Cetak halaman

Pertunangan Guru Kita Dengan Hazrat Aisyah Dan Perkawinan Beliau Dengan Hazrat Saudah

Setelah Khadijah tercintanya meninggal, Guru kita merasa kehilangan dan hidup sendirian untuk beberapa waktu. Namun segera setelah itu, ketiadaan pendamping di rumah menjadi sangat terasa.

Pada hari-hari di masa itulah, istri Utsman bin Mazh'un ra., Khaulah mengunjungi Guru kita saw, dan karena melihat kebutuhan beliau untuk mengurus rumah-tangga, Khaulah berkata:

“Ya Rasulullah, Ketidakhadiran Khadijah sungguh sangat terasa…”

Guru kita saw menjawab:

“Ya... dia ibu dari anak-anak dan pengurus rumah-tangga…”

Khaulah kemudian membuka percakapan dengan Guru kita saw:

“Apakah engkau suka jika aku menjadi perantara pernikahan bagimu?”

Guru kita nampak menerima itu dan berkata: “Ya, tentu akan ada seseorang yang pantas di antara para wanita…”

Khaulah kemudian bertanya:

“Apakah engkau lebih suka seorang gadis ataukah seorang janda?”

Guru kita bertanya, “Siapa gadis itu?”

Dia menjawab, “Aisyah, putri dari hamba yang paling dicintai Allah Hazrat Abu Bakar.”

“Dan siapakah yang janda itu?”

“Saudah binti Zam'ah, pengikut setiamu dan orang yang beriman kepada pesan yang engkau bawa.”

“Karena begitu, maka ya, pergilah dan bicarakanlah atas namaku dengan keduanya.”

Setelah percakapan ini, Khaulah langsung menuju rumah Abu Bakar. Ketika dia melihat bahwa Abu Bakar tidak di rumah, dia menyampaikan maksudnya kepada istrinya, Ummu Ruman.

“Wahai Ummu Ruman, tahukah engkau kebaikan dan rahmat apa yang sampai kepadamu dari Allah?”

Ummu Ruman bertanya-tanya:

“Semoga itu kabar baik, tolong katakan padaku?”

Khaulah melanjutkan:

“Rasulullah mengutusku kepadamu untuk meminang Aisyah!”

Ummu Ruman terkejut karena pada saat itu walaupun belum ditunangkan, putrinya Aisyah telah diperjanjikan dengan Jubair, putra dari Muth'im bin Adi.

Dengan hati-hati dia berkata:

“Wahai Khaulah, tolong tunggu hingga Abu Bakar pulang, dia akan mengambil keputusan yang terbaik.”

Tidak lama kemudian Abu Bakar pulang dan Khaulah pun menyampaikan kepadanya dengan terbuka:

“Wahai Abu Bakar, Rasulullah telah mengutusku atas nama dia untuk meminang putrimu.”

Abu Bakr ragu untuk sesaat. Walau bagaimanapun, karena berpikiran bahwa Rasulullah adalah saudaranya, bukankah ini berarti bahwa Rasulullah adalah pamannya Aisyah?

Dia bertanya-tanya apakah seorang saudara bisa menikahi putri saudaranya, yakni apakah seorang paman bisa menikahi keponakannya.

Maka, dia bertanya kepada Khaulah untuk menemukan jawaban:

“Apakah seseorang dibolehkan menikahi putri saudaranya?”

Khaulah dengan cepat kembali kepada Rasulullah dan menyampaikan pertanyaan itu yang dijawab Guru kita:

“Wahai Abu Bakar terkasih, engkau adalah saudaraku, baik dari segi keimanan maupun keyakinan, namun bukan karena sedarah, maka dibolehkan dan sah bagiku untuk menikahi putrimu Aisyah.”

Setelah menerima pesan ini, Hazrat Abu Bakar menjadi lega. Namun begitu, ada situasi lain yang masih perlu untuk ditangani. Putrinya telah dijanjikan kepada putra Muth'im bin Adi, Jubair… tapi belum ada pengaturan ataupun persiapan, belum juga dipastikan tentang pertunangannya. Abu Bakar memutuskan bahwa sebaiknya pergi dan mendiskusikan perkara itu dengan mereka. Ketika dia sampai ke rumah mereka, istri Muth'im bin Adi membukakan pintu, dan ketika melihat Abu Bakar, segera saja dia bertanya:

“Wahai putra Abu Kuhafa, apa yang membawamu kemari?”

“Aku datang untuk mendiskusikan tentang janji untuk menikahkan Jubair dan Aisyah…”

Sebelum Abu Bakar bisa melanjutkan kata-katanya, istri Muth'im bin Adi dengan agresif menuduh dia dengan mengatakan:

“Jelas bahwa engkau sangat ingin untuk menarik anakku kepada agama barumu! Kau pikir engkau bisa mengambil anakku kedalam agama barumu dengan menikahkan putrimu kepadanya?!”

Karena sedih dan bingung oleh serangan tiba-tiba ini, Abu Bakar tertegun. Lalu dia melihat Muth'im bin Adi telah muncul di pintu, maka Abu Bakar pun berbalik kepadanya dan bertanya:

“Wahai Muth'im bin Adi, bagaimana pemikiranmu tentang kelanjutan pernikahan antara Aisyah dan Jubair, apakah pikiranmu sama dengan istrimu?”

“Ya, Abu Bakar, aku setuju dengan istriku!”

Jadi, tidak ada lagi yang mesti dikatakan. Perkara ini telah selesai tanpa harus melanjutkan percakapan. Janji ikatan pernikahan telah dibatalkan seketika itu juga dan Abu Bakar pun kembali ke rumahnya.

Segera setelah itu, ikatan pernikahan antara Guru kita dan Aisyah diumumkan dan acara pernikahan dilaksanakan 3 tahun setelahnya di kota Madinah.

Saudah adalah bekas istri Sakran bin Amr. Keduanya termasuk di antara mereka yang memeluk Islam di masa awal. Mereka juga termasuk orang yang berhijrah ke Habasyah, namun kemudian kembali. Pada suatu malam, tidak lama setelah mereka kembali, Saudah bermimpi. Dia melihat bulan turun kepadanya. Dia menyampaikan mimpi itu kepada suaminya. Suaminya menafsirkan mimpi itu kepadanya:

“Aku akan mati dan setelah pergi engkau akan menikah lagi, tapi engkau akan menikahi seseorang yang sangat mulia dan diberkati…”

Tidak lama setelah itu, suaminya sakit berat dan meninggal dunia. Beberapa lama setelah peristiwa ini, Khaulah mendatangi Saudah membawa pinangan untuk menikah dengan Guru kita:

“Wahai Saudah, Allah mengaruniami engkau dengan keberlimpahan dan kebaikan.”

“Sungguhkah? Dan apakah itu Khaulah sayang?”

“Rasulullah saw mengutusku untuk menyampaikan keinginan beliau untuk menikahimu.”

Saudah sangat tercengang mendengar ini. Ini bukanlah sesuatu yang dia harapkan dan itu bukan sesuatu yang bisa dia putuskan sendiri.

“Aku harus menanyakan kepada kakak-kakakku mengenai ini dan berkonsultasi dengan mereka sebelum memberikan jawabannya.”

Selama tahap ini, dia juga membicarakan lamaran ini dengan Guru kita sekali. Dia memiliki anak yang mesti diurusnya; dia tidak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan meskipun kakak-kakaknya telah merestuinya untuk menikah, sementara dia sendiri juga menginginkannya.

Guru kita saw bertanya kepada Sudah:

“Apa yang mengkhawatirkan engkau sehingga engkau ragu untuk menerima lamaranku?”

“Ya Rasulullah, keragu-raguanku tidak ada hubungannya dengan kesalahan besar ataupun ketidak-yakinan, namun aku takut anak-anakku bisa mengganggu atau menjadi masalah bagimu dan itu membuatku ragu.”

“Aku mengerti, adakah hal yang lain yang membuatmu ragu untuk menikahiku?”

“Tidak, Rasulullah yang kami cintai, tiada yang lain.”

“Semoga Allah memberkatimu! Wanita terbaik adalah mereka yang diuji oleh anak-anak mereka.”

Maka, pada tahun ke sepuluh dari Risalah beliau, di bulan Ramadhan, Guru kita saw dan Saudah ra. menikah dengan upacara pernikahan kecil.

Segera setelah peristiwa ini, kaum musyrikin meningkatkan serangan agresif mereka kepada kaum muslimin. Sehingga pada suatu hari, Guru kita berdoa kepada Allah agar kaum Quraisy dihukum. Setelah doa ini, kelaparan berat menimpa Quraisy, dan kaum musyrikin Quraisy sedemikian kelaparan sehingga mereka mulai makan daging dan menggerogoti tulang-belulang bangkai binatang. Mereka kira bahwa kabut besar telah turun ke bumi ketika mata mereka menjadi kabur karena kelaparan.

Pada akhirnya, mereka begitu lemah sehingga lari kepada Guru kita saw dan memohon:

“Tolong berdoalah kepada Tuhanmu agar kami bisa diselamatkan dari siksa kelaparan ini!”

Guru kita berdoa dan memohon agar mereka diampuni, dan kelaparan itu pun segera berhenti.

Namun demikian, kaum musyrikin Mekah tidak mengambil pelajaran dari kejadian ini dan mereka terus bersikeras melakukan serangan, sebagai akibatnya, satu bagian dari Surat Dukhan diwahyukan, yang menyatakan bahwa kaum musyrikin tidak akan dibiarkan tanpa hukuman disebabkan sikap agresif dan permusuhan mereka:

Tunggulah harinya (saat ketika hakikat manusia menjadi nyata) ketika langit akan membawa asap yang nampak (dukhan).

Ia akan meliputi manusia! Itu adalah derita yang berat (karena tidak menyadari dan memenuhi ketentuan kebenaran)!

“Rabb kami! Keluarkan kami dari derita ini; kami sungguh orang-orang yang beriman (sekarang)!”

Bagaimana mungkin mereka merenungkan dan mengambil pelajaran sekarang? Ketika seorang Rasul yang nyata telah datang kepada mereka…

Tapi mereka berpaling darinya dan mengatakan, “Dia seorang gila (keraksukan) yang diajari.”

Sungguh, Kami akan meringankan derita itu sedikit… (Akan tetapi) kalian akan kembali kepada keadaan terdahulu.

Pada ketika itu (ketika langit membawa asap yang nampak) kami akan mencengkram dengan cengkraman yang keras… Sungguh, Kami memberi balasan bagi semua pelanggaran![1]

 



[1]Al-Qur’an 44:10-16

5 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini