‘Dimensi-dimensi tindakan’ (af’al) hanyalah pengungkapan Dimensi nama-nama yang ‘mewujudkan dirinya di setiap saat dengan cara lain yang menakjubkan! Dunia material sebagaimana yang kita kenal adalah bidang quantal ini, walaupun beragam persepsi menuntun kepada asumsi bahwa ia merupakan dimensi yang berbeda.
Yang Esa yang melihat, yang dilihat dan penglihatan, semuanya adalah SATU! ‘Anggurnya surga’ dimaksudkan kepada pengalaman ini. Orang yang terperangkap dalam persepsi keserbaragaman tidak memiliki kesempatan kecuali sibuk dengan obrolan mengenai ilmu ini, tanpa mengalami realitasnya.
Adapun mengenai Tindakan-tindakan, aktivitas-aktivitas, keserbaragaman dan apa yang kita persepsikan sebagai dunia jasmani... Keberadaan hanyalah milik dari apa yang ditunjuk sebagai Dimensi Nama-nama.
‘Melihat ilmu dalam ilmu dengan ilmu’ menandai bahwa pengungkapan sebenarnya dari Nama-nama merupakan tindakan melihat. Dari sudut pandang ini, semua bentuk diciptakan dan dilihat dalam ilmu. Karenanya telah dikatakan ‘seluruh alam (atau ciptaan) bahkan belum mencium baunya keberadaan’. Di sini, bagian merupakan yang melihat, dan keseluruhan adalah yang dilihat!
Kekuatan (kuwwa) yang berkenaan dengan Nama-nama dirujuk sebagai malaikat-malaikat, yang pada hakikatnya menyusun realitas manusia. Orang yang telah melihat realitas dirinya dikatakan telah ‘menyatu dengan Rabb mereka’! Ketika keadaan ini telah dicapai, dan kemudian tidak berlanjut, rasa sakit yang dihasilkannya dikatakan sebagai penderitaan neraka yang berat! Ini adalah ranah Kekuasaan (Qudrah) dan perintah Jadilah! (kun) berasal dari sini; ini adalah dimensi ilmu, dimana pikiran dan fungsinya sama sekali tidak berlaku! Ini adalah esensi dari tataran hikmah! Hanya kesadaran lah yang dapat berpartisipasi aktif di tataran hikmah, sedangkan pikiran hanya bisa mengawasi aktivitas yang terjadi!
Dimensi Tindakan-tindakan (af’al) dibandingkan dengan latar ini (dimensi Kekuasaan) secara keseluruhannya merupakan hal keberadaan holografik (bayangan). Semua aktivitas dari keseluruhan ragam jagat paralel dan semua penghuninya, yakni sumber daya alami, tumbuh-tumbuhan, mahluk melata (humanoid) dan jin, diatur oleh Mala-i A’la (Majelis Tinggi para malaikat) di latar ini, bergantung pada kemampuan persepsi dari yang melihatnya.
Rasul-rasul dan para penerusnya, para wali, bagaikan ekspresi vokal dari Mala-i A’la, yakni kekuatan (potensi) dari Nama-nama di muka bumi! Dan semua bagian dari penglihatan ini terjadi dalam dimensi Ilmu! Esensi dari manusia, dalam pengertian ini, bersifat malaikati dan diajak untuk mengingat sifat malaikatnya dan hidup sesuai dengannya. Ini adalah topik yang dalam dan sulit... Mereka yang tidak akrab dengan ilmu ini bisa saja memandang perkataan saya mengenai penglihatan yang terjadi dari beragam dimensi agak bertentangan. Namun demikian, realitas yang saya alami ketika saya berusia 21 tahun di tahun 1966, yang telah saya tuliskan dalam buku saya Pewahyuan, telah teruji berulang kali selama 45 tahun berikutnya, dan saya telah berbagi tentang semuanya tanpa mengharapkan balasan dalam bentuk apapun. Ilmu yang saya bukakan kepada khalayak umum bukanlah ilmu warisan melainkan berkat langsung dari Allah yang saya syukuri selama-lamanya! Oleh karenanya, tidak ada pertentangan di dalam kata-kata saya. Jika orang melihatnya demikian (ada pertentangan), mungkin karena ketidakmampuan untuk bisa terhubung dengan benar, karena pangkalan-datanya tidak memadai.
Jadi, jika ini adalah realitas sebagaimana yang saya lihat, bagaimanakah semestinya topik Nama-nama Allah didekati (difahami)?
Nama-nama Allah pada mulanya dinyatakan melalui kesadaran murni (pewahyuan) tanpa campur-tangan kesadaran seseorang, yang berusaha mengevaluasinya dikemudian waktu. Nama-nama merupakan fitur-fitur universal kosmik (bukan dalam artian galaktik).
Nama-nama Yang Paling Indah adalah kepunyaan Allah. Fitur-fitur struktural yang ditunjuknya berkenaan dengan yang Esa yang Mencukupi-DiriNya Sendiri secara Absolut. Nama-nama mendahului potensial quantum di luar ruang dan waktu; Nama-nama menyatakan maksudnya. Oleh karenanya, Nama-nama beserta maknanya adalah kepunyaan Allah semata dan bebas dari terkondisikan oleh konsep-konsep manusia.
“Maha Tinggi (Subhan – di luar jangkauan) Allah dari apa yang mereka sifatkan kepadaNya.” (Al-Qur’an 23:91)
“Dan kepunyaan Allah lah Nama-nama Yang Paling Indah, maka memohonlah kepadaNya melalui makna-makna dari Nama-namaNya. Dan tinggalkanlah kumpulan orang-orang yang melakukan penyimpangan (terperosok kedalam dualitas) terhadap Nama-namaNya. Mereka akan dibalas atas apa yang telah mereka perbuat.” (Quran 7:180)
Yakni, tinggalkanlah kumpulan oraang-orang yang membatasi Nama-nama dengan nilai-nilai manusiawi mereka, dan gagal mengenal realitas dari Nama-nama Yang Indah dan tidak mengenal Allah dari sudut Akbariyyah-Nya!
“Dan berimanlah (teguhkan) kepada (Nama-nama) Yang Paling Indah (sebagai realitas esensialnya), Kami akan mudahkan dia kepada kemudahan.” (Al-Qur’an 92:6-7)
Bahkan akibat-akibat dari kebaikan berhubungan dengan Nama-nama:
“Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (ihsan) adalah (Nama-nama) Yang Indah dan (kesenangan) yang lebih. Tidak ada kegelapan (egotisme) yang menutupi wajah mereka (kesadaran), atau kehinaan (yang dihasilkan dari penyimpangan terrhadap esensi seseorang). Mereka adalah para penghuni Surga; mereka akan tinggal di dalamnya selama-lamanya.” (Al-Qur’an 10:26)