Pengingkaran (kufur), di sisi lain, bersandar pada keyakinan palsu bahwa tidak ada yang mengatur kesadaran individu selain dirinya sendiri. Membatasi kesadaran tak-hingga kepada manifestasi individual dengan memanggilnya ‘aku’merupakan penghinaan berat dan pembatasan terhadap sifat-sifat tak hingga dari Nama-nama, yang tak dapat dibatasi tubuh fisik semata. Upaya demikian dinamai pengingkaran (kufur) dan dikatakan bertentangan dengan fitur-fitur tak hingga dari Realitas sang Diri, sedikitnya dari sudut pandang keimanan. Upaya-upaya yang terus-menerus di jalan ini pada akhirnya menuntun seseorang membatasi sang Diri pada tubuh fisik semata, memberi jalan kepada pengejaran kesenangan hidup jasmaniyah, dan berpendapat bahwa kematian adalah kepunahan bukannya peralihan tempat tinggal.
Kemunafikan merupakan keadaan kehidupan jasmaniyah paling rendah dan paling kasar. Seorang yang munafik bukan hanya memilih mengingkari Realitas namun juga mengambil manfaat dari orang-orang beriman untuk keuntungan material dengan cara meniru mereka! Sementara seekor anjing mendekati tuannya untuk mendapatkan makanan dengan ketulusan sejati dan kesetiaan, seorang yang munafik tidak mempunyai maksud yang tulus dan mendekati orang lain hanya karena kepentingan. Buah dari realisasi keadaan ini adalah pembakaran (api) tak berbatas waktu dan tanpa ada jalan tebusan.
Iman adalah realisasi kesadaran, melalui akal, yakni melalui analisis terhadap beragam data, bahwa diluar realitas bentuk-bentuk dan konsep-konsep terdapat ketakhinggaan, dan ketakhinggaan inilah yang mesti dicari. Yakni untuk mengetahui ke’aku’an sebagai kesadaran, yang tidak dapat dibatasi dalam suatu bentuk material, dan berjuang di jalan ini. Hadits yang berbunyi “Ia yang hidup dengan ‘La ilaha illallah’ (“Tidak ada Tuhan. Hanya ada Allah.”) pasti akan masuk surga” menunjuk pada kebenaran ini. Ini berlaku bagi mereka yang belum bertemu seorang Rasul. Mereka yang telah bertemu dengan seorang Rasul, baik berhadapan langsung ataupun melalui ajarannya, wajib percaya kepada Rabb-nya Seluruh alam (sumber makna-makna tak hingga dari Nama-nama), atau Allah, sesuai dengan ajaran sang Rasul, dengan beriman kepada Rasul itu.
Saya katakan ‘beriman kepada Rasul” karena dari sisi penampakan, seorang Rasul adalah juga penduduk bumi dengan tubuh fisik. Tidak ada perbedaan di antara seorang Rasul dengan manusia lainnya. Namun perbedaannya adalah bahwa Rasul merupakan artikulasi dari Realitas, yang tidak dapat dilihat dengan mata fisik namun pada awalnya hanya dialami melalui keimanan.
Al-Qur’an menjelaskan ada dua tahap keimanan kepada Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah. Tahap pertama berkaitan dengan pencipta ‘external’ diluar jangkauan kesadaran individu, yaitu pencipta atau ‘dimensi Nama-nama’ yang mencakup fitur-fitur tak-hingga yang tidak dapat dibatasi. Ini adalah keimanan yang dirasakan oleh kebanyakan orang-orang yang beriman, dan dari sudut hasilnya, memungkinkan seseorang untuk menjalani kehidupan yang menunjang hal keberadaan surgawi. Tahap ke dua berlaku pada orang-orang beriman dengan hati yang benar-benar tercerahkan dan yang telah mencapai hakikat keimanan. Ini adalah keimanan yang disiratkan oleh huruf B, yang menunjuk kepada kebenaran bahwa realitas sang Diri adalah fitur-fitur dari Nama-nama, dan fitur-fitur ini mewujud dan akan selalu mewujud selamanya. Karenanya, ia memanggil yang beriman untuk bangkit kepada realitas yang melalui tindakannya sendiri selalu berdzikir dan mengabdi kepada Allah, dan karenanya pula, mengamati dan mengevaluasi kesempurnaan universal Allah pada bentuk-bentuk duniawi (Hamd) yang dimanifestasikan dengan nama al-Waliyy di dalam dirinya sendiri (b-Hamdihi).
‘Beriman kepada para malaikat’ berarti memiliki ‘keimanan kepada potensi-potensi’ yang timbul dari Nama-nama. Dengan kata lain, malaikat menunjukkan beragam potensi yang timbul selama proses dimana Nama-nama teraktivasi dari keadaan-keadaan diamnya. Karena apa yang telah dikenal sebagai alam keserbaragaman pada hakikatnya merupakan manifestasi-manifestasi individual dari beragam Nama-nama, keadaan yang lebih tinggi (lebih halus) dari segala sesuatu yang wujud bersifat malaikati (malakiyyah)… Perbedaannya bukan terletak pada apakah ini ada atau tidak, melainkan pada apakah realitas ini dikenali, atau setidaknya, diyakini atau tidak. Seseorang yang mengakui dirinya hanya sebagai penduduk bumi melalui kesadaran individu dan tidak memiliki keimanan akan sangat sulit untuk mengenal dan menerima kebenaran ini.
‘Percaya kepada Kitab-kitab – Ilmu’ adalah memiliki keimanan kepada ilmu tentang realitas dan mekanisme dari sistemnya – sunnatullah yang disampaikan oleh para Rasul dan Nabi melalui proses yang disebut pewahyuan, yang merupakan peralihan (pemunculan) dimensional dari ilmu ini melalui kesadaran murni.
Para Rasul adalah mereka yang tercerahkan yang mendapatkan ilmu mengenai realitas melalui kesadaran murni (tanpa pengaruh kesadaran pribadi mereka) dari Nama-nama dan potensi-potensi malaikati di dalam esensi mereka melalui pewahyuan dan yang mengkomunikasikan kebenaran-kebenaran ini pada tingkat kesadaran.
Percaya kepada akhirat, atau kehidupan abadi, adalah mengenal dengan keyakinan bahwa sang Diri tidak akan punah setelah kehilangan tubuhnya selama kematian, dan bahwa kematian itu juga merupakan sebuah realitas yang bersifat pengalaman. Yaitu, ketika seseorang lepas dari tubuh fisik biologis, akan terjadi proses yang disebut kebangkitan kembali (ba’ts), yang di dalamnya ia akan melewati dimensi kehidupan lain dengan tubuh halusnya, bersama dengan mahluk lain yang tidak kelihatan dan pada akhirnya melanjutkan kehidupannya di dalam salah satu dari dua dimensi yang dikenal dengan beragam nama.
Ketika huruf B digunakan sebagai kata depan dari sebuah kata yang berkenaan dengan keimanan, seperti ‘percaya kepada akhirat’ (bil-akhira) atau hari kemudian, ia menunjuk kepada beragam tahap perkembangan yang akan dilewati sang Diri(Qur’an 84:19) dalam pengejaran aktualisasi-diri.