Demi ‘Tuhan’!
Ketika usia saya sekitar 15 tahunan, Saya adalah seorang ateis. Ide tentang sosok tuhan di langit nampak sebagai ide terlalu primitif bagi saya, terutama ide tentang sang kurir manusia utusan yang dikirimnya ke bumi. Satu-satunya yang bisa saya terima adalah bahwa ada pencipta jagat raya yang saya lihat. Dalam masa itu, saya sedang mengajar bahasa Inggris kepada murid SMA dan juga mengerjakan rekaman sulih-suara.
Pada tanggal 10 September 1963, ayah saya meninggalkan dunia ini…
Hari Jumat, tiga hari setelah beliau meninggal, ibu saya, yang lahir di Mekah dan diberkati di ambang pintu Kabah – sebagai adat kebiasaan – memohon agar saya menghadiri shalat Jumat dan berdoa untuk ayah saya…
Maka, saya pun pergi ke masjid di seberang rumah, di Masjid Cerrahpasha, duduk di sudut masjid seperti orang asing, dan ketika azan dikumandangkan, jiwa saya merasakan kesedihan yang sangat mendalam… Seolah ada suara dari dalam yang berkata kepada saya, “Engkau melihat hampanya dan tiada artinya dunia dan segala yang ada di dalamnya, dan tidak satu pun mencukupimu, tidak satu pun membuatmu bahagia, cobalah sesuatu yang berbeda saat ini, cobalah dan lihatlah, engkau tidak akan menyesal…!”
Tiba-tiba, saya membuat sebuah keputusan. Saya memutuskan untuk menjadi seorang muslim, untuk shalat lima waktu, untuk selalu menjaga wudlu dan belajar tentang hakikat Islam…
Ketika saya pulang dan menyampaikan ini kepada ibu saya, dia menangis bahagia… Dia begitu gembira… Kemudian saya kembali ke masjid untuk shalat Ashar dan Magrib… Dan saya bertanya kepada tetangga sebelah, almarhum kak Jamal, apakah dia tahu buku-buku tentang Islam.
Dia memberi saya 11 jilid Kumpulan Hadits Sahih Bukhari, dan saya membaca semuanya sekali jalan!
Dunia saya berubah; seolah saya dipindahkan ke jaman Rasulullah SAW dan saya menjadi salah seorang dari anggota keluarganya, seperti hidup di antara mereka… Saya langsung menerapkan segala yang saya pelajari dari hadits, walaupun hanya dari sisi harfiahnya… Saya berpuasa setiap hari, menghadiri setiap shalat berjamaah yang saya bisa, membuka pintu gerbang masjid ketika akan shalat Subuh, bahkan mengumandangkan azan dengan suara saya yang sumbang! Semua itu saya lakukan sebagai rasa syukur saya kepada ‘tuhan’ saya! Bahkan saya menerima bahwa bumi itu datar dan sungai Nil mengalir ke arah khatulistiwa, semuanya dari keyakinan murni saya seperti orang-orang yang bicara atas nama ‘agama.’
Saya habiskan hari-hari saya dengan menyepi, terus membaca dan menyelidiki. Tetangga saya yang lain membawakan saya delapan jilid Tafsir Al-Qur’an oleh Elmalili Hamdi Yazir. Saya habiskan siang dan malam saya membaca Al-Qur’an dan Hadits, dan mengajar Bahasa Inggris sekali-kali untuk mendapatkan beberapa sen.
Satu-satunya tujuan saya adalah mengabdi kepada tuhan saya dan melayani umat manusia secara Rasul SAW.
Tentu saja, saya pun mempertanyakan segala yang saya pelajari; bahkan saya punya begitu banyak pertanyaan, yang saya sampaikan pertama kali kepada almarhum Gonenly Mehmet Efendy, kemudian kepada almarhum Sayyid Osman Efendy dari Madinah. Dalam waktu singkat, Sayyid Osman Efendy dan saya menjadi seperti kakek dan cucu, dia begitu menyayangi saya sehingga mulai berbagi tentang ilmu kebatinan dengan saya. Pada saat itu, saya telah mulai membaca tentang Sufisme. Saya membaca buku karangan Abdulqadir al-Jilani, Imam Ghazali, Muhyiddin ibn al-Arabi dan Syeikh Naqshibandi. Pandangan dan perspektif saya mulai berubah… Saya semakin dingin dengan konsep “tuhan,” tapi semakin dekat kepada pemahaman hakikat dari apa yang ditunjuk dengan nama Allah.
Kemudian saya mulai mencari ilmu yang lebih dalam tentang Kesatuan Wujud. Obrolan dangkal tidak memuaskan saya. Pada suatu hari di masjid itu seorang syeikh Naqshibandi berusia 106 tahun melihat saya dan meminta saya mendekatinya. Dia berkata, “Bacalah seratus ribu kali surat al-Ikhlas dan kembali kepada saya.” Saya langsung membaca surat pendek itu dan dalam 20 hari saya menamatkan seratus ribu kali bacaan. Tapi saya tidak pernah melihat dia lagi, beliau telah pindah ke alam lain selama hari-hari yang 20 itu…
Pemahaman saya tentang hal ‘lahir’ (eksternal) dan ‘batin’ (internal) kini telah berubah, saya mulai mengkaji segala sesuatu dari sudut pandang kesatuan dan ketunggalan. Saya menuliskan pemahaman dan pengalaman saya di dalam buku saya Kebangkitan Besar selama masa itu.
Buku Kebangkitan Besar seperti benih dari pemahaman dan visi saya hari ini. Ia tumbuh menjadi cabang-cabang yang menjadi semua buku lain yang saya tulis hingga sekarang dan daun-daunnya tersebar ke seluruh dunia dengan internet.
Sungguh, di sepanjang tahun yang saya lihat, dari waktu ke waktu, seperti halnya pendekatan saya di tahun-tahun awal perjalanan saya, kebanyakan orang melakukan pendekatan yang benar-benar harfiah terhadap agama. Mereka tidak melakukan upaya untuk menerjemahkan tentang apa sebenarnya Al-Qur’an itu.
Mereka tidak menyadari bahwa kata-kata itu bagai pakaian, ketika mereka menunjuk kepada sesuatu, mereka juga menutupinya!
Kebanyakan perintah di dalam Al-Qur’an adalah kiasan dan menunjuk kepada hal yang jauh dari sekedar makna harfiah.
“Jangan melihat apa yang diharamkan” misalnya bermakna jangan menginginkan yang haram, dimana ‘haram’ bermakna apa yang tidak Anda miliki.
“Kutuk perbuatannya bukan yang melakukannya” contohnya merupakan salah satu prinsip Islam yang penting dan mendasar, namun banyak yang tidak mengetahui ini.
Jalan Sufi berakar dari Hazrat Abu Bakar RA dan Hazrat Ali RA, tapi kebanyakan orang tidak mengetahui nilai dari mutiara suci ini.
Setiap orang menemukan seorang ulama atau syeikh bagi dirinya, kebanyakan telah meninggal dunia, dan mereka terkondisikan oleh ajaran mereka, bukannya menyadari bahwa diri mereka sendiri yang disapa langsung oleh Allah dan Al-Qur’an.
Terlebih-lebih, kita berada di jaman dimana orang-orang melakukan pembunuhan atas nama tuhan mereka! Memproklamirkan bahwa diri mereka adalah khalifah Allah, semata untuk memuaskan tuntutan mereka akan kekuasaan, mereka hampir-hampir memaksa orang lain untuk shalat, berpuasa dan menutupi kepala.
Di sisi lain, kita melihat pendekatan “republik” tipe Iran atau rejim tipe “demokratik” Jerman lama dimana atas nama mempertahankan hak asasi, orang-orang dikendalikan dan dimanipulasi untuk patuh dan taat!
Ya Tuhan!
Akankah kita sempat melihat hari-hari dimana orang-orang saling menghormati satu sama lain dan tidak saling melanggar hak orang lain???
Ataukah kita tak pantas untuk mendapatkannya?
Ataukah semata bahwa “Setiap bangsa diatur dengan cara yang layak bagi mereka”? …
23.5.99