Upacara Pernikahan

Pembaca yang terhormat, setelah membahas secara ringkas masalah penting, saya akan mencoba menjelaskan bagaimana upacara pernikahan dilangsungkan...

Dewasa ini, banyak keluarga muslim, pria maupun wanita, mengetahui atau tidak, mengenakan cincin emas atau cincin pernikahan, meskipun tidak ada kewajiban resmi untuk itu, hanya sekedar mengikuti norma-norma sosial...

Serupa dengan itu, sebagian keluarga berargumen bahwa emas diharamkan bagi laki-laki di dalam Islam. Oleh karena itu, mereka mengenakan cincin perak sebagai gantinya...

Namun demikian! Di dalam Islam, tidak ada tradisi mengenakan cincin terkait dengan pernikahan. Praktek mengenakan cincin pernikahan oleh kita umat Islam secara keseluruhan diambil dari praktek Kristiani. Dengan kata lain, tradisi yang kita umat Islam ikuti seluruhnya merupakan kebiasaan umat Kristen...

Umat Kristen mendandani pengantin dengan gaun putih dan membawanya ke gereja. Di gereja, sang pendeta mengumumkan bahwa mereka telah resmi menikah, didoakan, dan setelah itu, pengantin pria memasangkan cincin ke jari pengantin perempuan yang disebut penyatuan, sambil berharap keduanya hidup bersama selama-lamanya...

Dengan cincin yang dikenakan di gereja, wanita dan pria diharapkan terikat secara total satu sama lain, dan pernikahan itu bertahan sampai mati. Mesti diingat bahwa mereka tidak mempunyai konsep yang disebut perceraian.

Namun 1400 tahun yang lampau, seperti telah disebutkan sebelum ini, Rasulullah telah meramalkan praktek-praktek yang kita buat-buat ini dengan mengatakan:

"Kalian akan mengikuti praktek-praktek dari orang-orang sebelum kalian, bahkan jika pun mereka masuk ke lubang kadal, kalian akan mengikuti mereka. Ketika ditanya, "Apakah maksud engkau orang Kristen dan Yahudi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Jelas sekali! siapa lagi?"

Seperti terlihat dari hadits ini, kita benar-benar telah mengambil kebiasaan umat Kristen dewasa ini, melekatkan kesetiaan pria kepada wanita dan komitmen wanita kepada pria berdasarkan sebuah cincin logam. Itulah sebabnya kami mengatakan bahwa tidak ada kebiasaan mengenakan cincin  di dalam pernikahan Islam. Itu merupakan tradisi Gereja.

Sekarang, mari kembali kepada bagaimana sebuah pernikahan dilaksanakan...

Akhirnya, malam pernikahan telah tiba, dan para tamu yang diundang telah berkumpul untuk pesta pernikahan...

Rasulullah saw berpidato:

"Segala puji bagi Allah, dan Dia dipuji karena nikmatNya. Kita beribadah kepadaNya karena takdir dan kuasaNya. Kepada kerajaan dan kewenanganNya lah setiap orang berserah diri, Dia yang siksanya ditakuti, dan aturanNya berlaku di langit maupun di bumi. Allah Yang Maha Kuasa telah memerintahkan untuk menyatukan kekerabatan dan membuatnya sebagai kewajiban, dan dengan sarana ini menghapuskan dosa-dosa... Allah Yang Maha Kuasa telah memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah kepada Ali, dan aku menikahkan mereka dengan mahar empat ratus mitsqal perak. Apakah engkau rida dengan ini, wahai Ali?"

Hazrat Ali mengangguk, kemudian Rasulullah saw berkata:

"Bangun dan berilah sambutan, Ali."

Ali ra. berdiri dan berpidato setelah memuji dan bersyukur kepada allah. Dia berkata, "Aku telah menikahi putri Rasulullah, Fatimah, dengan mahar dua belas uqiyah, di hadapan Allah dan para saksi."

Ini mengakhiri upacara pernikahan. Setelah itu, satu nampan besar berisi kurma dibawakan, dan setiap orang ditawari kurma...

Guru kita menginstruksikan kepada Ali untuk tidak memasuki kamar Fatimah hingga beliau sendiri bergabung dengan mereka malam itu.

Setelah upacara pernikahan dan setelah setiap orang bubar, Guru kita bangkit dan menuju rumah pengantin. Di dalam rumah itu hadir ibu pengasuh Guru kita, Ummu Aiman. Ketika beliau sampai ke pintu, beliau meminta ijin masuk. Dan ketika diijinkan masuk, beliau masuk dan bertanya, "Apakah saudaraku ada di sini?"

Ummu Aiman cukup terkejut dan menjawab, "semoga orang-tuaku dikorbankan untukmu, ya Rasulullah, tapi siapakah saudaramu itu?" Rasulullah menjawab, "Dia Ali bin Abi Thalib." Ummu Aiman bahkan semakin bingung dan bertanya, "Karena dia telah menikahi putrimu, bagaimana bisa dia menjadi saudaramu?"

Guru kita kemudian menjelaskan:

"Dia saudaraku di dalam agama, wahai Ummu Aiman!"

Kemudian beliau bertanya, "Apakah Asma binti Umais di sini juga?"

Ummu Aiman mengiyakan bahwa Asma hadir dan mengatakan bahwa dia datang untuk melayani putri Rasul. Guru kita lalu memasuki rumah itu, lalu duduk dan meminta semangkuk air. Beliau menggunakan air itu untuk berwudlu dan menambahkan pewangi ke dalamnya.

Kemudian beliau memanggil Ali untuk duduk di depan beliau, dan dengan air itu, beliau membasuh dada Ali, kedua lengannya, dan pinggangnya. Setelah itu beliau berdoa:

"Allahumma barik fiima wa barik 'alaihima wa barik lahuma fii naslihima!" yang artinya,

"Ya Allah, berkati pernikahan ini, berkati mereka, dan berkati keturunan mereka."

Kemudian Guru kita memanggil Fatimah untuk bergabung dengan mereka. Dengan wajah merah kemalu-maluan, Fatimah mendekati ayahnya dengan kepala tertunduk. Ketika beliau memercikkan air dari mangkuk ke atas kepalanya, beliau berkata, "Wahai Fatimah, ketahuilah bahwa aku telah menikahkanmu dengan anggota keluargaku yang terbaik."

Kemudian Guru kita membaca Surat Al-Ikhlas dan doa "Qul a'udzu." Beliau memohon kepada Allah untuk keselamatan dan perlindungan dari kejahatan Setan. Kemudian beliau menginstruksikan kepada Ali, dengan mengatakan:

"Dekati istrimu dengan nama dan dengan rahmat Allah."

Dengan kata-kata ini, Guru kita meninggalkan pasangan itu untuk memulai kehidupan rumah-tangga mereka. Beliau kembali ke rumahnya.

Setelah upacara pernikahan, Rasulullah saw tidak mengunjungi pengantin baru itu selama tiga hari.

Fatimah sangat mencintai ayahnya. Dan karena hubungan yang mendalam ini, dia hanya sanggup hidup selama enam bulan lagi setelah beliau berangkat ke alam kebenaran, dan dia pun menyusul kepergian ayahnya.

Sekarang, saya ingin berbagi dengan Anda  mengenai Shalawat yang dibaca Fatimah ra. untuk ayahnya di sebuah perkumpulan "Diwan."[1] Shalawat ini dari kitabnya Sayyid Abdullah Aziz ad-Dabbag, "AL-IBRIZ" :

"Allahumma sholli 'ala man ruhuhu mihrabul arwahi wal malaikati wal kauni. Allahumma sholli 'ala man huwa imaamul anbiya'i wal mursaliin. Allahumma sholli 'ala man huwa imami ahlil jannati 'ibadullahil mu'miniin."

Sholawat Asy-Syarif ini, beserta penjelasan darimana ia didapat, bisa ditemukan di dalam karya kami KEKUATAN DOA...

Dua bulan berlalu sejak pernikahan mereka. Ali sedang sibuk menggiling gandum dan menangani pekerjaan rumah tangga. Fatimah, dengan sosok yang lembut dan anggun, juga bekerja tanpa lelah. Fatimah bertanggung-jawab untuk menggiling gandum.

Pada suatu hari, Ali mengusulkan, "Fatimah, menggiling gandung menimbulkan sakit di dadaku. Ayahmu punya banyak budak dan pembantu. Mengapa engkau tidak pergi dan meminta kepadanya untuk menugaskan satu di antara mereka untuk membantumu?"

Fatimah, yang kelelahan dengan pekerjaannya, setuju dan berkata, "Engkau benar; tanganku pun sakit karena menggiling gandum. Aku akan berbicara kepada ayahku..."

Dengan itu, Fatimah pergi langsung menuju ayahnya, Rasulullah saw...

Ketika Hazrat Fatimah tiba di hadapan ayahnya, dia disambut dengan senyuman. Guru kita bertanya kepadanya, "Selamat datang, anakku? Adakah sesuatu yang ingin engkau bicarakan?"

Merasa agak malu untuk mengungkapkan permasalahannya, Fatimah menundukkan kepala dan menjawab, "Aku hanya datang untuk melihatmu, ayah..."

Dia tinggal dengan ayahnya sedikit agak lama sebelum kembali ke rumah...

Ketika dia tiba di rumah, Hazrat Ali ingin tahu mengenai hasilnya dan bertanya, "Apa yang engkau lakukan, Fatimah?" Dia menjawab, "Ketika aku bertemu ayahku, aku terlalu malu untuk meminta pembantu, jadi aku tidak mengatakan apapun dan aku pergi begitu saja. Jika engkau mau, kita bisa pergi bersama."

Maka mereka pun pergi ke hadapan Guru kita, bersama-sama...

Ketika Guru kita melihat Fatimah kembali, kali ini bersama Ali, beliau bertanya, "ada masalah apa? Apa yang menyusahkan kalian?" Ali menjelaskan situasinya dengan berkata, "Ya Rasulullah, dadaku sakit karena menggiling gandum." Fatimah menimpali, "Ayah, tanganku bengkak karena menggiling tepung. Bisakah kami memiliki satu pembantu yang Allah karuniakan kepadamu untuk membantu kami?"

Guru kita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menimbang lalu mejawab:

"Demi Allah, aku tidak bisa memberi kalian seorang pembantu. Aku sedang berusaha menjual budak-budak itu untuk mendukung penduduk Suffah yang sangat membutuhkan roti dan makanan. Namun demikian, aku bisa mengajari kalian sesuatu yang lebih baik dibanding yang kalian minta. Apabila kalian berbaring untuk tidur malam, ucapkanlah 'Subhanallah' 33 kali, 'Alhandulillah' 33 kali, dan 'Allahu Akbar' 33 kali..."

 



[1]Diwan: majelis keputusan yang bertanggung-jawab untuk menentukan peristiwa-peristiwa utama yang terjadi di muka Bumi, yang dibimbing dengan ketetapan ilahi. Mereka bersidang pada hari tertentu setiap bulannya, dengan Muhammad saw sebagai pemimpinnya, atau jika beliau tidak hadir, oleh Ghauts al-Azham Abdul Qadir Jailani. Selain beliau berdua, anggota Diwan lainnya meliputi Sayyid Ahmad Rufai, Sayyid Ahmad Badawi, Sayyid Ibrahim Dusuki, dan Syah Bahaudin Naqsybandi. Diwan terdiri dari beberapa kelompok, termasuk kelompok 4, 5, 7, 11, dan 40. Totalnya ada 60 anggota di dalam Diwan, sekitar sepertiga darinya adalah para wali yang masih hidup dan sisanya dari mereka yang sudah meninggalkan dunia... Fatimah, terkadang, ikut serta sebagai tamu di dalam perkumpulan ini. Khidir as. biasa menghadiri pertemuan ini...

44 / 48

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini