Jika kita melihat realitas dari dimensi kesadaran murni, kita tidak akan dapat melihat keberadaan sesuatu apapun selain dari Yang Esa. Dalam keadaan ini, tidak ada yang namanya penyebaran maupun keragaman; tidak ada ‘yang lain’ yang memiliki kehendak terpisah. Hanya ketika kita melihat dari sudut pandang individu, yakni dari dimensi keragaman, kita melihat ekspresi Kehendak Yang Esa individual, yang nampak banyak namun secara hakikat muncul dari sumber yang sama.
Al-Qur’an menjelaskan hal ini kepada mereka yang memahaminya dengan mengatakan “Kalian hanya akan menjalani akibat dari perbuatan-perbuatan kalian”, merujuk pada kehendak individu dalam domain keragaman. Kemudian dengan mencerminkannya dari proyeksi kesatuan, Qur’an mengatakan “Hanya ada satu kehendak: Allah”, merujuk pada realitas bahwa “tiada keberadaan selain Allah.”
Keduanya benar, karena keduanya merupakan proyeksi yang berbeda dari realitas yang sama.
Perlu dicatat bahwa ayatnya mengatakan “Setiap hari Dia mewujudkan DiriNya dengan cara yang lain”; tidak mengatakan ‘Allah’. Kata ‘Dia’ merupakan terjemahan dari ‘HU’, yang tidak berkonotasi gender, tentunya, namun berkonotasi keberadaan murni di luar batas deskripsi.
Kita dapat memikirkan HU sebagai dimensi kesatuan dalam esensi masing-masing entitas tunggal (monad), sumber dari formasi sinambung.
HU adalah kesatuan yang disamarkan sebagai keserbaragaman. HU adalah dimensi keesaan yang tersirat dalam esensi segala sesuatu!
Pertanyaan:
Apakah raihan ilmu berada dalam kendali kita? Bagaimana ini mempengaruhi masa depan kita; ‘anak-tangga’ yang menjadi ketetapan kita?
Ilmu, pengalaman dan petunjuk membentuk kita agar menjadi ‘anak-tangga’ yang telah ditetapkan bagi kita. Derajat raihan dan penerapan ilmu merupakan derajat terjadinya ‘pembentukan’ itu. Tanpa dibentuk, seseorang tidak akan menjadi apa yang dituju. Karenanya, ilmu tanpa amal adalah sia-sia.
Katakanlah, misalnya, bahwa saya telah memperoleh banyak ilmu dan telah meresapi fakta bahwa setiap individu hanya dapat mengekspresikan fitrah alaminya dan tidak dapat menunjukkan perilaku di luar batas-batas kapasitasnya. Sekarang, misalkan saya masuk ke restoran, pelayan datang dan melemparkan daftar menu ke hadapan saya. Bolehkah saya geram dan memarahinya? Dia hanya menunjukkan perilaku yang berasal dari program internalnya; jelas bahwa dia kekurangan data untuk bisa bertindak dengan cara yang berbeda!
Jika saya tidak sadar dengan kebenaran ini, saya akan bereaksi dengan kemarahan dan frustasi. Saya akan mempertanyakan sikapnya itu dengan geram dan berupaya mengoreksinya. Namun ilmu memungkinkan saya untuk tetap tenang, tidak bereaksi dengan emosi. Ilmu menyelamatkan saya dari beban reaksi impulsif yang tak perlu serta pantulan yang melelahkan yang diakibatkannya.
Ketika seseorang menjadi panas dan marah, jutaan sel berhenti seketika! Kemarahan, bergantung pada intensitasnya, dapat menyebabkan jutaan hubungan singkat dan letupan di tingkat molekul, bahkan kadang merusak total sel-sel otak! Jadi bagaimana seorang terpelajar yang telah meraih ilmu bisa menunjukkan perilaku demikian dan menyebabkan kematian dirinya? Mungkinkah ilmu yang dimilikinya ini ilmu yang benar? Jika ilmu tidak mencegah kita dari merusak diri dan orang lain, jika ilmu tidak ‘membentuk’ kita, maka kita tak pantas untuk mengaku telah berilmu.
Potongan berlian lah yang menentukan nilai berliannya. Berlian satu karat dengan 52 faset (muka) jauh lebih berharga dibanding berlian dengan 32 faset atau 16 faset dengan berat yang sama. Semakin banyak potongannya, semakin tinggi nilai berliannya.
Kita pun seperti berlian. Semakin banyak ilmu memotong dan membentuk kita, semakin tinggi pula nilai kita.
Pertanyaan:
Jika tingkatan ilmu yang dapat saya raih terserah keinginan saya, yakni jika saya berkuasa menggunakan otak saya untuk mengevaluasi ilmu, maka apakah logis beranggapan bahwa ‘anak-tangga’ yang kita bentuk dalam tangga itu tidaklah tetap, maksudnya tangga tersebut tidaklah stabil?
Tempat kita di dalam tangga itu sudah tetap. Tempat yang kita duduki, ‘anak-tangga’ yang kita susun adalah tujuan sebenarnya dari penciptaan kita. Namun bentuk akhirnya ditentukan pada titik kematian. Selama kita masih hidup, kita masih dalam proses pemotongan dan pembentukan.
‘Pembentukan’ yang terjadi di neraka layaknya pencucian akhir terhadap sisa-sisa kotoran yang kita bawa dari kehidupan duniawi. Bagai pemurnian emas dengan api, hal itu tidak menambah nilai apapun padanya; semata memurnikannya.
Karenanya, neraka bukanlah tempat pembentukan, melainkan tempat pemurnian.
Api neraka memurnikan dan memadatkan hal-hal yang kita peroleh di dunia, sehingga kita bisa memasuki surga sebagai mahluk-mahluk yang murni.
Apapun alasannya, setiap orang mengalami fase menengah dalam kehidupan mereka, fase dimana mereka mengalami pembakaran batin. Pembakaran ini, yang dirujuk sebagai ‘api neraka’, merupakan cara pembersihan diri kita dari keadaan yang tidak tepat yang menghalangi keberadaan surgawi kita.
Mereka yang ditakdirkan untuk tinggal di neraka selama-lamanya, pada akhirnya akan mencapai keadaan yang murni setelah penderitaan berat yang berkepanjangan.
Tapi di akhir semua penderitaan, apinya akan padam, pembakaran akan berhenti, dan kehidupan baru akan bersemi dari abunya.