Upaya Musyrikin Yang Terluka Terhadap Rasulullah
Umair bin Wahab adalah seorang yang ikut bertempur dari pihak musyrikin dalam Perang Badar. Dia terkenal dengan akalnya yang tajam. Pada hari pertempuran, dia bahkan bisa menaksir jumlah tentara muslim dari kejauhan. Dia adalah petarung sengit selama pertempuran itu dan telah banyak menjatuhkan musuh ke tanah dengan pedangnya. Setelah pertempuran, kaum muslimin telah meninggalkan dia di antara mayat-mayat, beranggapan bahwa dia telah mati. Sedikit yang mereka ketahui bahwa nasib yang berbeda telah diperuntukkan baginya...
Setelah kaum muslimin berangkat, Umair berhasil merangkak keluar dari kumpulan mayat-mayat. Dan dengan usaha yang keras, dia berhasil kembali ke Mekah. Namun putranya telah ditangkap kaum muslimin sebagai tawanan. Ketika dia telah pulih dari luka-lukanya, Umair pergi menuju Haram di Mekah dimana dia berjumpa sepupunya Safwan bin Umayyah.
Umair tidak tahan untuk berbicara mengenai Perang Badar dan betapa itu terus menghantuinya, karena peristiwa itu memberikan dampak yang mendalam terhadapnya.
Safwan menyela dengan berkata, "Demi tuhan, tidak ada harganya hidup seperti itu setelah kekalahan besar kita. Hidup seperti itu terkutuk!"
Umair setuju, "Engkau benar sekali. Tidak ada untungnya hidup setelah kekalahan. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku memiliki banyak hutang di kepalaku, dan aku tidak mempunyai sepeser pun untuk membayarnya. Jika aku bisa yakin bahwa istri dan anakku tidak akan miskin, kelaparan, dan hidup susah sepeninggalku, aku tahu apa yang akan kulakukan kepada Muhammad. Tapi walau bagaimanapun, dia harus berdoa dan bersyukur karena kini aku terlilit banyak hutang!"
Safwan bertanya, "Apa yang akan engkau lakukan?"
Umair menjawab, "Aku akan mengambil pedangku, menaiki kudaku, dan langsung menuju Madinah untuk membunuhnya."
Safwan bertanya, "Bagaimana cara engkau mendekati dia?"
Umair menjawab, "Alasan bagiku sudah ada di sana. Putraku adalah tawanan mereka. Aku akan berpura-pura menyelamatkan dia."
Safwan tidak ingin kehilangan kesempatan ini dan bertanya, "Bagaimana jika aku ambil semua hutang-hutangmu dan tugas menafkahi keluargamu? Apakah engkau mau melakukan apa yang engkau sebutkan tadi? Engkau tahu aku memegang janjiku, dan aku punya sarana untuk memenuhi janjiku. Bagaimana menurutmu?"
Umtuk sesaat Umair terdiam, memikirkannya, lalu membuat keputusan yang tegas, "Jika demikian halnya, biar pembicaraan kita tadi menjadi rahasia kita berdua, dan jangan diberitahukan kepada siapapun."
"Setuju."
Umair bangkit dari kursinya, pulang ke rumah, mengasah pedangnya dan meracuninya, menaiki kudanya dan berangkat menuju Madinah...