Konsep ‘perlindungan’ (taqwa) atau ‘takut kepada Allah’ juga disalahfahami. Karena nama Allah tidak merujuk kepada Tuhan eksternal, rujukan sebenarnya adalah kepada Nama-nama dan pengaturannya. Allah menciptakan alam-alam dengan Nama-nama dan mengaturnya dengan Sistem yang dikenal sebagai sunnatullah. Satu hukum yang berlaku paling mutlak di sini adalah yang dari Nama al-Hasib yang melekat pada ‘komposisi Nama’ seseorang, dimana pengalaman seseorang pada tahap selanjutnya merupakan akibat dari tahap sebelumnya. Sederhananya, perilaku apapun yang dijalani seseorang di suatu waktu, baik itu tindakan atau pikiran, ia tidak akan dapat menghindar dari akibatnya di kemudian hari dalam kehidupannya. Ini telah dinyatakan sebagai ‘Dia (Yang Esa) yang cepat perhitungannya’ (Sari’ul Hisab) dan ‘Dia (Yang Esa) yang merespons kejahatan dengan hukuman berat (siksa pedih)’ (Syadid al-Iqab).
Oleh karena itu, hidup di dalam sistem dengan hati-hati dan bijaksana telah diistilahkan sebagai ‘takut kepada Allah’ atau sebagai ‘perlindungan’ (taqwa). Karena ‘sunnatullah = sistem dan mekanika Allah’ pada hakikatnya merupakan manifestasi dari Nama-nama Allah, bagaimanapun juga tidak salah jika merujuk kepada hal ini sebagai ‘takut dan perlindungan dari Allah’. Karenanya, suatu tindakan yang tidak berbudi kepada mahluk yang lain merupakan tindakan yang tidak berbudi kepada Allah, dan akibatnya akan dialami sesuai dengannya! Proses ini dikenal sebagai ‘jaza’ (konsekuensi). Karenanya, jaza sesungguhnya bukan akibat atau hukuman, melainkan pengalaman otomatis atas konsekuensi tindakan.
Al-Qur’an mengundang pembacanya untuk merenung melalui banyak ibarat dan perumpamaan, semuanya untuk mengingatkan (dzikr) manusia akan realitas diri mereka.
Sayangnya, karena kondisi waktu dan tempat, dan tingkat-tingkat pemahaman masyarakat, contoh-contoh yang dapat diberikan tidaklah banyak. Karena hal ini, jumlah obyek yang terbatas yang dikenali masyarakat telah dihubungkan dengan beragam makna di sepanjang waktu, sedemikian rupa sehingga kata yang sama digunakan untuk merujuk kepada hal-hal yang berbeda pada waktu yang berbeda, atau kepada spesifikasi yang berbeda terhadap benda yang sama. Sebagai contoh, kata Arab ‘sama’ jarang digunakan untuk merujuk kepada ‘langit’ ataupun ‘ruang angkasa’, ia lebih umum digunakan untuk merujuk kepada ‘keadaan kesadaran’ atau ‘aktivitas intelektual di dalam kesadaran seseorang.’ Contoh lainnya adalah kata ‘ardl’. Ia jarang digunakan untuk merujuk kepada bumi, dan umumnya digunakan untuk merujuk kepada ‘tubuh manusia.’ Tubuh manusia juga ditunjuk dengan kata-kata lainnya seperti ‘an’am’ yang berarti ‘binatang piaraan’ yang merujuk kepada sifat binatang dari manusia, yakni makan, minum, tidur, sex dll., dan ‘dabbah’ yang merujuk kepada susunan material dan duniawi dari tubuh biologis. Kata ‘syaithan’ (Setan) digunakan dengan konotasi kecenderungan manusia yang suka menjatuhkan dan membatasi kesadaran mereka yang sebenarnya tak berbatas, dari sudut komposisi Nama esensial mereka, kepada keadaan jasmaniah dasar. Kata ‘gunung’ juga jarang digunakan untuk menunjuk pada arti sebenarnya; ia lebih umum digunakan untuk menyiratkan ‘ego’, sang ‘aku’ atau ke’aku’an. Juga, ketika kata ‘ardl’ digunakan untuk merujuk kepada ‘tubuh’, kata ‘gunung’ nampak menunjuk kepada ‘organ’ tubuh. Sebagai contoh, ayat ‘gunung berjalan namun kalian melihatnya sebagai diam’ menunjuk kepada aktivitas dan pembaruan yang terus menerus pada organ-organ dalam kita, yang nampak seolah diam seperti gunung-gunung di bumi.
Kata ‘zawj’ juga digunakan dalam beragam konteks dengan arti yang berbeda-beda. Sementara penggunaan yang paling umum adalah dalam pengertian ‘pasangan nikah’. Ia juga nampak digunakan dalam konteks kesadaran dengan menyiratkan pasangan atau ekivalen kesadaran dan tubuh yang suatu saat akan dibuang. Pada kenyataannya, ayat ke tujuh surat 56, al-Waqiah, menyatakan makna ‘azwajan tsalatsah’ adalah ‘tiga macam’ bukannya tiga istri!
Jika kita mengevaluasi kata-kata dalam Al-Qur’an dengan arti harfiah sempit dan merujuk hanya pada satu arti, bukan hanya berbuat sangat tidak adil tapi juga meretas jalan menuju keyakinan primitif bahwa kitab perintah-perintah Tuhan ini meragukan dan tidak masuk akal!
Padalah Al-Qur’an adalah artikulasi, melalui pewahyuan, dari Rabb-nya alam-alam (sumber makna-makna tak hingga dari Nama-nama), yang memberi kita ilmu tentang sistem dimana sifat-sifat implisit dari Nama-nama mewujud untuk menciptakan dunia eksplisit. Inilah yang dimaksud ‘agama’!
Manusia, dengan kata lain ‘kesadaran murni’, adalah Qur’an yang dipersonifikasikan. Penduduk bumi yang meyakini dirinya tidak lebih dari tubuh fisik mereka yang disebut ‘manusia’ karena kesadaran universal ini ada di dalam esensi terdalam mereka. Ketika unit-unit kesadaran (di dalam tubuh duniawi) menolak keyakinan ini, mereka mengingkari esensi terdalam mereka dan menciutkan diri mereka sendiri kepada keberadaan material semata. Karenanya, Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti ini ‘mereka bagaikan ternak, bahkan mereka lebih sesat (dibanding manusia) jalannya’ (Qur’an 25:44). Dengan kata lain, hanya selera hewani dari tubuh fisik mereka yang menggerakkan hidup mereka. Mereka mengingkari sifat-sifat agung dan mulia dari realitas diri mereka dan bekerja hanya karena rangsangan neuron-neuron di dalam usus mereka (otak ke dua), dan karenanya menurunkan derajat hidup mereka ke keadaan tubuh hewani.
Aadapun mengenai seringnya pengisahan kehidupan dan teladan para Rasul dan Nabi di dalam Al-Qur’an… Semua ini juga merupakan contoh-contoh dari kesalahan-kesalahan intelektual dan fisik yang mudah terjadi pada manusia dan mesti diwaspadai. Namun begitu, kejadian-kejadian seperti ini telah dijalani oleh setiap populasi manusia di setiap abad dengan cara yang berbeda!