Rencana Untuk Mengakhiri Boikot
Mayoritas kaum musyrikin Quraisy mendukung embargo; minoritas kecil yang menentang tidak memiliki suara atau kekuatan di mata para pemimpinnya dan karenanya terpaksa menyetujui.
Akhirnya pada suatu hari, Amr pergi menuju Zuhair dan menanyainya, “Wahai Zuhair! Laki-laki macam apa engkau? Bagaimana bisa engkau menutup mata dengan penyiksaan yang dilakukan terhadap pamanmu? Bagaimana bisa engkau membiarkan mereka kelaparan? Bagaimana bisa engkau melanjutkan hidupmu dengan nyaman, sedangkan mereka dalam keadaan menderita? Bagaimana bisa engkau menerima ajakan Abu Jahal untuk memboikot pamanmu sendiri? Seandainya engkau mengajak dia untuk menandatangani embargo terhadap pamannya, apakah dia akan menerimanya? Tidak diragukan dia akan menolaknya! Bahkan dia akan mencemoohkanmu! Maka, bagaimana bisa engkau masih tinggal diam?”
Zuhair tidak bisa berkata apa-apa... Setelah berpikir dia setuju dengan Hisyam dan bertanya, “Ya Hisyam, aku hanya seorang diri. Apa yang bisa aku lakukan jika hanya sendirian? Jika ada yang lain yang mendukungku, tentu aku telah berusaha untuk mengakhiri boikot ini.”
Hisyam melompat, “Ada seseorang!”
“Siapa?”
“Aku!”
“Ini tidak cukup. Cari seorang lagi!”
Hisyam langsung pergi ke rumah Muth’im bin Adi, teman dekatnya, dan berkata, “Wahai Muth’im, mengejutkan aku bahwa engkau bisa tinggal diam terhadap semua ketidak-adilan dan penyiksaan terhadap keluarga Abdu Manaf hanya karena sekelompok orang Quraisy menginginkannya! Aku bersumpah jika aku punya kesempatan, aku akan mengakhiri omong-kosong ini segera!”
“Aku hanya seorang diri. Seandainya ada yang lain…?
“Telah kukatakan kepadamu itu ada! Aku!”
“Ya, tapi dua orang tidaklah cukup, kita perlu seorang lagi…”
“Orang ke tiga adalah Zuhair bin Abi Umayyah! Dia juga berpikiran seperti kita…”
Muth’im belum merasa yakin, “Mungkin ada yang ke empat?”
Maka Hisyam pergi menuju rumah Abul Bakhtari dan menyampaikan hal yang sama. “Apakah engkau setuju dengan apa yang sedang diperbuat?” dia bertanya…
“Ini tidak bisa dihentikan oleh dua orang saja. Adakah yang lain yang berpikiran sama?”
Hisyam menyebutkan kedua nama yang lain dan dengan bersama-sama mereka membuat rencana mengenai apa yang bisa mereka lakukan. Pada hari berikutnya, secara terpisah, mereka pergi ke Haram ketika semua pemimpin Quraisy berada di sana. Pada hari itu, Zuhair sangat rapi. Dia melalukan thawaf mengelilingi Kabah tujuh kali lalu mendekati para pemimpin Quraisy dan menyapa mereka:
“Wahai para pemimpin Mekah… Sementara kita mengenakan pakaian bagus, makan makanan enak dan menikmati hidup kita, kerabat kita sedang disiksa, kelaparan dan terhalang untuk mendapatkan kebutuhan alami dan haknya. Bagaimana ini bisa diterima? Di antara mereka adalah kerabat kita. Ketahuilah bahwa hingga kita merobek dan menghancurkan kesepakatan yang merusak inti kekeluargaan kita, aku tidak akan duduk di antara kalian!”
Abu jahal langsung meledak, “Engkau pendusta! Engkau tidak akan pernah bisa menghancurkan kesepakatan itu!”
Zam'ah menyela, “Engkaulah yang pendusta dan menipu! Kami tidak pernah setuju memasukkan pasal boikot sejak awal!”
Kemudian Abul Bakhtari bergabung, “Sungguh Zam'ah mengatakan yang sebenarnya! Kami tidak setuju dengan boikot itu dan kami pun tidak menandatangani kesepakatan itu!”
Muth’im membenarkan perkataan mereka, “Kalian berbicara benar! Siapa yang tidak setuju adalah pendusta! Kami berlindung kepada sang Pencipta dari apa yang telah ditulis dalam kespakatan itu!”
Kemudian Hisyam melanjutkan ucapannya hingga akhirnya Abu Jahal tidak bisa berkata apa-apa, kecuali, “Jelas kalian telah bersepakat satu dengan lainnya dan telah merencanakan pertemuan ini!” lalu bangkit dan berlalu.
Muth’im bangkit dan berjalan menuju Kabah, mengambil kesepakatan yang berisi pasal embargo dan merobeknya di depan setiap orang. Lalu kelima orang ini pulang ke rumah mereka, mengambil pedang-pedang mereka, berangkat menuju wilayah boikot dan melepaskan setiap orang, dan meyakinkan bahwa mereka aman dan tidak diganggu hingga pindah kembali ke rumah masing-masing.
Maka, boikot yang kejam dan penderitaan yang berlangsung sekitar tiga tahun itupun berakhir.
Selama tiga tahun ini, segala yang dimiliki Rasulullah saw dan Khadijah habis digunakan untuk mengurangi derita ini…
Pada suatu hari, ketika Guru kita berjalan di salah satu lembah di dekat Mekah, dia berjumpa dengan seseorang bernama Ruqanah. Ruqanah adalah pegulat paling terkenal dan tak terkalahkan pada masa itu. Dia merupakan sumber kebanggaan dan kekuatan bagi kaum musyrikin.
Guru kita berkata, "Ya Ruqanah, apakah engkau tidak takut kepada Allah yang kepadaNya aku mengajak engkau beriman?”
“Seandainya aku telah percaya kepadamu, tentu aku takut kepadaNya dan mengikutimu… Tapi aku tidak percaya kepadamu…”
Guru kita mendesak, “Bagaimana jika aku mengalahkanmu? Apakah engkau akan percaya kepadaku?”
Ruqanah menyeringai. Tidak seorang pun pernah mengalahkannya hingga hari itu, dia tahu itu tidak mungkin terjadi. Maka dengan berani dia berkata, “Jika engkau bisa mengalahkanku, aku akan percaya kepadamu!”
“Mari kita bergulat jika begitu!” kata Guru kita.
Ketika Ruqanah mau menangkap Guru kita, tiba-tiba dia mendapati dirinya terkapar di lantai. Dia tertegun.
“Itu tidak masuk hitungan” katanya. “Kalahkan aku lagi jika engkau bisa!”
Tapi sayang, sebelum dia bisa menangkap Guru kita lagi, dia terbanting ke lantai. Bagaimana ini bisa terjadi, pikirnya kepada dirinya sendiri…
“Aku tidak faham bagaimana caramu bergulat; jelas engkau seorang tukang sihir!”
“Apakah aku mesti menunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih besar dari ini?”
“Seperti apa?”
“Seperti membuat sebuah pohon karet di sebelah sana itu bisa berjalan?”
Guru kita memanggil pohon karet itu, “Dengan ijin Allah, datanglah kemari.”
Mengherankan, pohon karet itu mulai bergerak; dia menembus tanah dengan semua akarnya dan muncul di depan Guru kita.
Ruqanah sangat terkejut, terhibur dan sekaligus ketakutan. Dia gemetar, “Ini tontonan sulap terbesar yang pernah kulihat di dalam hidupku… Bisakah engkau mengembalikannya?”
“Dengan ijin Allah, kembalilah ke tempatmu…”
Pohon itu pun kembali ke tempat semula.
Dengan kebingungan, Ruqanah pergi menuju kabilahnya dan menceritakan kepada mereka apa yang telah dilihatnya. Menurut riwayat, Ruqanah menjadi seorang muslim setelah dia kembali ke Mekah.