menyetujuinya.

Sungguh, sebuah solusi yang tepat mesti ditemukan bagi kaum muslimin. Saran berikutnya adalah:

"Nyalakan api saja di tempat yang tinggi! Setiap orang akan melihatnya dan akan berdatangan!" Rasulullah lagi-lagi menunjukkan bahwa usulan ini tidak cocok bagi kaum muslimin. Menyalakan api adalah praktek dari para penyembah-api.

Setelah itu, sebuah keputusan dibuat berdasarkan perintah Rasulullah: Ketika waktu shalat tiba, orang-orang akan naik ke tempat yang tinggi dan memanggil "As-shalaatu jamiah!" (yakni, "Shalat siap dilaksanakan, berkumpullah!").

Ketentuan ini berlangsung beberapa lama. Kemudian, pada suatu hari, Abdullah bin Zaid seorang Anshar mendatangi Rasulullah dan menyampaikan mimpinya:

"Ya Rasulullah, aku bermimpi. Di dalam mimpiku, aku melihat seseorang mengenakan jubah hijau dua lapis, dan dia sedang memegang lonceng. Aku bertanya kepadanya:

"Maukah engkau menjual lonceng di tanganmu itu? Dia bertanya kepadaku, "Apa yang akan engkau lakukan dengan lonceng ini? Aku menjelaskan, "Aku akan menggunakannya untuk memanggil orang-orang untuk shalat." Dia kemudian menawari aku dengan sebuah alternatif: "Maukah aku mengajarimu sesuatu yang lebih baik?" Aku bertanya, "Apa itu?" Dia membacakan:

"Allahu Akbar, Allahu Akbar! (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar) Asyhadu an la ilaha illallah! (Aku bersaksi tiada tuhan, hanya ada Allah) Asyhadu anna Muhammdar-Rasulullah! (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah) Hayya 'alas-shalah! (Bersegeralah menuju shalat) Hayya 'alal-falah! (Bersegeralah menuju kesuksesan) Qad qamatis-shalah! (Shalat siap dimulai) Allahu Akbar, Allahu Akbar! (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar) La ilaha illallah! (Tiada tuhan, hanya ada Allah)"

Lalu, dia mundur sedikit dan berkata:

"Apabila engkau ingin memanggil shalat, bacakan seperti ini:

Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Asyhadu an la ilaha illallah!

Asyhadu anna Muhammadar-Rasulullah!

Hayya 'alas-shalah!

Hayya 'alal-falah!

Qad qamatis-shalah!

Allahu Akbar, Allahu Akbar!

La ilaha illallah!"

Mendengar cerita mimpi ini, Guru kita berkata: "In Sya Allah, ini mimpi yang benar! Bilal, bangunlah dan biar dia mengajari apa yang dilihatnya. Biar Bilal yang mengumandangkan panggilan untuk shalat, karena suara dia lebih lantang dibanding suaramu!" Bilal, orang Abisinia itu mengikuti instruksinya dan menjadi muadzin pertama.

Bilal dan Guru kita berdiri bersama. Dan ketika Bilal mengumandangkan panggilan shalat, suaranya yang berirama sampai ke telinga kaum muslimin yang dengan cepat berkumpul di Masjid. Meskipun mereka baru pertama kali mendengarnya, mereka sangat tergerak oleh panggilan shalat itu.

Ketika Umar ra. mendengar suara adzan itu, dia bergegas menuju Rasulullah dan berkata, "Ya Rasulullah! Aku bersumpah demi Yang mengirim engkau dengan Kebenaran, aku melihat hal yang sama dua puluh hari yang lalu." Rasulullah menjawab, "Alhamdulillah! Mengapa engkau tidak mengatakannya sebelum ini, Umar?" Umar merasa malu dan menjawab, "Aku merasa malu dan malu untuk berbicara mengenai ini."

Setelah kejadian ini, Bilal mengumandangkan panggilan shalat setiap Subuh. Namun pada suatu Subuh, ketika Bilal mengumandangkan adzan, dia tidak melihat Guru kita berdiri untuk shalat, dia menambahkan kata-kata berikut: "As-shalatu khairun minan naum (shalat lebih baik daripada tidur)." Mendengar tambahan ini, Rasulullah bangkit, dan beliau senang dengan modifikasi ini. Beliau memerintah Bilal untuk menyertakan kata-kata ini dalam panggilan shalatnya, dan itu menjadi bagian adzan yang permanen.

Meskipun kumandang adzan telah diterima kaum muslimin, sebagian orang Yahudi dan non-muslim di Madinah mencemoohkannya. Allah mewahyukan ayat berikut menanggapi cemoohan mereka:

Dan ketika kalian mengumandangkan adzan, mereka mencemoohkannya dan mempermainkannya... Ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak mampu menggunakan akal mereka.[1]

 



[1]Al-Qur'an 5:58

27 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini