“Setelah”
Saya akan berada di hadapan Allah setelah berdiri untuk shalat…
Kita akan melihat Rabb kita setelah alam kubur dan setelah padang mahsyar…
Kita akan melihat akhirat setelah kita mati…
‘Setelah’ adalah kata yang mengganggu – selalu membuat kita jauh dari saat kini!
Kita berjalan jauh keluar untuk menemukan jawaban dari banyak pertanyaan penting.
Jika kita menempatkan malaikat pada bintang-bintang, berpikiran bahwa kata surga dalam Al-Qur’an merujuk ke ruang angkasa, dan jika berasumsi sama bahwa nama Allah merujuk kepada sosok tuhan di langit sana yang sering ikut-campur dalam kehidupan kita melalui malaikat-malaikatnya, maka tentu saja kata ‘setelah’ (dalam konteks agama) hanya akan menunjuk kepada arti harfiahnya bagi kita, seperti minum air setelah makan!
Sedangkan konotasi agama terhadap kata ‘setelah’ bermakna dimensi lebih rendah setelah dimensi yang lebih tinggi. Yakni, dimensi tubuh jasmani adalah dunia (dimensi luar atau dimensi lebih tinggi) dan dimensi akhirat adalah alam kesadaran (dimensi dalam atau dimensi lebih rendah).
Maka, melihat Rabb dalam kesadaran seseorang adalah melihat Rabbnya di akhirat.
Apa arti dari perkataan “Hanya sang Pencipta yang tersisa setelah ciptaan tiada”?
Bagaimana dan kapan realita “Segala sesuatu akan lenyap, hanya wajah HU yang kekal” akan mewujud?
Apakah perkataan “Allah berbuat sekehendaknya” bermakna “Tuhan berbuat sekehendaknya”?
Dimanakah sang Fatir? Di luar angkasa? Ataukah dalam fitrah kita?
Apa arti hadits “Setelah sang ‘aku’ mati segala sesuatu akan mati, semua Rasul akan pingsan, bahkan Rasulullah SAW akan melekat ke tiang Arasy dalam keadaan setengah pingsan”?
Pendek kata, jika kita bisa mengevaluasi ulang perkara-perkara mengingat dimensionalitas yang ditunjuk oleh kata ‘setelah,’ bagaimana pemahaman kita terhadap dunia, alam kubur dan akhirat akan berubah? Bagaimana kita akan memahami halnya surga dan neraka?
Dimana, bagaimana dan setelah apa kita akan melihat realita yang ditunjuk dengan nama Allah?
9.8.98
NJ – USA