Seperti telah saya coba jelaskan secara rinci di dalam buku saya Allahnya Muhammad, tidak ada keberadaan ‘lain’ (konsep, kandungan, atau bentuk) yang dapat diserupakan atau disamakan, dengan cara apapun, dengan Yang Esa yang ditunjuk dengan nama ALLAH.
Karena realitas ini, semua yang tercerahkan mulai dari rantai perenungan dan pengamatannya Hazrat Ali dan Hazrat Abu Bakar, yang dirujuk dalam Al-Qur’an sebagai ‘yang kedua dari yang dua’, semuanya telah mengukuhkan realitas yang sama: “Hanya ada Allah, dan tidak ada yang lain!” Inilah sebabnya mengapa mengamati dan mengevaluasi kesempurnaan universalNya (hamd) hanyalah kepunyaan Allah! Karena sama sekali tidak ada yang lain, Allah adalah evaluator (penilai) terhadap DiriNya Sendiri!
Dualitas adalah pemikiran yang tidak absah dan menyesatkan!
Manusia sampai kepada pertimbangan yang keliru ini dengan khayalan-khayalan mereka, menjadi terhijab (kufur) kepada Kesatuan sejati di balik persepsi yang keliru dari keserbaragaman! Sebagai akibatnya, orang-orang menjalani hidupnya dengan meyakini bahwa diri mereka hanyalah tubuh material yang pada akhirnya akan mati dan dibuang ke ketiadaan; atau mereka beranggapan adanya sosok Tuhan eksterior, baik itu yang ada di atas sana (di langit) atau di dalam dirinya (syirik)!
Sedangkan menurut umat Allah, yang mendasarkan pandangannya pada Al-Qur’an dan Rasulullah, inti dari masalahnya adalah:
‘HU,’ sama sekali tiada yang lain, lihat ilmuNya, dengan ilmuNya, yakni sifat-sifat (potensial kuantum) yang ditunjuk oleh Nama-nama Yang Indah (Asmaul Husna), di dalam ilmuNya (dimensinya ilmu)… Tindakan melihat (mengamati) ini tidak memiliki awal ataupun akhir. HU jauh dari terkondisikan atau terbatasi oleh apa yang dilihatNya (yakni, HU itu Ghani dari [tidak bergantung kepada] seluruh alam.)
Karenanya, semua alam dan segala sesuatu yang dicakupnya, yang sebelumnya tiada menjadi ada dengan adanya fitur-fitur dari Nama-nama, melalui tindakan melihat ini!
Segala sesuatu di dalam dunia konseptual bagaikan perwujudan beragam komposisi dari Nama-nama Allah, yang dirujuk secara ringkas sebagai Nama-nama (al-Asma). Ini serupa dengan ratusan atom yang menyusun seluruh dunia material dengan semua bentuk dan mahluknya yang tak terhitung.
Bahkan mungkin dapat kita katakan, potensial kuantum non-lokal abadi sedang mengamati dirinya dari titik pandang Nama-nama. Hazrat Ali MENGINGATKAN. “ilmu adalah satu titik, namun mereka yang jahil telah melipatgandakannya” menunjuk kepada realitas bahwa potensial kuantum adalah sebuah titik tunggal, yang mewujud menjadi yang terindera menurut si pengindera, karenanya para pengindera ini lah yang disebut sebagai orang-orang jahil.
Meskipun Nama-nama Yang Indah (Asmaul Husna) umumnya dianggap berjumlah 99 dalam arti luas, berkenaan dengan rinciannya nama-nama ini jumlahnya tidak terhingga.
Semua benda yang terindera dan tak-terindera terbuat dari fitur-fitur yang ditunjuk oleh Nama-nama (Allah); karenanya, tindakan penciptaan ini dirujuk sebagai ‘Rabbnya Alam-alam.’ Kata ‘Rabb’ adalah komposisi-Nama yang menyusun individu yang terindera.
Frase ‘b-izni Rabb’ yang secara harfiah berarti ‘dengan ijin Rabb’ merujuk kepada kecocokan komposisi-Nama terhadap situasi khusus tersebut.
Frase ‘b-iznillah’ yang berarti ‘dengan ijin Allah’ dapat menunjuk kepada dua arti, bergantung konteksnya. Yakni, merujuk kepada kecocokan dan ketepatan dari komposisi-Nama kepada tujuan penciptaan alam-alam, ataukecocokan komposisi-Nama kepada tujuan keberadaan individual. Karena tidak ada Uluhiyyah ‘lain’ selain Yang Esa.
Karena keEsaan inilah Al-Qur’an menekankan konsep akibat (jaza) dan meneguhkan bahwa semua individu akan menjalani akibat-akibat dari perilaku yang berasal dari mereka. Inilah sebabnya mengapa ada pengulangan fakta di sepanjang Al-Qur’an bahwa ‘masing-masing akan menjalani akibat-akibat dari perbuatan-perbuatannya, karena tidak ada Tuhan yang mendzalimi atau menghukum.’
Kalimat ‘semua individu akan diberi hak yang semestinya’ bermakna bahwa apapun yang diperlukan untuk terpenuhinya tujuan keberadaan individual akan diberikan sesuai dengannya.
Takwa secara umum difahami sebagai perlindungan atau ‘terlindungi dari murka Allah.’ Yang dikiaskan kata ini sebenarnya adalah perlindungan yang mesti seseorang ambil untuk menghindari keterlibatannya kepada perilaku-perilaku yang bisa menghasilkan ekspresi-ekspresi Nama-nama yang tidak menguntungkan yang dengannya ekspresi itu tercipta, karena setiap orang pasti akan menjalani akibat-akibat dari perbuatannya sendiri.
Seperti telah saya katakan, Al-Qur’an bukanlah kitab tertulis yang dikirim ke bawah (diturunkan) dari Tuhan di atas sana kepada nabi-kurirNya di muka bumi melalui mahluk perantara tertentu. Ia adalah ILMU tentang realitas dan Sistem (sunnatullah), yang diwahyukan (secara dimensional) kepada kesadaran beliau, dari Rabb beliau, yakni Nama-nama yang mencakup realitas esensial beliau.
Dalam pandangan mereka yang tercerahkan, Al-Qur’an adalah ‘konfirmasi’ dalam tampilan sebuah ‘proposal.’
KITAB ini menyinggung ILMU tentang Realitas dan Sistem (sunnatullah).
Dipandang dari keberadaannya sebagai Ilmu tentang Realitas, kitab ini mengungkapkan Realitas dari segala sesuatu, baik yang terindera maupun yang tidak terindera. Dipandang dari keberadaannya sebagai Ilmu dari Sistem (sunnatullah), kitab ini menjelaskan mekanika dari Sistem dan Tatanan dari dimensi-dimensi yang di dalamnya mahluk-mahluk individu akan tinggal selamanya.