Penyelidikan
Kemampuan untuk bertanya merupakan fitur khusus bagi otak yang bisa berpikir dan merenung. Ini adalah fitur kecerdasan. Namun demikian, hanya orang yang pintar menimbang yang bisa mengevaluasi dengan sepatutnya terhadap penyelidikan mereka.
Ilmu berupa jawaban terhadap pertanyaan yang tidak diajukan bukanlah ilmu yang sebenarnya! Ilmu adalah hak sejati dari orang yang bertanya!
Orang yang enggan untuk bertanya selamanya akan kosong dari ilmu yang terkandung dalam jawaban.
Maka, kualitas pertama dari seorang pemikir adalah kemampuan untuk bertanya dan melakukan riset! Terutama hal-hal yang akan memberi manfaat di kehidupan kekal yang akan datang. Ilmu yang hanya bisa diterapkan di dunia ini tidak akan berguna di kehidupan setelah kematian, dan kita hanya akan membuang-buang waktu di muka bumi ini.
Pemahaman agama berdasarkan peniruan buta bukannya pembuktian berdasarkan riset selalu lebih populer. Orang-orang pada umumnya lebih menyukai hal yang mudah, sesuatu yang tidak mesti banyak berpikir. Oleh karenanya, mereka lebih memilih mengikuti ‘para ulama’ yang diakui yang tidak mendorong mereka untuk merenung. Sayangnya, mereka yang hidup dengan menjunjung kemanusian sangatlah sedikit.
Walau bagaimanapun, orang-orang yang bertafakur dan melakukan riset namun gagal untuk menemukan kebenaran, masih lebih berharga dibanding orang-orang yang meniru-niru kebenaran. Karena orang yang melakukan riset memperoleh kemampuan untuk menyelidiki dan menemukan hal-hal baru, dan mengunggah fitur kemampuan ini kepada ruhnya. Sementara yang lainnya akan hidup di surga yang sangat terbatas. Masuk ke surga, seperti telah saya katakan sebelumnya, tidak bergantung pada amal-amal seseorang, tapi sudah ditakdirkan baginya ketika penciptaan dirinya.
Apakah kita sedang menjalani dan memenuhi ketentuan-ketentuan ilmu dan pengetahuan dengan sepatutnya ataukah sedang menyia-nyiakan hidup kita dengan gosip dan omong-kosong?
Jika ilmu yang kita peroleh tidak meningkatkan kehidupan kita sehari-hari, maka kita hanya sedang menipu diri sendiri; menyia-nyiakan kehidupan kita dengan menyibukkan diri dengan gosip yang ‘canggih’ untuk menunjukkan bahwa diri kita ‘berbeda’!
Jika Anda ingin merasakan manfaat kemanusiaan melalui penyelidikan dan perenungan, maka pertama-tama Anda mesti memutuskan maksud Anda ini…
Apakah tujuan Anda untuk memenuhi ketentuan agama tertentu agar membuat senang sosok tuhan di langit sana sehingga dia memberi imbalan kepada Anda, ataukah untuk tumbuh dan mengembangkan diri sebagaimana Anda memilih makanan sehat untuk mengambil manfaat bagi tubuh Anda?
Memiliki pemikiran bahwa diri Anda merasa aman pada hari dimana “tidak ada satupun menjadi penolong” hanya karena anda dekat dengan orang terkemuka atau lainnya tanpa memenuhi ketentuan-ketentuan tertentu, adalah sikap menipu diri sendiri.
Orang bertanya-tanya terhadap realita sistem mana yang dirujuk Rasul SAW dengan kata-kata beliau, “Jika kalian tahu apa yang aku ketahui, kalian tidak akan bisa tidur nyenyak di kasur-kasur kalian, tapi akan berlari ke gunung-gunung dengan menyerukan ‘Allah Allah!’”
Mengapa Rasul SAW menasihatkan agar tidak berbohong, bergosip, berjudi, mabuk-mabukan dan berjinah dan sebaliknya menganjurkan untuk shalat, berpuasa dan berhaji?
Tanyalah orang-orang di sekitar Anda, apa makna dari shalat? Sembilan puluh persen akan mengatakan bahwa shalat adalah menyembah tuhan, sebuah aktivitas fisik, berdiri di hadapan tuhan, menyatakan kebesaran tuhan dengan bersujud di hadapannya, dan seterusnya…
Shalat adalah tindakan kembali secara ‘introspektif’! Untuk merasakan dan mengalami realita esensial diri! Untuk mengakui ketiadaan diri di hadapan yang Esa. Untuk merasakan ungkapan individual ketika berdiri, keharusan diri Anda untuk memenuhi pengabdian Anda di hadapan KekuasaanNya ketika ruku, dan ke’Esa’an di luar konsep keserbaragaman apapun dan kefanaan ‘diri’ yang sempurna ketika bersujud.
Ini adalah shalat yang membuka jalan orang yang beriman menuju mikraj!
Berbeda dengan shalat dimana sosok tuhan disembah. Yang demikian itu tidak lain dari sebuah ritual.
Seseorang hanya bisa mencapai surga dengan iman dan mengamalkan ketentuan-ketentuannya, dan Allah, sejauh dia mampu membersihkan pikirannya – tentu saja sebanyak yang diijinkan baginya… Tidak seorang pun, termasuk Rasulullah SAW, mencapai Allah tanpa perenungan dan mempertanyakan.
Shalat tidak sah tanpa Al-Fatihah, karena Al-Fatihah adalah kunci menuju kembali secara introspektif ini. Kembali kepada Allah dimulai dengan perenungan pada makna Al-Fatihah. Baik Anda membacanya dengan bahasa Arab atau bahasa lain, jika Anda membacanya tanpa mengetahui maknanya, tidak berbeda dengan burung beo yang menyuarakannya berulang-ulang! Sama seperti orang yang mengatakan ‘madu, madu’ berulang-ulang tetapi tidak pernah benar-benar mengecapnya, tentu tidak mendapatkan manfaatnya. Yang penting adalah merasakannya, mengalaminya, menjalaninya! Bukan sekedar mengulang-ulang ucapan!
Selanjutnya…
Kami berbicara mengenai membaca ruh Al-Qur’an. Akan tetapi orang-orang berpikiran bahwa saya sedang merujuk kepada hal yang lain, seperti memiliki tubuh dan juga memiliki ruh yang terpisah.
Kami berbicara tentang ‘membaca’ Rasulullah SAW serta bagaimana evaluasi dari sudut pandang cara membaca ini akan menuntun kepada hasil yang akurat. Tapi orang-orang berpikiran bahwa saya sedang merujuk kepada aksi penyatuan dengan ruh Rasul SAW dan aksi pembacaan hadits!
Tidak perlukah kita mempertanyakan alasan-alasan dari ajaran yang dibawa Al-Qur’an dan Rasulullah SAW untuk mendapatkan rahasia-rahasia dan hikmah yang dikandungnya?
Mengapa ajaran ini muncul? Untuk tujuan apa? Kehendak apa yang mesti kita realisasikan?
Pendek kata...
Jika Anda mampu untuk beriman, berimanlah. Kemudian, mulailah untuk bertanya dan meriset agar Anda memperoleh hikmah darinya.
Pikirkanlah apa alasan dan tujuan dibalik tindakan-tindakan Anda agar tidak menjadi seorang peniru!
Orang yang ditakdirkan begitu akan berhenti meniru-niru dan mulai mencari pembuktian!
Jika tidak, dia hanya akan menyia-nyiakan hidupnya dengan kabar-angin!
5.12.98
New Jersey – USA