Cetak halaman

Apakah Kita Beriman Kepada Allah?

“Orang Arab Badui (mereka yang hidup berdasarkan pengkondisian, jahil selaku suku dan golongan) mengatakan, ‘Kami telah beriman’… Katakanlah, ‘Kalian belum beriman!’ Ucapkan, ‘Kami telah berserahdiri(menjadi muslim)’! Karena iman belum nyata dan kokoh di dalam kesadaran kalian! Jika kalian taat kepada Allah dan RasulNya, (Allah) tidak akan mengurangi amal kalian sedikitpun… Sungguh, Allah itu Al-Ghafur, Ar-Rahim.

Orang-orang yang beriman adalah mereka yang telah beriman kepada Allah, yang menciptakan wujud mereka dengan Nama-namaNya, dan beriman kepada RasulNya, dan tidak pernah ragu dengannya dan berjuang di jalan Allah dengan harta-benda mereka dan diri (hidup) mereka! Mereka itulah orang-orang yang benar (yang menegaskan realita dengan hidup mereka)!”[1]

 

“Wahai orang-orang yang beriman… Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan!

Mengatakan apa-apa yang tidak kalian praktekkan menimbulkan murka besar di hadapan Allah!”[2]

“Baik kerabat kalian ataupun anak-anak kalian tidak akan pernah bermanfaat bagi kalian! Ketika Hari Kiamat, mereka menyebabkan pemisahan! Allah itu Bashir atas apa yang kalian kerjakan.”[3]

 

“Apakah kalian melihat orang-orang yang berteman dengan kaum yang menimbulkan murka Allah? Mereka bukan bagian dari kaum kalian dan bukan dari kaum mereka; tapi meskipun mengetahuinya, mereka bersumpah atas kebohongan.”[4]

 

“Baik harta maupun anak-anak mereka tidak akan bewmanfaat bagi mereka terhadap apa yang akan datang dari Allah! Mereka adalah penduduk neraka. Dan mereka akan kekal tinggal di sana.

“Akan tiba waktunya dan Allah akan membangkitkan mereka semuanya, dan mereka akan bersumpah kepada Allah sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian, berpikiran bahwa mereka memiliki alasan. Ketahuilah, mereka itu para pendusta!”[5]

Mari kita renungkan ayat-ayat di atas…

Ayat pertama membuat jelas bahwa sekedar mengaku “Aku beriman” karena Anda telah memiliki pengetahuan tentang iman dan menerapkan ketentuan-ketentuan sebagai muslim tidak mesti berarti bahwa Anda seorang yang beriman. Bahkan, yang bersangkutan bisa samasekali tidak beriman, karena perbuatan bisa dilakukan meskipun meragukannya atau mengingkarinya. Yakni, seseorang bisa menampilkan perbuatan yang bertentangan dengan perasaan dan keyakinan sebenarnya agar berselaras dengan lingkungan, karena sopan-santun atau karena kepentingan pribadi. Seseorang bisa memilih bermuka dua dan munafik bukannya mengungkapkan perasaan yang sebenarnya!

Rumi mengatakan, “Tampillah apa adanya atau berpura-pura” …

Lebih mudah dikatakan dibanding dilakukan – konsekuensi dari mencita-citakan prinsip ini bisa sangat besar.

Hanya sedikit sekali yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah mau mengambil risiko ini – orang-orang yang tidak memiliki beban! Karena orang-orang semacam ini hidup hanya untuk Allah, tidak berharap apapun dari orang lain. Orang-orang semacam ini telah kehilangan segalanya, segala hal yang mau tidak mau akan dialami orang lain juga di masa depan.

Mereka hanya berkumpul dan bercengkrama dengan yang lain karena Allah! Sedangkan orang-orang yang tak sanggup berbuat demikian lebih memilih menjauh dari mereka, memisahkan diri kepada tuhan-tuhan asumsi, yang akan meninggalkan mereka ketika Kiamat. Keadaan ditinggalkan Allah ini, yang didefinisikan sebagai ‘murka Allah’, merupakan siksa bagi mereka. Inilah sebabnya penting untuk tidak mendakwahkan apa yang tidak Anda praktekkan. Jika Anda mengaku sebagai orang beriman, maka Anda mesti menjalani konsekuensinya!

Jika Anda mengklaim sebagai orang beriman, maka Anda mesti mengerjakan apa yang diperlukan dan mengikuti ketentuan-ketentuannya.

Jika Anda tidak menerapkan amalan-amalan yang diperlukan keyakinan Anda dan tidak hidup dengan sudut pandangnya dengan perilaku orang yang beriman, maka Anda hanya menipu diri Anda sendiri.

Penipuan diri ini tidak akan memberi manfaat bagi Anda di masa mendatang.

Perbuatan Anda mencerminkan niat Anda – baik karena Allah ataupun tidak.

Semua hubungan yang tidak karena Allah akan berakhir dan menimbulkan penyesalan.

Tapi apakah yang dimaksud dengan ‘karena Allah’ itu?

Yaitu bersikap jujur kepada diri sendiri; hidup dengan realita hakiki Anda!

Yaitu hidup dengan moralnya Allah dan mengevaluasi segala benda dan mahluk berdasarkan realita Allah.

Yaitu berjuang menolong orang lain menuju Allah sehingga rida Allah bisa menjadi nyata pada mereka.

Hubungan karena Allah berarti bergabung dengan orang yang memiliki tujuan yang sama ini.

Mendapat murka ilahi bukan lain adalah buta akan Allah sebagai realita hakiki diri! Mendapat murka Allah adalah terbakar di neraka di hari esok; maka, gagal melihat murka yang sedang menimpa diri ini merupakan indikasi nyatanya. Siapa yang lebih dimurkai dibanding orang yang tidak menyadari realita Allah di dalam esensi dirinya? Kegagalan nyata untuk mengenal dan hidup dengan realita ini merupakan siksa dan hukuman terbesar yang bisa dialami seseorang.

Sebagai rangkuman, hidup karena Allah adalah keperluan dan hasil dari menjadi orang yang beriman, jika kita telah diberkati dengan keimanan! Oleh karena itu, kita mesti melepaskan segala bentuk kemunafikan, berdiri teguh dan menganjurkan kebenaran, serta bersabar dengan hasil-hasilnya. Kita mesti berhenti mendakwahkan apa yang kita sendiri tidak mengamalkannya, dan mengamalkan apa yang kita dakwahkan! Kita tidak boleh berselaras dengan lingkungan dengan mengorbankan keimanan kita! Kita jangan mempertuhankan apa-apa yang memberi kita kesenangan jasmani dan emosional, melainkan hidup dengan prinsip-prinsip keimanan kita kepada Allah, sebagaimana diingatkan ayat berikut:

 

“Apa yang di sisi Allah lebih baik dibanding hiburan dan perdagangan… Allah sebaik-baik pemberi rezeki!”[6]

 

12.7.98

New Jersey – USA

 



[1]Al-Qur’an 49:14-15

[2]Al-Qur’an 61:2-3

[3]Al-Qur’an 60:3

[4]Al-Qur’an 58:14

[5]Al-Qur’an 58:17-18

[6]Al-Qur’an 62:11

6 / 28

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini