Cetak halaman

Anda Menuju Kemana?

Sadarkah kita, kawan, dari mana asal kita, dan kemana kita akan pergi?

Sebagian mungkin mengatakan, “Tentu… setelah perjalanan singkat di kehidupan dunia, kita akan pergi menuju kehidupan akhirat…”

Sebagian lagi mungkin mengatakan, “Oh tentu! Kita berasal dari Allah dan kepada Allah kita akan kembali!” seperti yang biasa mereka dengar atau baca…

Tapi dimana Allah itu? Apakah Allah memiliki tempat yang darinya kita berangkat dan ke tempat itu kita kembali?

Apakah ini pandangan dari pemahaman yang terpusat kepada penuhanan?

Apakah kita telah merenungkan bagaimana kita berasal dari Allah?

Menurut para ahli hakikat, di setiap saat, kita mewujud dari ketiadaan dan menjadi tiada di saat berikutnya, kemudian kembali menjadi ada sesaat setelahnya, dan menjadi tiada lagi di saat berikutnya, begitu tanpa akhir…

Jadi, darimana tepatnya kita berasal dan kemana kita akan pergi?

Dari ketiadaan menuju ketiadaan, Anda bilang?

Sejauh yang saya ketahui, dengan semua muatan wujud yang berlebih ini, saya pikir kita tidak akan pergi kemana pun yang mendekati ketiadaan, meskipun berasal dari sana… Nampaknya kita tak mampu untuk meninggalkan dunia kita yang berharga di belakang kita!

Tapi Rasulullah SAW mengatakan, “Dunia dan segala isinya akan dilempar ke neraka. Dunia dan setiap orang yang terikat kepadanya telah diciptakan untuk neraka!”

Nampaknya ide yang bagus untuk melarikan diri kita dari dunia!

Diberkatilah orang-orang yang tidak memiliki apapun…

Baik dunia, ataupun ‘dirinya’ sendiri!

Tapi dimanakah ‘diri’ ini berasal untuk pertama kalinya?

Apa jalannya?

Para ahli hakikat telah membuat klasifikasi yang meliputi tubuh, diri, hati, ruh, sir, dan khazanah tersembunyi dari Nama-nama dan Sifat-sifat…

Dan mereka berbicara tentang tingkat kesadaran atau lapisan-lapisan diri sebagai:

Nafsu Amarah: Diri Pencela

Nafsu Lawwamah: Diri yang Menuduh diri

Nafsu Mulhima: Diri yang Terilhami

Nafsu Mutmainnah: Diri yang Tentram

Nafsu Radhiyah: Diri yang Diridai

Nafsu Mardhiyah: Diri yang Rida

Nafsu Safiyah: Diri yang Murni

Lihatlah ini sebagai tingkat kesadaran, masing-masing darinya lebih kedalam dan lebih dalam ke hakikat inti dibanding yang sebelumnya…

Ide umumnya adalah bahwa, sejalan dengan perkembangannya, dia bergerak keluar dari maqom Diri Pencela dan bergerak menuju maqom Diri yang menuduh Diri, kemudian bergerak keluar dari maqom Diri yang Menuduh Diri dan bergerak menuju maqom Diri yang Terilhami dan seterusnya…

Tapi ini bukan cara kerja yang sebenarnya… Orang yang bersangkutan tidak bergerak kemana pun; pemahaman dan perspektif dari keadaan khusus itu tersingkap melalui yang bersangkutan, karena ketujuh maqom atau keadaan itu semuanya telah ada di masing-masing pribadi secara keseluruhan. Kesemuanya menyusun pribadi yang bersangkutan. Tapi yang bersangkutan hanya bisa melihat maqom-maqom yang dia sadari.

Sebagai contoh, Anda tidak bisara berbicara mengenai Diri yang Menuduh Diri kepada orang yang ada di maqom Diri Pencela. Dia mungkin kelihatan seperti mengerti, tapi tak bisa merasakannya. Tapi orang yang berada di maqom Diri yang Terilhami akan faham keadaan Diri Pencela dan Diri yang Menuduh Diri.

Anda tidak bisa berbicara mengenai maqom Diri yang Tentram kepada orang dengan maqom Diri Terilhami, namun orang pada maqom Diri yang Tentram akan mengetahui tentang keadaan Diri yang Terilhami, Diri yang Menuduh Diri serta Diri Pencela.

Jadi, ketujuh tingkatan diri ini, walaupun diuraikan seolah berbeda satu dari lainnya, sebenarnya merupakan keadaan-keadaan yang berbeda dari kesadaran tunggal.

Walaupun seolah seseorang berpindah dari maqom Diri Pencela menuju Diri yang Murni, dari sisi fungsinya, sebenarnya itu berjalan sebaliknya.

Perhatikan!

Semua yang terjadi pada Anda muncul dari keadaan Diri yang Murni dan mewujud melalui kesadaran Anda. Yakni, di tingkat apapun seseorang berada, segala yang terjadi padanya, muncul dari keadaan Diri yang Murni dan mengalir menuju keadaan terkininya, tempat dimana ia mewujud.

Tapi karena yang bersangkutan tidak mengetahui maqom yang lebih tinggi dari keadaannya terkini, dia tidak mengetahui dari mana perwujudan-perwujudan ini muncul. Makanya, dalam istilah agama, kita mengatakan, “Kita berasal dari Allah.”

Semua maqom dan tingkatan spiritual yang disebutkan dalam Sufisme sepenuhnya hadir pada diri setiap orang.

Menjalani dengan sadar atau menjalaninya tanpa menyadarinya terhadap keadaan-keadaan itu yang membuat semuanya berbeda.

Orang yang menemukan ini di dalam dirinya akan merasakan surga sejauh dia menemukan dan mengalaminya. Orang yang gagal untuk menemukan tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi dari diri hakikinya ditakdirkan untuk hidup dalam keserbaragaman dan karenanya merasakan neraka.

Karena itulah, kami dinasihati untuk memandang yang di luar dari yang di dalam, melihat perkara dari intinya, yakni dari ketunggalan ke keserbaragaman, dari alam hakikat ke alam af’al (tindakan).

Jika Anda memikirkan atau berinteraksi dengan seseorang, Anda hanya bisa menilai mereka menurut ilmu yang Anda miliki pada tingkatan terkini Anda.

Itulah sebabnya mereka mengatakan orang yang tingkatannya lebih rendah tidak bisa mengetahui keadaan orang yang tingkatannya lebih tinggi dan hanya bisa mengira mereka seperti keadaan dirinya. Mustahil untuk melihat sesuatu di luar kapasitas diri Anda.

Oleh karenanya, tak seorang pun bisa mengubah apa yang telah ditentukan bagi seseorang yang lain. Masing-masing orang hanya akan menjalani apa yang telah ditentukan baginya. Tapi orang bisa jadi menjadi sebab nyata bagi teralaminya ketentuan yang telah ditetapkan bagi orang lain untuk menjalaninya.

Sebagai kesimpulan, segala sesuatu yang Anda alami berasal dari Diri yang Murni di dalam kedalaman hakiki diri Anda dan mewujud melalui tingkat kesadaran Anda yang terkini, dan terkadang, hal itu mewujud tanpa Anda menyadarinya sedikitpun. Itulah yang dimaksud “kita berasal dari Allah.”

Hakikat bahwa “Anda tidak bisa menginginkan kecuali Allah menginginkannya” juga berkaitan dengan kebenaran ini.

Demikian pula ayat “Allah lah yang melempar, bukan engkau” …

Tapi karena kita pada umumnya tidak mengetahui realita di balik kedalaman kesadaran kita dan bagaimana ia bekerja, kita menilainya menurut apa yang nampak pada tingkat kesadaran kita yang terkini dan menyalahkan atau menuduh orang lain dan menderita karenanya.

Tolong sadari pentingnya topik ini serta pentingnya apa yang telah saya sampaikan di sini untuk menuntun kita keluar dari tipu daya yang sedang kita alami.

 

 

25.2.99


11 / 26

Ini mungkin menarik buat Anda

Anda bisa mengunduh Buku ini