Tahun Duka-Cita

Tahun ke sepuluh setelah wahyu pertama kepada Guru kita di kenal sebagai Tahun Duka-cita dalam dunia Islam…

Selama tahun ini, istri tercinta beliau Khadijah dan paman beliau Abu Thalib meninggal dunia. Sebelum mereka meninggal, Guru kita pun telah kehilangan Qasim putra beliau yang berusia empat tahun, kemudian putra beliau yang lebih muda Abdullah Tahir. Dengan meninggalnya kedua putra beliau ini, kaum musyrikin Mekah menambah sikap kejam mereka dengan memanggil Guru kita sebagai “abtar” yang artinya ‘orang yang silsilah keturunannya terputus”.

Oleh karena itu, Allah mewahyukan Surat Al-Kautsar untuk menghibur beliau:

Sungguh, Kami memberimu Al-Kautsar!

Maka, kerjakanlah shalat untuk Rabb-mu dan berkorbanlah (dengan egomu)!

Sungguh, yang membencimu lah yang terputus (yang silsilah keturunannya dibuat terputus)![1]

Setelah embargo diangkat dari kaum muslimin, Abu Thalib sakit berat dan terbaring di ranjang. Keadaanya sangat buruk sehingga jelas tidak bisa disangkal bahwa dia berada di hari-hari terakhirnya…

Ketika Guru kita melihat hal ini, beliau mendekati pamannya dan sekali lagi mengajaknya untuk menerima Islam:

“Pamanku sayang, mari ucapkan kalimat suci ini yang dengannya aku bisa menjadi saksi di hadapan Allah di hari keputusan dan bisa menjadi jalan bagi keselamatanmu…”

Abu Thalib menoleh kepada beliau dan berkata, “Keponakanku sayang, jika aku tidak takut bahwa orang-orang ini akan beranggapan bahwa aku melakukan ini untuk berlari dari kematian dan memanggilku pikun, aku akan mengucapkannya karena takut kematian… Aku tidak akan mengucapkannya.”

Guru kita mendesak, “Satu kata saja dan aku akan berdalih demi engkau di hadapan Allah.”

Pada detik itu Abu Thalib mulai berseru, “Ya Abu Thalib, apakah engkau akan meninggalkan agama bapakmu, Abdul Muthalib?” Dia terus mengucapkan itu, hampir mengganggu perasaan Guru kita hingga ke titik dimana Abu Thalib tidak bisa lagi mendengar keponakannya lagi.

Pada akhirnya, dia memandang kepada Guru kita dan berkata, “Di atas agama Abdul Muthalib”, lalu meninggal.

Guru kita berkata, “Demi Allah, aku akan terus memohon ampunan untukmu sehingga aku dilarang untuk melakukannya…”

Meskipun beberapa riwayat menyebutkan bahwa Abu Thalib mengucapkan Kalimat Syahadat di akhir nafasnya, sayangnya itu bukan riwayat-riwayat yang otentik. Abu Thalib berusia 87 tahun ketika dia meninggal. Dia meninggal tiga tahun sebelum hijrahnya Guru kita.

Ada beberapa riwayat bahwa ketika Guru kita memandikan mayat paman beliau, beliau mengurapi seluruh tubuhnya. Tapi ketika beliau sampai kepada kakinya, Jibril as. mencegahnya dan karena hal ini, dia hanya akan terkena siksa api sebatas kakinya saja…

Hanya setelah lima puluh hari setelah meninggalnya Abu Thalib, ketika bulan Ramadhan, istri Guru kita Khadijah juga meninggal dunia… Khadijah melewati hari-hari selama 25 tahun bersama Guru kita dan berusia 65 tahun ketika beliau meninggal dunia.

Berkenaan dengan Khadijah, Guru kita saw berkata: “Wanita terbaik di dunia adalah Maryam di masa hidupnya, dan wanita terbaik di dunia adalah Khadijah di masa hidupnya.”

Sungguh, putri Guru kita Fatimah, salah satu dari anak beliau yang akan melanjutkan keturunan beliau, terlahir dari Khadijah…

 



[1]Al-Qur’an 108:1-3

4 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini