Cetak halaman

Mengapa Mesti Iman?

Bagi sebagian orang iman itu bisa nyata. Dan dengannya mereka hidup dengan wawasan darinya dan karenanya mereka disebut ‘beruntung’ atau ‘bahagia’, dan tujuan akhir mereka adalah surga.

Tapi bagi sebagian yang lain, iman itu tidak terkodekan dalam program penciptaannya, dan karenanya mereka hidup dengan pandangan yang berasal dari ketiadaan iman. Dan mereka disebut sebagai orang-orang yang ‘tidak beruntung’ atau ‘tidak bahagia’ – tujuan akhir mereka adalah neraka dan hidupnya akan terus menderita.

Iman yang melekat di dalam penciptaan seseorang cepat ataupun lambat akan memungkinkan dia menyadari bahwa Allah adalah sang pencipta dari semua kejadian dan tindakan, dan karenanya akan mengakhiri derita hidupnya. Mari mengingat ayat: “Ketahuilah dengan yakin bahwa kesadaran menemukan kepuasan di dalam mengingat Allah (dzikrullah; mengingat realita hakiki diri atau asal-muasal diri, yakni Allah, yang menyusun esensi dari segala sesuatu dengan Nama-namaNya)!”[1]

Keimanan itu berdasarkan cara bagaimana otak telah terhubung; berkaitan dengan apakah bagian tertentu dari otak telah diaktifkan atau tidak. Bahkan, saya meyakini bahwa ada gen yang berkaitan dengan iman!

Jika otak menafsirkan sebuah situasi dari sudut pandang iman, evaluasinya akan samasekali berbeda dibanding dengan otak yang membuat penafsiran tanpa iman!

Tidak seorang pun bisa mengambil kesimpulan dari awal apakah seseorang itu membawa gen keimanan; sekalipun perilakunya pada saat tertentu menunjukkan sedikit indikasi akan keberadaan hal itu. Kendatipun demikian, jika tindakan tertentu bisa dikategorikan sebagai akibat dari iman atau ketiadaan iman, tidak seorang pun mengetahui dalam keadaan mana yang bersangkutan akan beralih dimensi (mengalami kematian), dan karenanya mustahil menilai seseorang sebagai orang yang beriman atau tidak beriman.

Secara umum, ketika kehidupan dihabiskan tanpa iman tidak menjanjikan masa depan yang menggembirakan, yang menjalani dengan iman pun tidak selalu memberikan jaminan.

Rasulullah SAW memberikan sejumlah contoh yang layak untuk dicatat.

Seorang lelaki yang bertempur di medan perang karena Allah dikatakan tidak mati sahid dan tempatnya di neraka karena dia berperang semata untuk menunjukkan kehebatan dan kekuatannya.

Seorang lelaki yang lain yang dikenal sering mendermakan hartanya dikatakan bahwa tempatnya di neraka karena dia memberi bukan karena Allah, tapi agar terkenal dikalangan kaumnya.

Dan yang terakhir, seorang ulama dikatakan tempatnya di neraka karena dia menggunakan ilmunya untuk memperoleh reputasi atau penghormatan dari orang-orang dan untuk mendapatkan penghasilan.

Maka, ketika dianalisis dari sudut pandang ini…

Orang yang beriman adalah dia yang berbuat hanya karena Allah, tanpa berharap akan imbalan. Semua alasan yang bertentangan dengan ini hanyalah hasil dari perspektif dualistik!

Jika belum ditimpa murka dan hati nurani kita masih aktif, bertanyalah kepada diri apa motif-motif dan niat-niat dari perbuatan kita! Panggillah diri sendiri untuk bertanggungjawab hari ini sebelum kita dipanggil untuk bertanggungjawab di hari esok! Mari kita bercermin!

Mari kita perhatikan ayat berikut:

“Baik kalian tunjukkan apa yang ada di dalam kesadaran (pikiran) kalian atau kalian menyembunyikannya, Allah akan menghadapkan kalian untuk mempertanggungjawabkan-nya dengan fitur Nama Hasib.”[2]

Mari bersikap jujur karena Allah dan tidak menutup-nutupi kesalahan yang sepertinya membuat kita nyaman saat kini! Janganlah kita lupa: bahwa apapun yang kita miliki hari ini, akan lepas dari kita hari esok. Pantaskah mengejar hal yang kecil dan bersifat sementara dengan kehilangan kebahagiaan yang kekal?

Terutama jika kita berdiam diri mengenai apa yang kita tahu kebenarannya dan memilih menutup mata akan kesalahan-kesalahan orang lain karena kepentingan pribadi kita…? Apakah kita cukup kuat untuk menghadapi akibatnya? Bagaimana kita tega membiarkan penyakit yang terus menggerogoti tubuh orang-orang yang kita cintai hanya karena memilih diam dan menutup mata terhadap kesalahan-kesalahan besar mereka karena kenyamanan dan manfaat jangka pendek kita?

Sungguh, hasil alami dari memiliki iman adalah hidup untuk rida Allah, meskipun itu berarti kita kehilangan dunia! Itu akan membuat kita melawan segala rintangan untuk menyelamatkan orang-orang yang kita cintai dari api neraka.

Jika seseorang tidak memiliki cahaya iman, dia hanya akan hidup untuk kenyamanan sehari-hari. Dia tidak akan memikirkan kondisi-kondisi kehidupan yang menantinya di akhirat. Tujuannya semata-mata mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dan lebih mengutamakan kesenangan duniawi. Dia akan mengorbankan segala sesuatu dan siapapun untuk alasan ini, bahkan orang-orang yang paling dicintainya sekalipun.

Kita semua nampaknya berpikir bahwa Dajjal adalah manusia bermata satu yang akan muncul di akhir jaman, tanpa menyadari bahwa kita semua rawan menghadapi energi perusak ini di keseharian kita!

Dajjal adalah dunia materi yang memalingkan kita dari Allah dan dari kekhalifahan kita. Menggunakan otak kita untuk kesenangan dunia adalah memilih surganya Dajjal. Sedangkan bersiap diri untuk akhirat, hidup karena Allah dan menjalani realita kekhalifahan adalah memilih nerakanya Dajjal.

Keimanan dan ketidakimanan membentuk pandangan kehidupan yang memungkinkan cara evaluasi tertentu, yang menuntun kepada cara bertindak, dan secara alami menuntun kepada hasil-hasil tertentu.

Mari kita mengingat hadits berikut:

“Allah menciptakan sebagian orang untuk surga… Allah menciptakan sebagian lagi untuk neraka… Pena telah kering… Setiap orang akan dituntun untuk mencapai apa yang telah dituliskan baginya!”

Jadi kawan, semua bentuk keimanan, selain keimanan kepada Allah sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah SAW, adalah berdasarkan amalan-amalan wajib yang didorong oleh harapan untuk kehidupan akhirat.

Dengan menerapkan ini, yang bersangkutan mengaku sedang menunjukkan perbuatan-perbuatan seorang muslim, namun menurut Al-Qur’an belum beriman!

Orang-orang yang beriman berada dalam ruang lingkup huruf Ba, dan yang secara alami menjalani ketentuan-ketentuan kekhalifahan mereka ‘karena Allah’ merupakan mukmin yang sebenarnya. Mereka pun berbeda-beda tingkatan, dan yang terendah darinya disebut ‘Diri yang Tentram’ (nafs-i mutmainnah).

Setiap orang bergerak dengan mantap ke arah tujuan penciptaannya, disadari ataupun tidak! Sebagian dari kita menanam benih mawar dan sebagian lagi menanam benih thistle; sebagian dari kita mengharapkan bunga mawar ketika jelas-jelas menanam benih thistle!

Tidak ada ruang untuk beralasan di dalam sistemnya Allah; masing-masing secara otomatis akan menjalani akibat dari perbuatan dan penilaiannya.

Jika pikiran-pikiran mengenai masa depan membuat kita menderita hari ini, maka kita pasti akan menderita di masa datang.

Mereka yang tidak bisa mengevaluasi realita syafaat tidak berhak untuk memiliki harapan!

 

19.7.98

NJ – USA



[1]Al-Qur’an 13:28

[2]Al-Qur’an 2:284

7 / 28

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini