Cetak halaman

Iman vs Ilmu Tentang Iman

Bagi kebanyakan kita, agama mengambil peran yang besar dalam hidup kita. Kita mudah bersikap protektif atau defensif ketika sesorang berbicara kurang berkenan tentang keimanan kita. Tapi, apakah mengaku sebagai muslim membuat seseorang menjadi muslim sejati? Bisakah seseorang disebut beriman hanya karena dia mengakui beriman? Apa sih makna dari kata beriman? Mengapa kita menggunakan kata ini?

Iman merupakan bagian dari komposisi alami kita. Ia bukan sesuatu yang diperoleh kemudian. Walaupun mungkin menjadi jelas di tahap-tahap kehidupan kemudian, itu hanya bisa terjadi jika memang sudah ada sebagai sifat alami yang melekat.

Apa yang dimaksud bahwa iman menjadi nyata dalam kehidupan seseorang?

Iman adalah menjadi sadar akan yang ESA, di luar ilusi dari identitas-pribadi dan memiliki wawasan batin bahwa segala sesuatu dibentuk oleh Dia.

Iman membebaskan diri dari keadaan neraka dan memungkinkan diri untuk mengalami keadaan surga. Islam mempercepat proses ini, membebaskan yang bersangkutan dari derita dengan cepat dan mengarahkannya ke maqom kehidupan yang lebih tinggi di surga.

Beriman kepada apa yang dibawa Nabi dan Rasul adalah mengetahui bahwa yang Esa telah menyingkapkan informasi mengenai sistemNya melalui Risalah. Bahkan seorang pria di tengah benua Afrika yang belum mendengar mengenai Rasul akan mencapai keadaan surga setelah imannya menjadi nyata padanya. Sebaliknya, banyak muslim menggunakan waktunya untuk bersujud, tapi fitrah alaminya kosong dari iman. Keimanan mereka berlandaskan peniruan. Artinya, mereka berpindah kepada kehidupan berikutnya sebagai orang-orang yang tidak beriman.

 Hal pertama mengenai kematian adalah bahwa yang bersangkutan melintasi neraka namun tidak terbakar. Pembakaran atau ‘derita’ berasal dari ketiadaan iman. Itu bisa dikategorikan sebagai keadaan apapun yang membuat Anda bingung, tertekan, merasa takut atau benci, dan membuat Anda ingin berlari darinya.

Cahaya iman adalah yang memungkinkan seseorang untuk menyadari bahwa segala sesuatu telah ditentukan, dikehendaki dan diciptakan oleh yang Esa, dan segala sesuatu itu terjadi sesuai dengan cara yang semestinya – mustahil dengan cara yang lain!

Inilah jenis keimanan yang menuntunnya ke surga, meskipun dia belum pernah melihat atau mendengar Rasul SAW.

Internalisasi dan refleksi keimanan pada karakter individu lah yang penting, bukannya pengakuan verbal “Saya orang beriman.”

Mengatakan “Saya muslim” tidak berarti apapun jika keadaan yang bersangkutan dan fitrahnya tidak mengatakan hal yang sama.

Seperti telah saya jelaskan di dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya, kata Allah hanyalah nama. Yang penting adalah makna yang dirujuknya.

Kita mesti memikirkan apa yang kita yakini… Dalam hal apa kita beriman? Bagaimana cara memahami kata iman?

Iman sebagaimana difahami secara luas dari sisi bagaimana ia mencakup kemanusiaan bisa mewujudkan dirinya sebagai karakteristik melekat pada manusia. Dan setelah proses pembersihan yang panjang bisa menuntun kepada teralaminya surga bahkan pada mereka yang tidak memiliki ilmu atau pemahaman akan Rasulullah SAW.

Pada intinya, beriman kepada Rasul merupakan jenis keimanan tiruan. Bahkan beriman kepada Rasul SAW tanpa beriman kepada Allah sebagaimana ditunjuk oleh huruf Ba tidaklah cukup dan bersifat peniruan!

Agar keimanan peniruan beralih menjadi keimanan otentik bergantung semata pada pemahaman akan rahasia huruf Ba.

Memiliki ilmu keimanan tidak memadai untuk bisa merasakan surga. Ia serupa dengan mengunggah data mengenai surga ke komputer – itu tidak berarti bahwa komputernya akan merasakan surga!

Jadi, mengapa mutlak perlu untuk memiliki iman?

Telah kami katakan di atas bahwa iman mencakup pengakuan dari pencipta tunggal yakni Al-Fatir; yang menciptakan segala sesuatu sesuai kehendakNya. Oleh karena itu, mustahil bahwa setiap apapun muncul tanpa arti, tanpa guna atau tidak pada tempatnya, karena Yang Esa lah yang menciptakan dan melihat segalanya sesuai kehendakNya. Ini menuntun yang bersangkutan kepada pengakuan, yang memadamkan semua api dan mengakhiri semua derita. Inilah saat ketika api neraka berkata, “Wahai orang yang beriman, lewatilah aku segera, cahaya imanmu hampir-hampir memadamkan nyalaku!” Cahaya imanlah yang memadamkan semua api neraka. Catat bahwa saya tidak mengatakan ilmu keimanan, melainkan cahaya keimanan, yakni keadaan dan pengalaman mengenainya.

Apabila kita mengevaluasi perkara-perkara dengan wawasan ini, kita mencapai maqom yang disebut ‘Diri yang Diridai’ (nafs-i radhiya). Jika tidak demikian, kita akan terus menderita hingga mencapai titik dimana tiada lagi derita.

Memiliki ilmu keimanan tidak sama dengan memiliki iman. Hanya jika memiliki ‘iman’ bukannya ilmu keimanan seseorang menjadi terbebas dari derita dan mencapai surga, yakni dengan melihat yang Esa di dalam segala sesuatu di setiap saat.

Memiliki ilmu keimanan serupa dengan kiasan Al-Qur’an seperti keledai yang membawa kitab-kitab. Orang bisa membawa ilmu keimanan namun terus menderita ketika menghadapi kejadian, berkeluh-kesah mengapa sesuatu terjadi begini-begitu dan bukannya yang lain!

Jika hidup Anda bersandar pada ilmu keimanan bukannya pengalaman praktisnya, derita pada diri Anda tidak akan berakhir. Bahkan ketika Anda beralih ke kehidupan berikutnya, Anda akan terus menderita!

Anda hanya bisa yakin bahwa Anda memiliki iman jika Anda tidak lagi menderita, yakni jika Anda tidak reaktif dan merasan perlu untuk menyalahkan situasi atau menyalahkan orang lain! Hanya setelah itu Anda bisa merasakan surga. Dan jika rahasia huruf Ba telah tersingkap bagi Anda dan Anda dikaruniai dengan mengalaminya, maka Anda akan menjadi:

“Yang melihat”

 

20.6.98

New Jersey – USA


5 / 28

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini