Penyimpanan Data Di Dalam Otak
Proses penyimpanan ingatan dan informasi tiada henti oleh otak dimulai sejak lahir dan berlanjut hingga datang kematian.
Beragam jenis data sampai ke otak dalam bentuk gelombang. Dengan memrogram sel-sel reseptor menurut frekuensinya sendiri, data tersebut mengambil alih aktivitas dari sel-sel ini, dan memaksakan kandungan informasinya sendiri pada otak. Tak ada bedanya, apakah kita menyebutnya sebagai pengkondisian, atau pemrograman otak dengan informasi khusus, karena efeknya tetap sama.
Secara alami, otak dirancang untuk menyerap dan menerima semua bentuk informasi. Ketika seorang anak kecil menyentuh kompor panas, misalnya, dan kita meneriakinya “Jangan! Panas!”. Tanpa sengaja kita mengkondisikan otak anak tersebut, sehingga ketika suatu waktu nanti mendapatkan kompor panas, sang anak secara otomastis akan mendefinisikannya sebagai ‘panas!..’
Begitulah, sepanjang waktu yang dilewati, penilaian tertentu didiktekan kepada otak, membuat kita menerima pada keyakinan palsu bahwa kita tersusun dari ‘tubuh fisik’. Karenanya, berdasarkan semua informasi beragam yang disimpan di otak kita, kita mulai menyusun ‘standar penilaian’, dan terus melekat hingga kematian. Kecuali jika kita mendapat informasi alternatif yang lebih baik untuk mengganti informasi ini.
Semua informasi dan pengkondisian ini membuat kita beranggapan bahwa pengaturan tubuh kita ada pada kita. Sebagai akibatnya, kita mempersepsikan diri sebagai tubuh yang terpisah, dan muncul ide bahwa kita adalah ‘unit individu’, terpisah dari ‘keseluruhan’, dan ini menjadi rintangan terbesar kita. Sebagai akibat pengkondisian ini, kita terhukum oleh gaya hidup yang tercerabut dari ‘Esensi Universal’ sebagai asal kita.
Namun bagaimana dengan pengkondisian yang berlebihan dari lingkungan yang selalu menerpa kita? Memang, lingkungan memasok kita segala macam informasi, namun tentu tidak memaksakannya pada kita.
Mekanika sistemnya tak mentolerir alasan.
‘Kita’ lah yang memutuskan informasi mana yang mau kita serap. Terserah ‘kita’ untuk mengamati, mengkaji, menyelidiki data yang diberikan, memeriksanya terhadap ilmu terkini yang kita miliki serta mengujinya. Kita harus memeriksa data sesuai dengan temuan-temuan ilmiah, menentukan apakah itu benar atau tidak, lalu membuat keputusan untuk mengambilnya atau meninggalkannya, bukannya menerima segala yang diberikan sambil menutup mata.
Secara metaforik, menerima setiap informasi yang diberikan tanpa pengamatan sadar bagai mengubur kesadaran aktif kita ke dalam kuburan tubuh yang mati, sehingga tak sadar dengan ‘kebebasan’ semu yang kita rasakan. Seseorang yang tak dapat membebaskan diri dari kuburan tubuhnya ketika hidup, tak akan dapat membebaskan dirinya dari kuburan tanah setelah kematian!
Ketakmampuan kesadaran individual untuk mengenali sifat kehidupan seperti-kuburan ini, yakni terkungkung oleh pengkondisian bidang fisik, pasti akan mengakibatkan tubuh dan jiwanya terpenjara. Jika Akhirat merupakan akibat dari kehidupan sekarang, maka kegagalan untuk melarikan diri dari penjara tubuh kita, selama kehidupan kita di sini, akan menghasilkan penjara yang berlanjut di Alam Kubur (qabir) setelah kematian, yang menahan kita dalam kurungan ego kita, dan kuburan fisik.
Maka, mestinya prioritas pertama dan yang utama adalah ‘memahami kebenaran dari keberadaan kita secara sadar!’
Siapa kita sebenarnya? Apa kita itu? Bagaimana kita itu?
Bukti menunjukkan bahwa keberadaan kita tak dapat dibedakan dari tubuh fisik kita; tugas sesederhana apapun tak dapat kita lakukan tanpa menggunakan fungsi-fungsi tubuh kita. Jika kita tak memelihara tubuh kita, maka otak kita, yang ditopang oleh aktivitas dan masukan dari tubuh, tak kan dapat melaksanakan begitu banyak fungsi sesuai rancangannya.
Selain itu, tubuh astral yang disebut ‘ruh’, yang melanjutkan kehidupan setelah kematian, menerima semua masukan dan kesadaran dari otak. Karenanya penting bahwa otak benar-benar mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Sebagai pencipta dan mediator dari ruh, otak mengunggah sifat-sifatnya sendiri kepada tubuh yang dioperasikannya, memperkaya tubuh dengan sifatnya sendiri. Maka penting bahwa kita memberikan kepada otak kita hak-haknya, tanpa menutupi kesadaran kita dan tidak terperangkap oleh keinginan-keinginan tubuh. Kegagalan untuk melaksanakan hal ini akan merintangi perkembangan-diri kita dan dengan mudah mengakibatkan kerugian yang tak terukur.
Hanya ketika kita kehilangan tubuh kita, dan setelah melihat bagaimana rasanya berada dalam kesadaran murni, kita akan dapat membayangkan sampai titik mana kita telah menyengsarakan diri kita sendiri. Namun sayang, itu sudah terlambat, karena kita harus kehilangan kesempatan untuk memperbaiki kerugian kita.
Karenanya, sangat-sangat penting untuk memahami tubuh, fungsi sejatinya, ruh dan tujuannya. Siapa sebenarnya si ‘Aku’, yang terkandung dalam ‘jiwa’ kita, yang membawa di dalamnya ‘Esensi’ dari keberadaan kita? Apa sebenarnya kesadaran itu? Apa saja fitur-fiturnya?
Dengan pemahaman murni terhadap realitas-realitas ini, kita dapat mengadopsinya dalam gaya hidup kita. Ini akan meningkatkan kualitas hidup kita, juga melindungi kita dari konsekuensi ke depan. Sedangkan hidup dengan ketidakacuhan hanya akan berakibat kerugian.
Seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an:
“Siapa yang berbuat kebaikan seberat atom pun akan melihatnya, dan siapa yang berbuat kejahatan seberat atom pun akan melihatnya.” (Al-Qur’an 99: 7-8)
“Dan engkau tidak akan menemukan dalam Sistem Allah (Sunnatullah) perubahan apapun.” (Al-Qur’an 48:23)
Setiap orang, menurut aturan-aturan dan kriteria dari sistem ini, akan melaksanakan atau gagal melaksanakan perbuatan yang diperlukan untuk kebebasan mereka. Alasan apapun akan sia-sia.
Rasulullah [perwujudan ilmu Allah] menasihati kita dengan amal yang akan bermanfaat bagi kita, dan mengingatkan kita mengenai perbuatan-perbuatan yang tertolak.
Ajaran ini ditawarkan kepada kita bukan dengan paksaan, melainkan dengan nasihat, peringatan, dan ajakan.