Mengapa Ada Orang Suci Meninggal Tanpa Iman?
Kadang kita melihat bagaimana orang-orang berbicara dan bertingkah. Kemudian dari mereka ada yang mengatakan, 'dia seperti orang suci!' Namun kemudian yang bersangkutan meninggal dan memasuki dimensi berikutnya tanpa iman. Peritiwa yang menarik. Bagaimana bisa orang yang ilmu dan perilakunya meyakinkan kita bahwa dia memiliki kualitas seperti orang suci, tapi kemudian meninggal sebagai orang yang tidak beriman?
Ketika saya merenungkan pertanyaan ini, saya melihat hal berikut ini:
Rasulullah (saw) mengatakan: 'Keadaan ketika orang hidup adalah keadaan ketika dia akan mati, dibangkitkan kembali dan beralih dari dimensi kub ur ke tempat berkumpul (mahsyar).”
Ada dua jenis ingatan di dalam otak: ingatan jangka-pendek dan ingatan jangka panjang. Ingatan jangka-pendek digunakan untuk data sehari-hari dan penilaian sesaat. Ini kadang bertahan selama dua jam, dan kadang-kadang hingga penghujung hari. Bagian kesadaran yang bekerja di sini terkadang mengalihkan dan menyimpan data ini dalam ingatan jangka panjang, dan terkadang pula menghapusnya, seperti halnya RAM dan hard-disk.
Sementara itu, kita menyimpan semua informasi, pengkondisian-pengkondisian serta penilaian-penilaian yang kita peroleh dari waktu yang lampau dan yang melalui pewarisan genetika, di dalam ingatan jangka-panjang. Kesadaran pada ingatan jangka pendek kita (seperti memori RAM) menilai keadaan sekarang berdasarkan rangsangan yang diterima otak dari tubuh melalui hormon-hormon dan emosi-emosi.
Jika diperlukan, ingatan jangka-pendek mengakses data di dalam ingatan jangka-panjang.
Menurut pemahaman saya, hal ini sangat penting untuk memahami topik kita sekarang. Karena, tanpa melihat jenis informasi yang disimpan di dalam ingatan jangka- panjang, selama pengambilan-keputusan, kecerdasan akan selalu dipengaruhi oleh dorongan dan emosi-emosi jasmaniah.
Rangsangan dan emosi-emosi jasmaniah, dipicu terutama oleh hormon-hormon, berkaitan dengan dengan susunan biokimia tubuh secara keseluruhan.
Mereka yang familiar dengan masalah ini telah mengetahui bahwa produksi hormon yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang berarti serta menyebabkan ketidakseimbangan psikologi dari orang yang bersangk utan. Karenannya, rangsangan jasmaniah, pengaruh-pengaruh astrologis, pengkondisian- pengkondisian lingkungan dan informasi yang keliru memegang peranan yang besar dalam mengevaluasi data di dalam ingatan jangka-pendek. Keterlupaan akan data yang benar ataupun yang tidak benar yang mungkin tersimpan dalam ingatan jangka panjang, dapat memicu perilaku yang bertentangan dan menghasilkan evaluasi dan penerapan-penerapan yang keliru.
Dalam pemahaman pribadi saya, liver yang tidak sehat mengakibatkan rentetan ketidakseimbangan susunan metabolik dan biokimia, yang kemudian dipantulkan ke otak, menyebabkan kecerdasan melakukan penilaian dan penafsiran yang keliru dalam ingatan jangka-pendek. Karenanya, apapun yang bisa membahayakan liver mesti dihindari untuk menjaga sistem pikiran yang sehat serta otak yang sehat.
Jika kesadaran individu yang dirujuk oleh kata 'nafsu', yakni diri (jiwa, bukan tubuhnya) dapat menyelaraskan keberadaannya menurut data yang benar di dalam ingatan jangka-panjang, meskipun terjadi serbuan pengaruh astrologis, rangsangan jasmani dan emosi-emosi, hidupnya akan berjalan baik di dunia dan di akhirat. Ini hanya bisa terjadi apabila mereka 'menjinakkan nafsu (jiwa) mereka' dengan membersihkan diri dengan praktek-praktek Sufisme dan ilmu Islam. Atau sebaliknya, mereka akan mengalami masa yang sulit tidak hanya di dunia ini saja, melainkan juga di kehidupan yang akan datang.
Pada mulanya, shalat ditawarkan sebanyak 40 kali sehari, dan kemudian pada akhirnya berkurang menjadi lima kali saja. Mengapa lima?
Rasulullah, Muhammad Mustafa (saw), yang paling memahami dan mengerti tentang Al-Qur'an, selalu berdoa lima kali sehari; beliau dan para pengikutnya melaksanakan shalat di sepanjang hidup mereka. Dari sini dapat difahami bahwa shalat adalah sesuatu yang dijalani dan dirasakan bukannya sekedar dilakukan.
Mari menyadari peringatan “celakalah orang-orang yang lalai dengan shalatnya”. Yakni dengan mengingat pula perkataan, “Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa al- Fatihah”; orang yang melaksanakan shalat mesti merenungkan dan merasakan makna dari ayat-ayat yang sedang dibacanya di dalam shalat. Perenungan inilah yang memungkinkan pelakunya memasuki esensi dari shalat. Melalui perenungan meditatif ini, pelaku akan menyadari bahwa tubuh mereka hanyalah wahana sementara bagi mereka, dan bahwa mereka adalah 'khalifah' yang dianugerahi potensi-potensi 'agung' yang perlu digali dan diaktualisasikan dari potensi tidurnya sebelum beralih ke kehidupan akhirat.
Realisasi dan kegiatan mengingat ini membentuk aktivitas intelektual dalam ingatan jangka-pendek dan mendorong kehidupan seseorang ke arah data yang baru diperoleh, untuk periode waktu tertentu. Selama jam-jam terjaga, periode ini terbagi menjadi 5 bagian. Karenanya, bergantung pada kinerja ingatan jangka-pendeknya, pelaku menghabiskan masa hidupnya dalam 'iman', hingga periode berikutnya!
Bahkan, shalat tidak terbatasi oleh periode waktu. Setiap periode memiliki shalatnya sendiri.
Orang bisa saja membaca ajaran agama kata per kata, menghafal jalan Sufi dan menyimpannya dalam ingatan jangka- panjang sedemikian rupa sehingga dapat diingat kembali saat diperlukan, seperti halnya komputer. Karenanya, mereka bisa nampak 'seperti orang suci', padahal kenyataannya tidak lebih dari seorang filsuf!
Jika selama evaluasi mereka pada saat sekarang ini kesadaran mereka tidak mencegah mereka terperangkap oleh dorongan-dorongan jasmaniah, atau jika emosi- emosi mereka menyebabkan mereka menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan logika mereka, juga dengan kecerdasan dan 'ilmu keimanan' yang tersimpan di dalam ingatan jangka- panjang mereka, ini akan membuat mereka buta dan bertindak tanpa melihat realitas keimanan. Untuk orang 'tanpa iman' ini,'merasakan' kematian bahkan bukan sebagai pilihan! Mereka akan meninggal dan dibangkitkan sebagai orang yang 'tidak beriman.'
Oleh karena itu, kalah oleh dorongan-dorongan jasmaniah dan emosi-emosi serta berperilaku yang merusak kecerdasan merupakan isyarat yang nyata bahwa seseorang tidak memiliki keimanan terhadap wujud non-materi yang akan hidup abadi setelah kematian. Pengalaman kematian dari orang semacam itu akan selaras dengan ahwal (keadaan) 'tanpa iman' di dalam ingatan jangka-pendek mereka, sebanyak apapun jumlah orang yang tertarik akan ilmu dan perkataannya serta atribut perilaku orang-suci yang disandangkan kepadanya.
Ini adalah topik yang sangat luas; saya hanya berbagi mengenai gambaran umum dari pemahaman saya terhadapnya. Pemikiran yang lebih jauh pastinya akan sangat membantu dalam menggali lebih banyak hal lainnya...
Apakah kita pernah memikirkan sejauh mana ketidakseimbangan kolesterol dan hormonal yang tinggi bisa mempengaruhi kinerja otak dan psikologi kita?
Pernahkah kita berpikir bagaimana ketidakseim- bangan metabolik karena mengk onsumsi makanan yang berbahaya bagi liver dapat merusak energi biokimia otak kita, dan kemudian mengakibatkan kerusakan psikologis?
Telah saya katakan, ini adalah topik yang sangat luas. Tingkat pengetahuan manusia saat ini dalam bidang ini bagaikan melakukan bedah otak menggunakan kapak!
Menjauhkan diri dari apa-apa yang membahayakan keseimbangan otak, liver dan hormonal kita mungkin akan memberikan peruntungan yang tak terbayangkan bagi kita di akhirat...
Mari kita renungkan...
28 Juni 2003
Raleigh – NC, USA