Pemahaman Terbatas
Pada suatu hari, Nabi Isa bergegas meninggalkan seseorang. Mereka bertanya, “Ya Isa, Anda berlari dari siapa?” Beliau berteriak sambil bergegas, “Orang bodoh mengejar saya!”
Jangan mengritik orang bodoh; dia hanya akan menyerang! Apapun yang Anda katakan kepadanya, dia akan melempar balik kepada Anda, bukannya berupaya melihat cacat dan kesalahan dirinya…
Rasulullah SAW tidak pernah mendapatkan masalah yang merepotkan kecuali masalah yang ditimbulkan orang-orang bodoh!
Orang yang bodoh adalah orang yang gagal untuk memahami apa yang diterangkan kepadanya dan hanya mengulang-ulang apa yang dihafalnya.
Neraka bagi ulama atau orang berpengetahuan jika berhadapan dengan orang-orang bodoh.
Kesalahan terbesar dalam agama bermula dari konsep gelar-gelar dan penokohan agama. Tidak ada yang namanya kategori ‘ahli agama’. Yang ada hanya ‘orang-orang yang bisa mengevaluasi agama dengan semestinya’, yang dunia dan akhiratnya dimudahkan sebatas hasil evaluasi mereka.
Sebaliknya, mereka yang tidak mampu mengevaluasi agama dengan semestinya, yakni terhadap sistem dimana mereka hidup, akan menderita atau terbakar (yakni api neraka) …
Neraka di muka bumi relatif lebih mudah dihadapi dibanding neraka akhirat, karena pengalaman baru menutupi yang lama dan membuatnya lebih ringan dan lebih mudah ditangani. Tapi di akhirat, itu mustahil. Derita berlanjut tanpa batas waktu dan tidak mereda!
Keliru faham besar lainnya adalah mengenai konsep ‘para wali’. Kebanyakan orang berpikir bahwa orang-orang yang mengabdikan dirinya kepada agama dan meninggalkan kesenangan dunia adalah para wali yang ditinggikan kedudukannya!
Yang bukan-bukan saja!
Seperti itulah para wali (orang-orang suci) dari tuhan-tuhan khayalan mereka!
Yang sebenarnya ada, adalah keberadaan sistem ini, yang merupakan agama dari Rasulullah dan orang-orang yang menjalaninya, sampai batas tertentu, bergantung fitrah alami mereka.
Tapi tidak berarti bahwa orang-orang ini hanya bergelut dengan perkara-perkara agama saja dan tidak dengan lainnya. Tindakan bodoh jika mengelompokkan orang-orang semacam itu sebagai ahli agama atau wali dan menganggap mereka tidak melakukan aktivitas keseharian mereka.
Semua area kehidupan menjadi perhatian bagi orang-orang yang bernalar tinggi. Tapi orang primitif menganggap orang lain sebagaimana dirinya, menilai orang lain dengan kapasitas otaknya yang terbatas, tidak mengetahui bahwa orang lain mempunyai potensi tak terbatas.
Kapasitas selidik di satu area otak itu sama untuk semua area.
Sel-sel otak kita mampu melakukan semua fungsi di luar fungsinya sendiri, namun kita bahkan tidak memahami implikasinya…
Maka, menyoroti hal ini, jika kita ingin membebaskan diri dari konsep-konsep keliru seperti tingkatan-tingkatan dan gelar-gelar agama, para wali dan dewa-dewi, pertama-tama kita mesti memBACA sistem dan tatanan universal ini, Kitab Induk, Kitab Suci, manual sistem ini.
Jika seseorang berusaha melihat Al-Qur’an tanpa memahami sistem dan tatanannya, dia akan gagal untuk mengenali makna sejati dari simbol-simbol serta metafora-metafora yang dipakai di dalamnya.
Hampir semua yang diasumsikan sebagai ‘Wali’ sebenarnya merupakan kasus dari diri-yang-mencela-diri (nafsu lawwamah) serta kasus dari diri-yang-terilhami (nafsu mulhimah).
Orang-orang semacam ini belum menghirup oksigen realita. Mereka sedang dalam perjalanan kepada yang Esa dengan wajah mereka yang menghadap ke arahNya, terlibat dalam aspek kias dari perkaranya. Melalui mengkaji diri, mereka bergerak menuju esensi wujud.
Mereka yang telah mencapai esensi nyata telah melampaui simbol-simbol dan metafora-metafora itu. Mereka melihat realita pada keseluruhan ciptaan, memberikan haknya berdasarkan fitur-fitur yang mewujud. Mereka telah membersihkan diri dari semua konsep yang keliru terkait dengan penuhanan, utusan-kurir dan para wali. Mereka hidup di dunia menurut peran duniawi masing-masing, dan dalam banyak kasus karenanya, tidak terlihat orang lain dari sisi realita mereka.
Mereka telah menyadari, melihat dan secara aktif merasakan realita bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam sistem ini patut ditangani menurut fitur-fitur yang mewujud, dan tiada ruang untuk penilaian pribadi serta emosi-emosi dalam kehidupan yang tak hingga ini.
Penting untuk memahami ‘penilaian pribadi, nilai-nilai, konsep-konsep serta emosi-emosi’ secara benar. Meskipun merupakan ungkapan yang sering digunakan, pada umumnya tidak difahami dengan baik dan karenanya tidak diterapkan. Saya tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi, namun dengan nyaman saya bisa mengatakan rahasia dan kunci untuk merasakan realita terletak pada kalimat ini.
Orang yang telah dimudahkan untuk memahami realita akan fokus pada hal ini dan berusaha untuk memahami dan menerapkannya. Apa gunanya memaksa orang lain yang tidak ditakdirkan untuk bisa memahaminya?
Namun, karena kita tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan bagi kita, kita mesti berusaha menjalani hidup kita seolah kita telah dinasibkan untuk hal-hal tertentu, dengan mengesampingkan pengkondisian bahwa pemahaman kita terbatas, serta berhenti membuat neraka kehidupan baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang-orang di sekitar kita.
Semoga Allah melapangkan jalan kita dan memudahkan perjalanan kita!
5.7.98
NJ - USA