Berkenaan dengan penciptaan Adam, Al-Qur’an mengatakan: ‘Sungguh, contoh penciptaan Isa bagi Allah adalah seperti penciptaan Adam’ (Qur’an 3:59). Yakni, dalam hal tubuh fisik, Adam pun lahir dari rahim seorang ibu. Tubuhnya juga melewati semua tahapan perkembangan biologi umumnya. Ini telah diterangkan melalui beragam perumpamaan. Namun di samping semua ini, apa yang dimaksud ‘Adam’ sebenarnya adalah seorang manusia yang telah mengenal dan mengakui secara sadar akan semua makna dari Nama-nama, dan karenanya layak mendapatkan titel ‘khalifah’. Inilah masalah sebenarnya. Semua hal lainnya hanyalah rincian dan bahkan mungkin tidak penting, karena tidak menjadi masalah dari mana atau bagaimana tubuh materialnya timbul, yang pada akhirnya akan membusuk menjadi materi sederhana di bawah tanah. Simbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan tertentu telah digunakan untuk menyiratkan bahwa aspek biologi tubuhnya diciptakan dari unsur atomik bumi, seperti halnya semua penduduk bumi. Namun, aspek tubuh biologinya tidak mempunyai relevansi terhadap apa yang ditunjuk oleh nama ini. ‘Adam’ adalah ‘kesadaran murni’, terbentuk dari ketiadaan, dan tersusun (‘ja’ala’ bukannya ‘khaliqa’)dari fitur-fitur dari Nama-nama dan dinamai sebagai ‘khalifah’ di bumi. Cukup memalukan bahwa banyak orang gagal memahami realitas ini dan menghabiskan hidup mereka untuk memperdebatkan proses penciptaan dari tubuh biologinya yang fana!
Mahluk setan yang dirujuk sebagai ‘Iblis’ memiliki kisah yang menarik. Iblis, yang pada pokoknya merupakan komposisi Nama yang menyusun fitur-fitur malaikat, menunjukkan ketiadaan ekspresi Nama—nama al-Waliiyy, al-Mumin dan al-Hadi. Karena kekurangannya ini, dia gagal untuk memahami betapa amat besarnya Nama-nama yang dimanifestasikan pada penciptaan bentuk yang terbaik (‘ahsani takwim’). Karenanya, dia mengevaluasi Adam menurut fitur-fitur yang nampak baginya dan gagal untuk melihat keunggulannya dari sudut pandang Nama-nama dan ekspresinya. Lebih dari itu, dia beranggapan bahwa menerima keunggulan Adam dibanding penciptaan dirinya akan berarti bahwa dia mengingkari realitas dirinya, karena dia pun diciptakan dengan dan dari Nama-nama, dan karena itulah dia enggan untuk bersujud. Jelaslah, mustahil bagi seseorang untuk mengevaluasi fitur yang dia sendiri tidak memilikinya.
Pada akhirnya, hal ini mengarah kepada kesadaran murni dalam bentuk Adam mendekati pohon terlarang, yakni menjadi terkurung oleh ketentuan-ketentuan kehidupan jasmaniah. Inipun merupakan anekdot yang menarik. Setan meyakinkan Adam sehingga cenderung kepada yang ‘salah’ menurut ‘kebenaran’-nya sendiri, dengan memasukkan ide: “Engkau telah diciptakan dengan realitas Nama-nama, engkau tidak dapat dibatasi atau dikondisikan oleh apapun, engkau harus berbuat sesuai keinginanmu. Jika engkau tidak makan dari pohon terlarang ini, yakni, jika engkau tidak hidup sejalan dengan ketentuan-ketentuan kehidupan jasmani, engkau sedang menerima batasan dan karenanya mengingkari realitas esensialmu, dan karenanya menghilangkan kekekalanmu!”
Sebagai akibatnya, kemanusiaan pada tingkat Diri yang Mengilhami (nafs-i mulhima), disimbolkan dengan nama Adam, menjadi terhijab dari martabat yang lebih tinggi berupa kesadaran murni, dan terperosok kepada martabat jasmaniah berupa Diri yang Memerintah (nafs-i amarah), menjadi terkondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan jasmaniah. Apabila ini mencapai titik puncaknya sehingga melupakan esensi diri mereka, mewujudlah pemberi peringatan dan penyampai realitas, yakni Rasul, mengajak manusia kembali kepada esensi mereka, kembali memiliki keimanan dalam martabat kesadaran yang lebih tinggi.
Apabila manusia, yang merupakan manifestasi Kesadaran Murni Universal, mulai merasakan dirinya sebagai mahluk sadar individual di dalam tubuh fisiknya, perjuangan untuk membina hubungannya dengan ‘pasangan’ mereka (tubuh jasmani) dan pertempuran untuk kembali kepada realitas esensial mereka akan dimulai.
Pendek kata:
Ada dua jenis kesadaran. Yang pertama adalah manifestasi Nama-nama secara keseluruhan, untuk melihat dirinya melalui penampakan komposisi-komposisi individual. Ini adalah Kesadaran Murni Universal. Jenis yang ke dua adalah kesadaran individu dari masing-masing manifestasi, terbentuk oleh pewarisan genetik, pengkondisian-pengkondisian lingkungan dan pengaruh-pengaruh astrologikal. Agar jelas, di dalam buku ini kami akan merujuk kepada ‘kesadaran’ jenis ke dua ini sebagai ‘kesadaran’ saja agar tidak membingungkan. Kesadaran merupakan produk (output) dari otak dan karenanya membatasi dirinya hanya meliputi tubuh semata (humanoid). Kesadaran menggunakan pikiran untuk mengevaluasi ide-ide dan hidup sesuai dengannya. Tapi pikiran, karena tekanan dari perubahan biologi tubuh, seringkali gagal berfungsi. Lebih jauh lagi, pikiran membuat penilaian dan keputusan berdasarkan persepsi indera. Inilah mengapa pikiran diajak untuk ‘beriman’, untuk memiliki ‘keimanan’ kepada apa yang ada di luar wilayah persepsi. Karena, realitas ‘di luar’ materi meliputi materi.
Sementara kisah-kisah mengenai Ibrahim (as) memperingatkan kita agar tidak mengidolakan dan mempertuhankan kemampuan lahir dan kemampuan batin kita, yakni mengenai tubuh dan komponen-komponennya, kisah-kisah mengenai Luth (as) memberikan contoh-contoh mengenai kehidupan yang keji yang diprakarsai oleh orang-orang yang terpenjara oleh kebutuhan-kebutuhan jasmaniah mereka dan nafsu seks. Di sisi lain, dalam kasus Musa (as), penekanannya pada pengakuan Fir’aun sebagai Tuhan, memperingatkan kepada kita adanya bahaya besar yang mungkin kita hadapi dalam mengejar keingin-tahuan akan diri sejati kita.
Pada saat buah realitas mewujud di dalam kesadaraan seseorang, sebenar apapun untuk mengaku “Aku lah Realitas’, pada akhirnya ia hanyalah sebuah refleksi komposisional dari Nama-nama tak-hingga yang menyusun esensi seseorang! Keseluruhan manifestasi menyusun fitur-fitur Nama komposisional. Karenanya, meskipun secara ‘esensi’ segala sesuatu mendapatkan daya hidupnya dari ‘Allah’ dan segala sesuatu adalah ‘Realitas’, mereka bukanlah ‘Rabb-nya seluruh alam’ (sumber dari makna-makna tak-hingga dari Nama-nama), yakni tidak satupun yang telah mewujud di dalam kosmos yang nampak ini dapat menjadi ‘sumber’ dan ‘penyingkap’ dari Nama-nama tak-hingga dan tak-dapat-dibatasi ini! Tidak satupun yang mewujud dapat menjadi ‘Rabb’ dari perwujudan lain. Karenanya, Fir’aun menjumpai apa yang diperbuatnya karena ketidak-peduliannya kepada kebenaraan ini. Semua orang yang bercita-cita untuk mencapai dan menjalani realitas akan melewati keadaan yang membahayakan ini, yang dalam Sufisme dikenal sebagai keadaan Diri yang Mengilhami (nafs-i mulhima)! Sebagai hasilnya, pada ketika seseorang menjauh dari realitas, dia diserang oleh ide yang dengannya Setan menghasut Adam: “Jangan batasi dirimu! Lakukanlah sesuai keinginanmu, hidup tanpa-batas!”, dan jatuh kedalam lubang dasar yang sempit dari martabat jasmaniah, martabat Diri yang Memerintah (nafs-i ammarah). Inilah mengapa Al-Qur’an berulang-kali menyampaikan kisah Musa (as) dan Fir’aun.