Bertawakal Kepada Allah
Orang yang pemahamannya terbatas mengklaim dengan serampangan, “Saya bertawakal kepada Allah” tanpa mengambil tindak kehati-hatian. Jelaslah bahwa mereka tidak mengetahui apa itu ‘bertawakal’, tanpa memulai dengan kehati-hatian. Itu adalah hal umum yang dilakukan orang yang bodoh!
Rasulullah SAW mengatakan: “Ikat untamu terlebih dahulu, kemudian bertawakal kepada Allah.”
Sudah dikenal baik bagaimana Khalifah Umar RA pergi ke Damaskus dengan balatentaranya dan memerintahkan mereka untuk kembali setelah mendengar adanya wabah di kota itu. Ketika mereka bertanya kepadanya, “Apakah Anda berlari dari takdir Allah?” Beliau menjawab, “Aku mundur menuju penghakiman Allah dari takdir Allah!”
Saya telah menulis tentang sifat takdir yang tak berubah dan absolut sejak 1965, jadi saya tidak mengubah pikiran saya… Mungkin Anda heran?
Sama sekali tidak!
Apapun pemahaman saya di tahun 1965 adalah pemahan yang masih saya pegang hari ini dan saya telah membahasnya secara rinci dalam buku-buku saya terdahulu. Namun demikian, saya tahu bahwa dilema sikap ‘tawakal-dengan kehati-hatian’ masih belum sepenuhnya difahami oleh kebanyakan orang.
Saya tahu dan yakin seyakin-yakinnya bahwa takdir itu absolut dan tidak akan berubah!
Bahkan tindak kehati-hatian yang kita ambil merupakan hasil dari takdir, tidak bertentangan ataupun berada di luarnya!
Dalam kondisi apapun keberadaan kita, jika ada ruang untuk bersikap hati-hati, baik kecil ataupun besar, kuat ataupun lemah, luas ataupun sempit, kita harus mengambil sikap itu! Dengan kesadaran pada fakta bahwa kehati-hatian yang kita ambil telah ditentukan oleh takdir kita!
Kekeliruannya seringkali karena ada pikiran bahwa kehati-hatian bisa mengubah ketentuan!
Saya menulis bab “Kehati-hatian juga berasal dari takdir” dalam buku Kebangkitan Besar[1] 35 tahun yang lalu!
Dunia adalah tempatnya hikmah, dan segala sesuatu yang terjadi dibentuk oleh peristiwa yang mengarahkannya ke sana. Ini adalah sistem dan tatanannya Allah.
Jika seseorang mengklaim bertawakal kepada Allah tanpa melakukan sikap berhati-hati, maka jelas bahwa bersikap hati-hati tidak ditakdirkan baginya. Ini pun berasal dari takdir.
Tawakal yang sejati adalah melihat segala sesuatu telah dibentuk dengan ketentuan Allah.
Mengambil Allah sebagai agen (wakil) inti Anda adalah mengaktifkan mekanisme kehati-hatian internal Anda – bukannya bergantung kepada sosok tuhan eksternal. Tolong coba fahami ini dengan baik.
Kebanyakan orang mengambil sikap hati-hati, tapi mereka tidak bertawakal kepada Allah.
Para bangsawan tidak mengambil sikap kehati-hatian, mereka mengatakan “Demikianlah adanya” dan sepenuhnya menyandarkan keyakinannya kepada Allah.
Kaum elit mengambil sikap kehati-hatian yang diperlukan, sepenuhnya sadar dan melihat Yang Esa membuat ketentuan…
Di sinilah dualitas tersembunyi sama sekali terhapus dan sang pengamat menjadi dirinya sendiri!
17 April 1999 adalah hari pertama dari tahun komariah Islam. Bulan barunya berada pada rasi bintang Aries, membuat tahun ini menjadi awal tahun yang penting…
Dunia juga sedang bergerak menuju Jaman Aquarius. Chiron akan beralih menjadi Skorpio di bulan Juni dan memberi sebuah kesempatan bagi Skorpion dan Skorpion yang sedang naik untuk menemukan petunjuk hingga bulan Oktober, sebelum beralih menjadi Sagitarius. Di sini, Chiron akan berkonjungsi dengan Pluto dan membuat sudut enam puluh derajat dengan Uranus dan Neptunus, ketika menunggu si ‘Kuda Putih’…
Rantai peristiwa yang terjadi mencerminkan kehendak Allah, dan selama itu berlangsung, kita akan melihat, semampu kita… Walaupun orang bodoh tidak mengetahui bahwa mengingkari efek-efek kosmik ini sama seperti mengingkari energi yang kita terima dari madu yang kita makan…
Kaum gnostik berbicara tentang bertawakal kepada Allah, dengan mengesampingkan sikap kehati-hatian…
Para ulama dan para penerusnya menerapkan setiap bentuk kehati-hatian sebisa mungkin, dengan mengetahui bahwa kehati-hatian juga berasal dari ketentuan Allah…
Segala sesuatu telah ditetapkan untuk terjadi tepat adanya, sebelum penciptaan jagat-raya, untuk terjadi sebagai ihwal kejadian tunggal, disaring melalui konsep penciptaan yang dinamai ‘waktu’… Semuanya sebagai ‘tiada’ di sisi sang pencipta…
Sebagian akan bertempur dan berperang, sesuai skenario, dan sebagian lagi akan tertawa dan bersuka-cita! Dan tirai panggung pun akan ditutup, sekali lagi…
Semua kekuatan (gerak, aksi, perubahan bentuk dan keadaan tasbih) dan daya (yang dengannya hal ini dilakukan) adalah beserta Allah!
HU!
17.4.99