Cetak halaman

Ruh Al-Qur’an Dan Wanita Di Dalam Islam

Banyak orang yang berpikir bahwa membaca huruf-huruf Al-Qur’an (tanpa mengetahui maknanya) sama dengan ‘memBACA Al-Qur’an’. Sebagian malah berpikir bahwa mereka sedang memBACA Al-Qur’an semata dengan membaca terjemahannya. Meskipun keduanya mungkin perlu sebagai persiapan, memBACA Al-Qur’an itu jauh melampaui itu.

MemBACA Al-Qur’an itu seperti membaca systemnya. yaitu tentang memahami ruh dari pesan-pesannya.

Tapi, bagaimana kita bisa memahami ruhnya Al-Qur’an?

Untuk tujuan apa Al-Qur’an diwahyukan?

Apa yang dikehendaki Al-Qur’an bagi pembacanya?

Kehidupan yang bagaimana yang disingkapkan Al-Qur’an bagi masa depan manusia?

 Fitur-fitur manusia yang mana yang disingkapkan Al-Qur’an?

Apakah Al-Qur’an diwahyukan untuk memaksa dan mengekang manusia kepada gaya hidup yang terbatasi dan merintanginya dari kemajuan, ataukah ia datang untuk menunjukkan jalan kepada manusia bagi pertumbuhan dan pengembangan yang sinambung, untuk membangunkan mereka kepada hak-hak mereka yang telah tercerabut, dan untuk memberitahu, kepada pria maupun wanita, cara untuk merealisasikan keagungan melekat mereka?

Apakah Al-Qur’an ditujukan untuk memungkinkan orang-orang hidup dengan saling menghormati dan harmoni, dalam pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan, ataukah untuk mengalami kemunduran ke masa lalu?

Jika kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita mungkin bisa mulai memahami ruhnya Al-Qur’an, dan gerbang untuk memBACA Al-Qur’an akan terbuka.

Apabila orang-orang gagal melakukan ini, mereka akan bertanya:

“Muhammad datang sebagi Rasul 1.400 tahun yang lalu kepada sebuah kaum yang jumlahnya kurang-lebih 5.000 orang, yang kebanyakan darinya berpikiran sangat primitif. Mereka mengubur anak-anak perempuan hidup-hidup, karena takut dipermalukan dan terhina. Mereka juga memperjualbelikan perempuan, lebih menganggap mereka sebagai barang dagangan dibanding sebagai manusia! Tentu saja, isu-isu itulah yang muncul di komunitas itu di jamannya serta solusi-solusinya yang membentuk Al-Qur’an. Seandainya Muhammad tinggal di wilayah lain, misalnya di Kutub Utara bukannya di jazirah Arab, kitab yang diwahyukan akan berkaitan dengan orang-orang eskimo serta kondisi lingkungan, tradisi, isu-isu, budaya, dan lain halnya.

Maka, bagaimana manusia moderen bisa diatur oleh hukum-hukum yang terkandung di dalam kitab kuno ini, yang jelas diwahyukan menurut tingkat intelektual pada jaman itu? Apalagi terhadap generasi mendatang, hukum-hukum yang ketinggalan jaman ini akan membuat kitab ini menjadi usang sejak lama. Bagaimana bisa banyak negara dari dunia moderen ini ditangani oleh sebuah kitab yang ditulis menurut pemahaman 1.400 tahun yang lalu? Apakah Al-Qur’an berupaya menuntun orang-orang ke surga dengan mengembalikan mereka ke jaman 1.400 tahun yang lalu?

Inilah ‘penolakan obyektif’ dari para ateis belakangan ini.

Jawaban saya:

Sepanjang manusia ada, ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur’an akan terus memberi penerangan kepada manusia dan memungkinkan mereka mendapatkan kebahagiaan di kehidupan kekal jika dan hanya jika ruh Al-Qur’annya difahami!

Contoh berikut akan memperjelas:

Alasan inti yang melandasi rancangan suatu peraturan baru adalah ‘ruh’ dari aturan tersebut. Kata-kata yang tepat akan disusun untuk secara tepat untuk mencerminkan ‘ruh’ itu sehingga peraturannya bisa disahkan. Ketika seorang hakim mengambilnya untuk menerapkan peraturan tersebut, ia mengevaluasi kasusnya berdasarkan motif yang mendorong kasusnya serta hubungannya dengan peraturan tersebut.

Apabila seorang hakim mengevaluasi sebuah kasus berdasarkan huruf-huruf dari peraturan tersebut, bukan dari ‘ruh’nya, maka ia akan sering tersesat – karena memahami motif dari peraturannya penting bagi penerapannya.

Peraturam mesti diterapkan berdasarkan ruhnya, motifnya, bukan arti harfiahnya, agar tidak terjadi penyimpangan. Hati nurani hakim ada untuk mengambil keputusan yang berdasarkan ruh dari peraturannya.

Prinsip yang sama berlaku untuk Al-Qur’an. Kita mesti memikirkan motivasi dibalik wahyu dari ayat tertentu, siapa yang di seru dan kepada peristiwa apa ia merujuk.

Karena pemahaman kita yang keliru kita kehilangan pesan yang dibawa Al-Qur’an dan mengalihkannya menjadi ‘kitab suci yang telah berabad-abad’. Padahal, dari sisi ruh dan tujuannya, Al-Qur’an mengandung fitur-fitur yang menerangkan kemanusiaan sepanjang jaman, kitab yang abadi!

Sebagian besar dari Al-Qur’an menyingkapkan informasi yang bermanfaat mengenai keadaan yang dirujuk sebagai surga dan neraka, serta kondisi dan keperluannya. Yang ke dua, menjelaskan realita manusia dan yang Esa yang dirujuk sebagai ‘Allah’!

Dalam tulisan saya yang terdahulu, saya berbicara mengenai dua sumber ilmu yang dikandung Al-Qur’an, yakniNubuwwah dan Risalah, dan bahwa ilmu yang bersumber dari Risalah tetap berlaku sepanjang jaman dan terus memberikan wawasan baru kepada manusia. Surat Al-Ikhlas dan Al-Fatihah adalah contoh dari ilmu yang berdasarkan Risalah.

Topik-topik yang bersumber dari Nubuwwah, di sisi lain, lebih berhubungan dengan isu-isu lingkungan dan perilaku dan berkaitan dengan urusan-irusan duniawi seperti pernikahan, warisan, persaksian dan ganti-rugi – hukum-hukum yang hanya berlaku selama kehidupan seseorang di bumi dan tidak berlaku setelah yang bersangkutan meninggal.

Maka, mari kita coba memahami ‘ruh’ dari Al-Qur’an…

Apakah Al-Qur’an disampaikan kepada kita agar kita kembali menuju kehidupan primitif yang telah usang, ataukah untuk mendorong dan mempersiapkan diri kita akan masa datang dengan menunjukkan cara-cara pengembangan dan penyempurnaan spiritual?

Hazrat Ali RA, yang saya yakini merupakan salah seorang dari mereka yang paling memahami Al-Qur’an, mengatakan:

“Besarkan anak-anak kalian bukan menurut masa kalian kini, tapi menurut waktu dimana mereka akan hidup!”

Ini adalah visi dari seorang manusia yang menghabiskan masa kecil dan masa mudanya bersama Muhammad SAW dan yang meraih ‘ruh’ Al-Qur’an langsung dari beliau…

Berkenaan dengan hukum-hukum yang berasal dari sumber Nubuwwah, jelas bahwa motif utamanya, lebih dibanding yang lain, adalah untuk menegakkan hak-hak wanita di antara kaum yang hampir tidak menghargai mereka sebagai manusia, melainkan hanya memanfaatkan mereka sebagai barang dagangan nafsu seksual! Hukum-hukum yang berbasis Nubuwwah melarang semua bentuk pemaksaan dan eksploitasi wanita, melainkan memberdayakan mereka dengan hak sebagai ‘pasangan’ kaum pria, memberinya hak persaksian legal yang sebelumnya tidak mereka miliki, dan memberdayakan mereka dengan hak akan warisan.

Al-Qur’an merupakan pencegah bagi kemunduran, menghentikan ketidakadilan, dan mendorong pengembangan berkesinambungan! Begitulah bagi mereka yang berupaya untuk memahami ruh dari Al-Qur’an…

Al-Qur’an tidak menyajikan hukum-hukum ini sebagai ukuran definitif, melainkan sebagai formula untuk pengembangan lebih jauh sesuai dengan perubahan jaman dan kondisi. Sebagai contoh, dengan membatasi hak pria untuk menikahi hanya empat pasangan nikah, Al-Qur’an telah membangun tahap awal dari proses kearah pernikahan pasangan-tunggal. Dengan mengestafetkan manfaat-manfaat dari ‘pasangan-tunggal’, Al-Qur’an menunjukkan hal ini sebagai target bagi lelaki yang telah berevolusi.

Contoh lainnya adalah zakat. Meskipun jumlah tertentu ditetapkan sebagai ukuran minimum yang diwajibkan, ayat-ayat tentang infak mendorong tindakan memberikan harta milik tanpa batasan.

Pendek kata, hak-hak yang diberikan kepada kaum wanita di dalam Al-Qur’an tidak bersifat kaku dan absolut, namun bertindak sebagai landasan dari suatu ‘sistem hak-hak legal’ yang terbuka untuk dikembangkan sesuai perubahan jaman dan kondisi.

 Jika seorang wanita, yang sebelumnya tidak memiliki hak suara, kemudian diberi hak untuk menjadi saksi dengan ‘satu suara dari dua perempuan’ (yakni, saksi dua orang perempuan ekivalen dengan satu orang laki-laki), ini, menurut pemahaman saya, bukan anjuran untuk ukuran definitif, melainkan satu hal yang bisa diperbarui di saat wanita dan masyarakat secara umum telah berkembang.

Memberi hak untuk bersaksi, yang bertentangan dengan tanpa hak, merupakan reformasi besar dalam masyarakat primitif ketika itu. Dengan meletakkan landasan ini, Al-Qur’an secara tersirat mengatakan, “Ketika kalian mulai memahami dan menghargai nilai dari kaum perempuan serta menyadari bahwa mereka pun hamba Allah sebagaimana kalian, dan mereka juga manusia dan khalifah di muka bumi, tidak mencegah mereka untuk memiliki hak yang sama dengan kaum pria.”

 Jika suatu masyarakat atau negara memberikan hak-hak yang sama kepada pria dan wanita, itu sama sekali tidak bertentangan dengan ruh Al-Qur’an, menurut pemahaman saya. Jika ada, itu lebih disukai.

Jikapun perempuan diberi hak waris setengah dari laki-laki di masa itu, yang sebelumnya tidak memiliki hak itu, tidak berarti mereka tidak boleh diberi hak yang lebih dari itu di masa kemudian. Sebaliknya, masyarakat yang memberi hak yang sama kepada pria dan wanita mencerminkan tingkat perkembangan yang sejalan dengan Al-Qur’an.

Oleh karenanya, dengan tidak membatasi hak-hak kemanusian dan membiarkannya terbuka untuk pengembangan, Nabi Muhammad SAW jelas-jelas membangun fakta bahwa tidak perlu adanya kitab lain setelah Al-Qur’an, dan karenanya tidak perlu adanya nabi yang lain. Itu memastikan bahwa beliau memang penutup para nabi.

Kesimpulannya, dipandang dari ayat-ayat yang berbasis Risalahnya, Al-Qur’an membawa informasi berharga mengenai kehidupan setelah kematian dan jalan untuk mengenal Allah. Dari sudut pandang ayat-ayat berbasis Nubuwwahnya, Al-Qur’an mengembangkan dan memperbarui hak-hak manusia semaksimal mungkin sesuai dengan waktu dan jaman itu, namun terdefinisikan sebagai ambang-batas, tanpa membatasi potensi untuk pengembangan.

Prinsip utama ini, menurut pemahaman saya, adalah ruh dari Al-Qur’an, karena menegaskan keberlakuan tanpa-batas dari ‘Kitab’ ini serta fakta yang tidak diragukan bahwa tidak perlu adanya kitab yang lain.

Membatasi Al-Qur’an sebagai tindak reformasi hanya terhadap masyarakat yang menerima wahyu di jaman itu, kemudian membatasi manfaatnya karena beranggapan hanya berlaku untuk jaman itu, sama sekali merupakan konsepsi yang sangat keliru. Pemikiran demikian adalah karena tidak memahami ruh Al-Qur’an, dan karenanya disebut tidak bisa membacanya.

Ketika Al-Qur’an mengatakan untuk memberikan seperempat puluh dari harta yang dimiliki sebagai zakat, tidak berarti melarang memberi seperdua puluhnya! Angka ini hanyalah ambang batas – jumlah minimal.

Menetapkan bahwa wanita memperoleh setengah bagian warisan dari asalnya tidak mendapat bagian sama sekali, tidak berarti bahwa mereka tidak bisa diberi lebih dari itu. Sekali lagi, itu hanya angka minimal. Memberi bagian yang sama kepada laki-laki maupun perempuan tidak bertentangan dengan ruh Al-Qur’an; bahkan itulah sebenarnya yang dianjurkan ruh Al-Qur’an!

Pendeknya, hak yang didefinisikan di dalam Al-Qur’an membangun titik awal, tiada ayat ataupun hadits yang mengklaim bahwa bagian mereka tidak bisa dinaikkan.

Apabila kita gagal memahami ruh dari Al-Qur’an, kita gagal untuk memBACAnya dengan benar, dan karenanya terbentur pada makna harfiah dari ayat-ayatnya dan gagal mengenali pesan sesungguhnya.

Kemudian, dengan persepsi sempit ini, kita mengklaim bahwa Al-Qur’an itu usang dan tidak sejalan dengan jaman kini!

Menafsirkan ayat-ayat yang menyatakan bahwa membebaskan seorang budak merupakan ibadah terbesar – dengan mengingat bahwa perbudakan merupakan praktek adat di masyarakat itu – dengan beranggapan bahwa ‘Islam membolehkan perbudakan’ adalah suatu pemutarbalikan terhadap kebenaran yang didorong oleh motif-motif tersembunyi.

Menyatakan bahwa Islam adalah agama pemaksaan merupakan pernyataan yang sangat tidak adil. Pernyataan semacam itu mewakili gagal-faham terhadap ruh dari Al-Qur’an. Bahkan Rasul SAW diperingatkan di dalam Al-Qur’an, “Engkau bukan pemaksa terhadap mereka”.

Demokrasi dalam pengertiannya yang paling luas hanya terkandung di dalam prinsip-prinsip Islam, karena Al-Qur’an tidak menerapkan bentuk pemaksaan apapun terhadap siapapun.

Al-Qur’an hanya membuat anjuran-anjuran untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian bagi kehidupan manusia. Ia memberitahu mereka bahwa barangsiapa menerapkan anjuran-anjuran ini akan memperoleh manfaat, sedangkan yang tidak menerapkannya akan mendatangkan kerugian yang tidak bisa ditambal…

Lepas dari anjuran-anjuran ini, menurut ruh agama Islam, tidak satu individu atau satu pemerintah pun yang mempunyai hak untuk memaksakan penerapannya terhadap siapapun. Tiap orang hendaknya mengevaluasi anjuran-anjuran ini dengan logika dan kecerdasan masing-masing, dan mengamalkannya tanpa paksaan atau tekanan dari orang lain, serta menghadapi akibatnya sendiri-sendiri.

Penilaian yang tidak benar dari mereka yang jahil karena keliru membaca akan ruh Al-Qur’an tidak mengikat siapapun. Sebaliknya, menjauh dari Islam dan Al-Qur’an karena keliru faham ini bukanlah alasan.

Tanggung jawab untuk membaca Al-Qur’an serta mempelajari agama Islam terletak pada individunya. Jalan untuk mempelajari Islam adalah melalui Al-Qur’an, bukan melalui perbuatan-perbuatan atau perkataan umat Islam. Karenanya, konsekuensi dari penafsiran yang keliru terhadap Islam hanya mengikat individunya.

Maka, jika Al-Qur’an hadir untuk membuat pria dan wanita mengenal potensi kekhalifahan mereka dan mengajari mereka cara memenuhi ketentuannya, serta untuk memberitahu mereka mengenai kondisi-kondisi kehidupan abadi dan cara terbaik untuk mempersiap diri baginya, maka pastilah membaca dan mengkaji Al-Qur’an dengan benar merupakan hal yang paling bermanfaat untuk dilakukan. Barangsiapa melakukan demikian akan meraih manfaat-manfaatnya; sedangkan yang abai akan menjalani akibatnya.

Baik yang Esa yang dirujuk dengan nama Allah maupun Rasulullah Muhammad SAW tidaklah membutuhkan keimanan atau amal-amal kita. Segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk kehidupan kita sendiri, kini maupun di masa datang.

Diberkatilah mereka yang ‘memBACA’ Al-Qur’an serta menjalani hidupnya sesuai dengannya…

 

 

27.9.98


8 / 28

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini