Tibanya Orang Quraisy
Orang-orang Quraisy kini sedang mendekat. Berjalan melalui teriknya matahari membuat mereka kelelahan. Pemandu mereka memimpin di depan, mengikuti jejak-jejak kaki. Mereka mulai mendaki gunung itu, semuanya terengah-engah. Dan benar, jejak kaki itu berakhir di pintu masuk gua.
Pemandu berkulit hitam itu menatap akhir dari jejak-jejak itu kemudia menengadahkan kepalanya ke langit. “Aku bersumpah demi peralatanku, apa yang sedang kalian cari telah pergi ke tempat lain! Entah mereka tidak lewat kemari, atau mereka naik ke langit!”
Seorang kafir Quraisy berambut keriting yang membungkus kepalanya dengan kain menyela, “Aku yakin mereka pasti bersembunyi di dalam gua ini!”
Oh tidak! Jantung Hazrat Siddiq al-Akbar yang tepat berada di bawah mereka berdetak kencang hingga ke tenggorokan ketika mendengarnya. Dia dengan hati-hati menjulurkan kepalanya dan berbisik kepada Guru kita, “Ya Rasulullah, jika salah satu dari mereka kebetulan melihat ke bawah, mereka akan melihat kita…”
“Diam, ya Abu Bakar! Mungkinkah dua orang sahabat, dan yang ketiganya adalah Allah, pernah merasa sedih dan cemas?”
Tiba-tiba, rasa lega dan ketentraman menyapu bersih jantung Hazrat Abu Bakar Siddiq. Sungguh itu hadiah dari Allah.
Allah menjelaskan keadaan ini di dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
“Sungguh, Allah telah menolong mereka, bahkan jika kalian tidak melakukannya! Ingatlah ketika orang-orang yang mendustakan ilmu hakikat mengusirnya dari kampung halamannya, dia yang ke dua dari keduanya (satu dari dua orang)! Ingatlah ketika mereka di dalam gua (Rasulullah saw dan Abu Bakar ra.)… Ingatlah dia berkata kepada temannya, “Jangan bersedih, sungguh Allah bersama kita” (beliau sedang merujuk kepada kesatuan wujud)… Allah memberi ketentraman kepadanya dan mendukungnya dengan tentara-tentara yang tidak engkau lihat… Dia membuat perkataan orang-orang yang mendustakan ilmu hakikat menjadi perkataan yang paling rendah… Perkataan Allah lah yang paling tinggi! Allah itu Al-’Aziz, Al-Hakim.[1]
Orang kafir yang kepalanya dibungkus kain itu menjadi bahan tertawaan yang lainnya. Umayyah memperolokkannya dengan berkata, “Semoga Hubal memberimu akal! Muhammad bahkan tidak akan bisa mendekati tempat ini. Apakah kau pikir merpati-merpati ini akan tinggal di sini dan meletakkan telurnya beberapa hari yang lalu jika seseorang memasukinya?!”
Laki-laki berwajah merah di antara mereka membenarkan, “Nampaknya kita keliru jalan.” Lalu mereka mulai menuruni gunung dengan perlahan-lahan dan kembali menuju kota.
Ketika mereka menghilang dari pandangan, sang Matahari, yang wajahnya seperti sebuah nampan merah, juga terbenam ke lautan pasir, menghilang di ufuk Barat.
Tidak lama kemudian, Amir, budak dari Hazrat Abu Bakar Siddiq yang telah dimerdekakan, datang mendekat dengan susu yang diperolehnya dari kambing yang digembalakannya di siang hari. Dia menyimpan susu itu dalam sebuah wadah dan menambahkan sebutir batu panas yang terbakar matahari untuk menghangatkannya sebelum menyajikannya kepada mereka.
Dia memberikan susu itu kepada mereka lalu pergi, dengan niat kembali di hari berikutnya. Rasulullah saw dan Siddiq al-Akbar mengambil bekal mereka dari tas mereka, mencampurkannya dengan susu itu kemudian memakannya.
Setelah langit benar-benar gelap, putra Siddiq al-Akbar, Abdullah, tiba dan mengabari mereka mengenai segala hal yang dia dengar di kota sepanjang hari itu. Setelah beberapa lama, dia pun pergi.
Kedua sahabat karib ini menghabiskan malamnya bersama di gua itu, diikuti hari berikutnya, malam harinya setelah itu, dan bahkan sehari setelah itu. Setiap menit yang dijalani bersama jauh lebih berharga bagi Hazrat Abu Bakar dibanding seluruh dunia dan segala isinya. Di atas jalan yang telah terbuka dari hati ke hati, mereka menerima sesuatu di luar kecepatan jagat raya. Dimensi batin berbicara… Ia berbicara… dan berbicara…
Akhirnya, pada malam hari ke tiga, yakni pada hari Ahad, setelah langit menjadi gelap, Abdullah sang pemandu dan kedua untanya tiba di kaki Gunung Tsur. Mereka diikuti putra Hazrat Siddiq, Abdullah, dan putri dia Asma. Abdullah juga membawa kabar terbaru yang di dengarnya di Mekah selama siang hari itu. Sementara itu Asma membawa perbekalan yang diperlukan untuk perjalanan panjang mereka.
Ketika Rasulullah dan Hazrat Siddiq mendengarkan laporan Abdullah, Asma sibuk mengikatkan sabuk yang telah disiapkannya tiga hari yang lalu pada paket bekal yang masih segar yang dibelinya. Tiba-tiba, ada suara berisik, dan ada perasaan yang menghentak menyelimuti mereka semua.
Namun, tidak ada yang perlu ditakutkan; karena yang datang itu Amir, yang membawa susu segar. Melihat bahwa ternyata Amir yang datang, mereka merasa lega. Dan tugas mereka kini telah selesai.
Setelah mengucapkan selamt tinggal kepada Abdullah dan Asma, yang telah menempatkan kambing-kambing yang dibawa Amir di depan mereka, mereka memulai perjalanan mereka kembali ke Mekah.
“Semoga Allah membimbing dan melindungi kalian,” kata mereka ketika mereka berangkat.