Keluarga Anas Bin Malik Memeluk Islam
Pada waktu Ummu Sulaim menerima Islam, dia menikah kepada Malik bin Nadhr. Anas bin Malik lahir dari pernikahan ini. Ketika Ummu Sulaim mengetahui tentang kedatangan Muhammad, Rasulullah saw, dia segera menghadapnya dan menerima Islam dari Rasulullah langsung. Di belakang hari, Anas bin Malik mengetahui bahwa ibunya telah menjadi seorang muslim, dan dia mengungkapkan kekecewaannya dan mengritiknya:
“Jadi engkau telah meninggalkan agamamu? Kini engkau telah sesat?”
Ibunya berusaha menjelaskan keadaannya kepadanya:
“Tidak, anakku, aku tidak meninggalkan agamaku, aku pun tidak tersesat. Tapi aku telah yakin bahwa orang yang datang ke tanah kita ini benar-benar Rasul Allah.”
Pada waktu itu, Anas berusia sepuluh tahun, dan perkataan ibunya berdampak pada dirinya. Ummu Sulaim mendesak:
“Ayo katakan ini, ‘Tidak ada tuhan, hanya ada Allah, dan Muhammad adalah RasulNya.’”
Anas patuh dengan permintaan ibunya:
“Tidak ada tuhan, hanya ada Allah, dan Muhammad adalah RasulNya.”
Kemudian, ayahnya, Malik, masuk ke ruangan dan kebetulan mendengar percakapan mereka. Dia ingin mengingatkan anaknya untuk tidak mempercayai ibunya dan tidak mengikuti kata-katanya. Kemudian, dia beranjak ke luar rumah. Namun di perjalanan, dia menjumpai seorang musuh, dan akibat adu-mulut di antara mereka, dia terbunuh dengan tombak.
Setelah kematian Malik, Ummu Sulaim dan Anas bin Malik tinggal sendirian. Ummu Sulaim diajak menikah oleh Abu Thalhah, seorang musyrikin dari Madinah, namun dia menolaknya karena perbedaan keyakinan, meskipun kehidupan dia sudah maju.
Ummu Sulaim menyapa Abu Thalhah sebagai berikut:
“Engkau adalah orang yang sibuk menyembah batu yang tidak memberi manfaat maupun bahaya, bagaimana bisa aku menikahimu? Pikirkanlah itu, engkau menyia-nyiakan hidupmu menyembah sepotong kayu atau batu yang diukir oleh tukang kayu atau pematung!”
Abu Thalhah tidak bisa memberikan tanggapan dan meninggalkan Ummu Sulaim. Setelah beberapa waktu, dia melamarnya untuk kedua kalinya. Akan tetapi jawabannya sama. Namun kini, hatinya telah cenderung kepada Islam.
Akhirnya, setelah beberapa waktu berlalu, dia mengajukan lamaran yang ke tiga. Ummu Sulaim bahkan bicara lebih tegas dan memberinya sebuah jawaban yang jelas:
“Oh, Abu Thalhah, apakah berhala yang engkau sembah dibuat oleh budak dari si anu dan si anu?”
“Ya.”
“Maka, apakah engkau tidak malu menyembah sepotong kayu atau batu yang tumbuh dari tanah dan dibuat oleh budak dari anak si anu dan si anu? Jika engkau menerima keyakinan, menyatakan beriman kepada Allah, mengakui keimananmu kepada Rasul, dan jika aku mendatangimu pada kondisi itu, bagaimana menurutmu? Dengan cara ini, engkau memiliki iman, dan kita bisa hidup bersama.”
Mendengar tawaran ini, Abu Thalhah ragu untuk beberapa saat dan berkata, ‘Beri aku waktu untuk berpikir.”
Tidak lama setelah itu, dia kembali ke rumah Ummu Sulaim dan menyatakan keputusannya dengan mengatakan, “Aku beriman kepada Allah dan menerima bahwa Muhammad adalah Rasulnya. Dengan ketentuan ini, aku memintamu untuk menikah denganku.”
Keinginan Ummu Sulaim terkabul dan merekapun menikah.
Selama masa itu, Ummu Sulaim menuntun tangan putranya yang berumur sepuluh tahun itu, Anas ra., kehadapan Rasulullah. Dia berkata, “Ya Rasulullah, para wanita dan pria dari anshor mendatangimu dengan sambutan dan membawa hadiah. Tapi keadaanku tidak memungkinkan aku membawa hadiah. Oleh karenanya, aku persembahkan putraku kepadamu, dan aku tinggalkan dia untuk melayanimu dengan cara apapun yang engkau suka. Dia adalah anakmu, dan dia akan melayanimu sesuai kehendakmu.”
Sepeninggal Rasulullah saw, Anas ra. membuat pernyataan berikut, yang dianggap penting oleh para ulama Islam spiritual, karena menunjuk kepada kebenaran yang mendalam:
“Tidak ada satu pun di antara Anshor yang memberi Rasul suatu hadiah dan mencari ridanya dan syafaatnya sebagai imbalan, kecuali ibuku, Ummu Sulaim. Dia mempersembahkan aku kepada Rasulullah, mencari ridanya dan syafaatnya. Karenanya, Rasul berdoa bagi kami.”
Periwayatan ini menyoroti keimanan dan pengabdian yang sangat tulus dari Ummu Sulaim serta hubungan khusus keluarganya dengan Guru kita saw.
Anas ra. menerangkan tahun-tahun yang dilewatinya dalam kebersamaannya dengan Rasul sebagai berikut:
“Aku bersumpah demi Allah, aku melayani Rasulullah saw dalam beragam ekspedisi dan di masa mudah selama sekitar sepuluh tahun. Tidak sekalipun beliau berkata kepadaku, ‘Mengapa engkau melakukan ini?’ untuk sesuatu yang aku lakukan, tidak pula beliau bertanya, ‘Mengapa engkau tidak melakukan ini?’ untuk sesuatu yang tidak aku lakukan. Beliau tidak pernah mempertanyakan tindakan atau keputusanku, apapun itu.”
Perkataan Anas mencerminkan bagaimana Guru kita saw melihat orang secara hakikat, dan toleransi, kesabaran serta pemahaman beliau yang luar biasa.
Sebagai tambahan, saya ingin menyampaikan bait yang relevan oleh Ibrahim Hakki Erzurumi (semoga Allah menyucikan sirr-nya):
“Jangan katakan, ‘Mengapa seperti ini?’ Demikian itu karena ada alasannya. Lihatlah kepada akhirnya, bersabarlah! Lihatlah apa yang Allah lakukan. Apapun yang Dia lakukan selalu indah!”
Sungguh, Ummu Saulaim mempunyai arti yang sangat penting di antara pemeluk Islam paling awal. Kejadian penting lain dalam hidupnya menjadi pelajaran yang berharga dan teladan bagi semua muslim perempuan maupun laki-laki.
Ummu Sulaim ra. mempunyai seorang putra bernama Abu Umair yang sedang sakit. Pada suatu hari, ketika suaminya Abu Thalhah tidak di rumah, putranya itu meninggal. Agar suaminya tidak mendadak bersedih oleh berita duka itu karena keimanannya masih lemah, Ummu Sulaim memandikan dan mewangikan tubuh putra mereka itu dan dibiarkan berbaring di sisinya dengan ditutupi kain agar nampak seolah putranya itu sedang tidur.
Ketika malam tiba, Abu Talhah pulang dan bertanya, “Bagaimana kabar anak kita?” Ummu Sulaim menjawab, “Derita anak kita sudah berakhir. Aku yakin dia sekarang sudah tenang.”
Dia kemudian menyiapkan makan malam untuk suaminya, memastikan bahwa suaminya makan dan merasa puas. Dia berdandan diri dengan cara yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, nampak riang, dan mereka tidur bersama.
Ketika pagi menjelang, Ummu Sulaim menyapa suaminya dengan berkata, “Oh Abu Thalhah, apakah engkau telah melihat bagaimana tetangga kita berbuat kepada orang-orang tertentu?” Dengan terheran Abu Talhah bertanya, “Apa yang mereka perbuat?”
Dia menjawab, “Orang-orang itu diamanati sesuatu oleh orang lain, tapi mereka tidak mau mengembalikan barang yang diamanatkan kepadanya.”
Dengan heran Abu Thalhah berseru, “Mungkinkah tidur di atas suatu amanat? Betapa berdosanya mereka itu!”
Mendengar ini, Ummu Sulaim menjelaskan situasi sebenarnya kepada Abu Thalhah dengan berkata, “Oh Abu Thalhah, putramu Umair adalah amanat yang diberikan Allah kepada kita, dan kini Dia telah mengambilnya. Janganlah menentang Allah.”
Abu Talhah sangat marah pada ucapan istrinya itu dan berteriak, “Jika begitu adanya, mengapa engkau memperlakukanku dengan semua itu?”
Dia kemudian bangun, melakukan wudlu dan pergi menuju masjid untuk shalat Subuh. Setelah shalat, dia pergi menuju Rasulullah saw dan menjelaskan tentang situasinya.
Mendengar apa yang terjadi, Rasul berkata, “Semoga Allah memberkati malammu.”
Ummu Sulaim di kemudian hari mengetahui bahwa dia telah hamil malam itu juga, berkat doa Rasulullah. Kemudian, seorang anak lahir dan dia beri nama Abdullah. Dengan berkah dari doa itu, mereka mempunyai tujuh orang anak, yang semuanya menjadi pembaca dan penghafal Al-Qur’an.