Memahami Kebenaran
Apakah kita ingin memahami Al-Qur’an?
Jika kita ingin memiliki pemahaman dan evaluasi yang benar tentang Al-Qur’an, pertama-tama kita mesti memahami kata-kata yang digunakan di dalamnya dan menggunakannya dalam format aslinya.
Apabila Anda membaca terjemahan Al-Qur’an, perhatikanlah apakah kata Allah digunakan dalam bentuk aslinya ataukah digunakan kata tuhan. Perhatikan pula apakah kata Rasul dan Nabi sama-sama diterjemahkan sebagai ‘utusan’ (prophet)… Jika demikian, yakinlah bahwa terjemahan ini tidak akan membantu Anda untuk memahami rahasia dan realita yang terkandung di dalam Al-Qur’an! Terjemahan seperti itu tidak memungkinkan Anda untuk memahami pesan-pesan yang ingin Rasulullah SAW sampaikan kepada kita. Jelaslah bahwa sang penerjemah belum faham benar dengan makna Al-Qur’an.
Telah saya jelaskan dalam beragam karya saya bahwa kata ‘tuhan’ tidak bisa disamakan dengan kata ‘Allah’; keduanya tidak berhubungan, dan kata ‘tuhan’ menyiratkan kekuatan eksternal di luar wujud kita.
Saya juga ingin Anda mengambil perhatian pada kata ‘utusan’. Setiap kata yang digunakan di dalam Al-Qur’an dipakai secara khusus untuk menyatakan makna-makna tertentu. Kata prophet (utusan), misalnya, akar katanya dari bahasa Persia dan dikaitkan dengan konsep mereka tentang tuhan-berhala (sosok tuhan). Sayangnya, kata ini telah digunakan untuk menerjemahkan kata Nabi dan Rasul di kebanyakan terjemahan Al-Qur’an.
Kata ‘prophet’ digunakan untuk menunjuk kepada ‘utusan atau kurir tuhan’, yakni sebagai tukang-posnya sosok tuhan di luar angkasa sana.
Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah meliputi esensi semua mahluk dengan Nama-nama dan sifat-sifatNya, nampak ataupun tidak nampak.
Orang yang sampai kepada Allah bukanlah dari sumber eksternal, melainkan dari wujud dirinya sendiri, dan memahami bahwa keberadaannya (identitas yang terbangun) adalah ilusi semata dan hanya Allah yang ada!
Oleh karenanya, realita yang mewujud merupakan pengungkapan dari Nama-nama dan sifat-sifat yang Esa yang dirujuk oleh nama Allah. Pada saat yang sama, Dia itu Al-Ghani, jauh dan tidak tersentuh oleh ungkapan apapun, meliputi esensi semua Nabi, Rasul dan Wali.
Mereka mengartikulasikan realita yang mereka raih di dalam wujud dirinya sendiri. Mereka bukan tukang pos dari wujud sosok tuhan di luar sana!
Mereka telah mencapai tingkat kesadaran ini melalui aktivasi nama Al-Wali di dalam esensi dirinya.
Nama ‘Nabi’ bukan salah satu nama Allah, tapi nama Al-Wali bersifat kekal.
Nubuwwah merupakan fungsi yang hanya berlaku di kehidupan duniawi.
Risalah, di sisi lain, berlaku baik di dunia ini maupun di kehidupan yang akan datang.
Nubuwwah adalah tugas yang hanya berlaku di dunia ini. Ketika Nabi beralih ke dimensi berikutnya, tugasnya berakhir. Pada intinya, Nubuwwah telah berakhir dengan ‘Nabi penutup’ Muhammad SAW. Tidak ada nabi lain setelah beliau. Tapi sebagian Nabi juga merupakan Rasul, dan fungsi Risalah berlaku dan berlanjut hingga Hari Kiamat.
Oleh karena itu, sementara fungsi dari seorang Nabi bersifat sementara, fungsi dari seorang Rasul tidak berakhir karena kematian, terus berlanjut tanpa hingga, karena tiada akhir untuk mengenal diri sendiri.
Maka, ketika kita mengucapkan Kalimah Syahadat (“Aku bersaksi tidak ada Tuhan, hanya Allah, dan bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan RasulNya”), kita membenarkan fungsi Risalah dari Muhammad SAW, bukannya fungsi kenabiannya.
Nubuwwah dan Risalah adalah tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dari Wilayah, serupa dengan pangkat jenderal dalam ketentaraan.
Nubuwwah berkenaan dengan penegakkan standar kehidupan di masyarakat tempat nabi ditugaskan. Standar kehidupan ini mendefinisikan ambang batas, yakni aturan-aturan minimal paling dasar. Di atas itu tidak terhingga. Penting untuk memahami ini dengan baik.
Risalah, di sisi lain, mengajak orang-orang untuk menyadari realita hakiki dirinya dan hidup sejalan dengan itu.
“Ulul ‘azmi” adalah julukan yang diberikan kepada hamba-hamba mulia ini yang melaksanakan kedua fungsi di atas.
Kewalian adalah mengetahui dan mengalami realita hakiki diri.
Ketika kata Nabi digunakan di dalam Al-Qur’an, ia menunjuk kepada aktivitas-aktivitas dalam lingkup duniawi. Tapi ketika realita yang lebih tinggi yang dirujuk, seperti mengalami realita tertentu, maka digunakan kata Rasul.
Apapun yang dikatakan berkenaan dengan jalan untuk mencapai Allah dan menjalani ketentuan-ketentuannya, itu akan berkaitan dengan Risalah dan Rasulnya.
Bagi semua yang disebutkan yang berkenaan dengan sang individu yang menyadari dan mengalami esensi dirinya, digunakan kata Wali.
Demikianlah, mahluk-mahluk mulia yang ditugasi tugas-tugas eksternal berdasarkan kesucian disebut sebagai Nabi atau Rasul, berbeda jelas dibanding para wali yang mengalami keadaan kedekatan dengan realita hakiki mereka.
Jika kita mengkaji ulang dari pandangan ini, kita mendapati tingkat-tingkat makna yang lebih dalam yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur’an…
Dengan kata lain, orang-orang suci yang membawa dan menegakkan hukum-hukum syariat disebut sebagai Nabi, sementara orang-orang suci yang mengajak orang-orang untuk menyadari dan merasakan realita hakiki diri disebut sebagai Rasul.
Kewalian tidak diestafetkan dari bapak ke anak; melainkan akibat langsung dari mengalami esensi diri.
Ketika realita yang mendasari kesucian menjadi nyata pada Nabi atau Rasul, itu disebut sebagai ‘wahyu’; sedangkan kesucian yang menjadi nyata pada seorang Wali, ia disebut sebagai ‘ilham’.
Kata ‘utusan’ tidak hanya menghijab fakta-fakta demikian, tetapi juga menyembunyikan rahasia-rahasia yang mereka tunjuk.
Kita tidak bisa berdoa semata menggunakan terjemahan dari Al-Qur’an! Al-Qur’an tidak pernah bisa diterjemahkan kedalam bahasa lain.
Al-Qur’an ada untuk difahami dan dialami. Tafsir terhadapnya bergantung pada wawasan dan pemahaman penafsirnya, apapun itu…
Ini pemahaman saya berdasarkan wawasan saya. Hanya Allah yang mengetahui kebenaran mutlak.
13.9.1998
Izmir