Mustahil
Sangat mustahil bagi humanoid untuk memahami dengan sepatutnya dan menjalani ketentuan-ketentuannya sebagai ‘manusia’.
Para humanoid menghabiskan hidupnya dengan mengikuti naluri mereka atau dengan meniru manusia. Mereka tidak bisa memahami kinerja dalam diri manusia. Mereka semata berpikir bahwa manusia itu seperti dirinya, dan karenanya mengevaluasinya berdasarkan perbandingan yang serba-keliru.
Kehidupan humanoid berdasarkan ‘identitas’ dan ‘tubuh’ mereka. Tujuan utama mereka adalah hidup lebih baik, makan lebih baik, sering kawin dan menambah harta. Karenanya, mereka memandang semua hal yang melayani tujuan ini sebagai hal yang sah. Satu-satunya yang bisa membatasi humanoid adalah ‘rasa takut’! Tanpa rasa takut, mereka tidak memiliki batas. Karakteristik utama mereka adalah peniruan.
Mereka tidak memiliki kapasitas untuk bertafakur dan memahami Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah. Maka, hidup mereka berpusat pada tubuh jasmani mereka. Makan dan kawin adalah hiburan terbesar mereka. Pria humanoid berpikir bahwa dia memiliki wanitanya. Dan wanita humanoid posesif terhadap prianya. Konsep saling menyayangi, menyatukan diri dan berbagi kehidupan tidak ada bagi mereka. Pria semacam itu membawa wanitanya seperti perhiasan dan memperlakukannya sebagai peralatan di dapur, di ranjang, dan terkadang di kantornya. Wanita semacam itu hidup semata untuk bertahan hidup atau sekedar merasa aman dalam hal keuangan atau materi.
Semuanya mengenai kepemilikan, kawin, memiliki dan menggandakan kekuasaan satu sama lain dengan menggunakan kelebihan jasmaniah dan/atau jabatan serta posisi mereka. Kehidupan merupakan niaga bagi mereka: membeli dan menjual rumah, mobil, wanita, dll. Pria humanoid memiliki wanita dan menghabiskan hidupnya di antara dapur dan tempat tidur. Dan wanita humanoid berbangga diri karena ada pria yang mengejarnya di antara dapur dan tempat tidur. Wanita yang tak berdaya dan putus asa ini biasanya mengatakan kepada prianya, “Meskipun engkau bosan denganku dan menjalin hubungan dengan wanita lain, jangan tinggalkan aku, kembalilah kepadaku, puaskanlah hasratmu dengan yang lain, tapi kembalilah kepadaku setelahnya!”
Ini adalah ungkapan dari seorang wanita yang benar-benar gagal dan puncak dari ketidakberdayaan. Itu permohonan dari seorang hamba kepada tuannya. Sebuah pernyataan dari hilangnya harga diri dan kemuliaan.
Ketika para humanoid menyukai seseorang, mereka melakukan apapun untuk memilikinya. Tapi otak dan jiwanya tidak berkualitas untuk berbagi dengan ‘pria’ atau ‘wanita’ mereka.
Sebaliknya para manusia, memiliki pasangan. Mereka ‘setara’ dalam hati dan jiwa. Jalan hidup mereka adalah kebersamaan untuk menyatu.
Manusia memiliki cinta.
Berbeda dengan para humanoid, para manusia berbagi dengan yang lain apa yang mereka miliki. Bagi para humanoid, satu-satunya yang penting dan menjadi perhatian adalah ‘memiliki’ dan ‘label harga.’
Para humanoid, yang juga membawa tubuh manusia, berpikir bahwa menjadi manusia adalah seperti seekor singa ketika mereka berkuasa, seekor hyena ketika mengambil, seekor semut ketika mengumpulkan, seekor rubah ketika menipu, seekor monyet ketika meniru dan seekor beruang ketika hidup.
Para humanoid menjalankan dan mempertahankan kekuasaan dan kepemilikan terhadap orang lain melalui pemaksaan. Sedangkan manusia, berjalan bersama sepanjang bisa berbagi dengan yang lain; dan ketika tiada lagi untuk diberikan, mereka hanya menempuh jalannya sendiri.
Para humanoid memiliki mentalitas kesukuan. Mereka memaksa, mengintimidasi, menipu dan memanipulasi. Mereka lalim dan memaksa meskipun tampilannya moderen dan layaknya manusia!
Sedangkan manusia berbudaya. Mereka tidak menggunakan kekuatan dan tidak memaksa. Mereka sekedar menawarkan dan menghormati pilihan orang lain.
Karena imitasi merupakan unsur utama bagi kehidupan humanoid, meskipun kemudian terlibat dalam topik-topik agama dan spiritual, mereka melakukannya dengan peniruan. Walaupun mungkin cerdas, kurangnya kapasitas intelektual membuat mereka tidak mampu membuat keputusan untuk menemukan kebenaran. Maka, mereka hanya melihat bagaimana orang-orang terkenal di masa lampau hidup lalu menirunya.
Para peniru tidak bisa memahami dan mengkaji ahli kebenaran. Berpikiran bahwa orang lain mesti seperti mereka, mereka memandang siapapun yang bertentangan dengan mereka sebagai orang yang sesat.
Takut kepada tuhan bagi mereka hanya karena perkara neraka dan siksa, sementara surga adalah lingkungan kawin dan kawin yang penuh dengan para selir.
Pemahaman mereka terhadap konsep tuhan berhala pun merupakan konsep yang keliru, karena mereka gagal memahami Yang Esa yang dirujuk sebagai Allah di dalam Al-Qur’an. Mereka memuaskan diri sepenuhnya di dalam kesenangan duniawi dan jasmani, sambil mengajak orang lain melakukan hal yang sama.
Tapi, para peniru pun bisa ditemukan di antara para manusia.
Agama, keyakinan, dan informasi yang mereka sampaikan semuanya berdasarkan peniruan. Jika Anda meminta mereka untuk mengesampingkan perkataan orang lain dan berbicara untuk diri sendiri, mereka tidak bisa mengatakan apapun. Jika mereka mencobanya, kemungkinan besar akan bertentangan dengan dirinya sendiri, karena mental dan kapasitas intelektual mereka terbelakang. Hidup mereka berdasar kepada keseharian, tidak mengetahui konsep kehidupan setelah kematian.
Seorang peniru tidak bisa hidup sendirian; Mereka bergantung kepada orang-orang lain. Mereka selalu membutuhkan uang, penghormatan, harga-diri dan perhatian…
Sedangkan seorang ahli kebenaran terbebas dari kebutuhan semacam itu. Mereka telah menemukan Allah di dalam realita hakikat dan Allah cukup bagi mereka. Tujuan utama mereka adalah untuk mengenal Allah. Satu-satunya kriteria mereka adalah Al-Quran, baik mereka membacanya secara eksternal maupun internal. Mereka mendasarkan hidupnya kepada realita-realita yang disingkapkan di dalam Al-Qur’an semata.
Seorang peniru hidup untuk mengambil, seorang ahli kebenaran hidup untuk memberi.
Seorang peniru ingin memiliki, seorang ahli kebenaran suka berbagi.
Seorang peniru menghabiskan waktunya dengan bergosip, seorang ahli kebenaran menghabiskan waktunya untuk meraih ilmu.
Seorang peniru menilai berdasarkan tampilan luar, keahlian terbaik mereka adalah mengritik dan menghina orang lain. Seorang ahli kebenaran berinteraksi dengan orang lain hanya untuk berbagi ilmu.
Seorang peniru tidak memiliki toleransi, seorang ahli kebenaran penuh dengan penerimaan.
Seorang peniru hidup dalam kepompongnya sendiri, seorang ahli kebenaran hidup di Dunia NYATA.
Salam bagi para ahli kebenaran…
30.1.99
NJ- USA