Bagi mereka yang kurang memiliki sifat manusia, mereka akan mengingkari realitas mereka (kafir) dan menjalani hidup mereka yang digerakkan oleh hasrat-hasrat duniawi dan jasmani, menghilangkan ekspresi-ekspresi kesadaran murni. Sebagai akibatnya, mereka akan melanjutkan keberadaan tak-terbatas mereka dengan kesadaran sepenuhnya dalam keadaan yang disebut sebagai Neraka.
Segala sesuatu yang muncul dari ketiadaan kepada alam keserbaragaman ini mendapatkan keberadaanya dari, dan fungsi-fungsinya dengan Nama-nama Allah. Karenanya, dari sudut kesadaran murni, manusia yang menyadari dan hidup sesuai dengan realitas ini disebut sebagai khalifah-khalifah.
Al-Qur’an merujuk jiwa-jiwa yang diberkati seperti ini sebagai yang ‘hidup’ dan yang ‘melihat’. Sebaliknya, mereka yang gagal untuk mengenali atau mengingkari realitas mereka disebut sebagai yang ‘tidak-hidup’ dan yang ‘buta’. Manusia yang mengenal dan hidup sesuai dengan realitas mereka, memiliki sifat-sifat malaikat dalam hal esensi kesadaran murninya. Manusia demikian pada hakikatnya terdiri dari sifat-sifat yang ditunjuk dengan nama-nama Allah. Ketika mereka mewujudkan makna-makna dari Nama-nama ini, dengan cara yang sesuai dengan manusia sejati, akan muncul keadaan yang dirujuk sebagai surga. Dengan kata lain, surga bukanlah tempat tinggal bagi penduduk bumi belaka,melainkan keadaan kehidupan bagi manusia-manusia yang fitur-fitur malaikatnya dapat mewujud. Saya sungguh berharap bahwa hal ini difahami dengan baik.
Semua contoh dan peristiwa yang dikisahkan dalam Al-Qur’an semata untuk tujuan agar manusia dapat mengingat realitas esensial mereka, mengenal diri mereka sendiri, dan karenanya memanfaatkan hidup mereka sekarang dengan lebih baik.
Salah satu hal yang paling penting yang layak mendapat perhatian berkenaan dengan gaya Al-Qur’an adalah:
Segala sesuatu, yakni langit, bumi, dan segala sesuatu di antaranya, dibentuk oleh sifat-sifat yang dikenal sebagai Nama-nama Allah. Karenanya, semua benda yang terindera maupun tidak terindera berdzikir (memanggil) Yang Esa yang ditunjuk oleh Nama Allah, dengan kehidupan dan fungsi mereka. Oleh karena itu, segala seuatu, dengan fitrah alaminya, berada dalam keadaan mengabdi kepada fitur-fitur dari Nama-nama yang mencakup keberadaannya, yakni kepada Allah.
Karena hal ini, kata ‘KAMI’ sering digunakan di dalam Al-Quran, menekankan realitas bahwa seperti aspek ‘makna’ dari penciptaan telah diciptakan dengan Nama-nama, aspek ‘tindakan’ dari penciptaan pun terjadi dengan sifat-sifat dari Nama-nama.
Jadi, dengan mengatakan ‘KAMI’, tindakan yang seolah timbul dari keserbaragaman sebenarnya sedang dirujuk kepada pemilik sah mereka.
“Rabbnya Seluruh-alam’ (Rabbul Alamin) merujuk baik kepada keberadaan yang mencakup Nama-nama maupun kepada Nama-nama aktual yang mencakupnya.
Mengingat hal ini, sifat struktural dari Nama-nama pra-kekal (qidam) dan ekspresi-ekspresinya, yakni kosmos, tidak lain kecuali dalam keadaan pengabdian mutlak kepada Allah. Di setiap saat, mahluk selalu dalam keadaan melakukan permohonan dan mengingat Allah, menunjukkan ilmu dan kekuasaan Allah. Allah memberitahu manusia mengenai realitas ini yang bukan lain hanyalah sebuah konfirmasi. Inilah sebabnya mengapa Allah mengatakan ‘KAMI’ ketika merujuk kepada Nama-nama.
Mengingat hal ini, untuk menghindari seseorang dari pengkondisian atau membatasi Dia dengan makna-makna ini, sering diperingatkan bahwa Esensi AbsolutNya (dzat) itu di luar jangkauan dan lepas (Ghani) dari alam-alam’. Tidak ada sesuatu pun dapat diserupakan kepada atau mendefinisikan Esensi AbsolutNya.
Ini juga berarti, ‘pengaturan dari alam-alam’-Nya adalah melalui alur dari masing-masing Nama-namaNya, baik Nama-nama ini mewujud dengan nama astrologi, ataupun sebagai bentuk kehidupan yang dikenal dan yang tak-dikenal di dalam kosmos; baik orang menyebutnya sebagai kesadaran, atau bentuk-bentuk kesadaran, mahluk tak terlihat, atau surga dan neraka, semua dimensi keberadaan merupakan ragam cara dari pengaturanNya.
Mengenai makna sebenarnya dari politeisme atau dualitas (syirik): seseorang yang gagal mengenali Yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah dalam semua yang implisit maupun eksplisit (di dalam diri maupun di dunia luar) sebagai manifestasi dari Nama-nama, di dalam Al-Qur’an didefinisikan sebagai politeis atau menduakan. Dengan kata lain, dengan menganggap keberadaan yang terpisah dan setara terhadap manifestasi Nama-nama Allah merupakan sebuah tindakan memecah-mecah Kesatuan realitas, dan karenanya merupakan tindakan yang mendukung dualitas (syirik). (Kata asli yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah min duni Allahi yang berarti ‘setara dengan’ atau ‘ekivalen dengan’, merujuk kepada keberadaan yang ‘lain’ selain Allah. Padahal, Allah menegaskan bahwa tidak ada bentuk keberadaan yang dapat ditemukan di luar Allah karena Allah meliputi seluruh keberadaan. Jadi, untuk menolak semua kemungkinan ekivalensi dari tuhan-tuhan lain, Al-Qur’an menggunakan kata min duni Allahi.) Dengan kata lain, ini merupakan tindak perbuatan syirik (menganggap ada keberadaan terpisah) dengan Nama-nama, kepada Nama-nama.
Seperti dapat difahami dari uraian di atas, Allah, yang dari sudut Esensi AbsolutNya bebas dari konsep-konsep seperti dualitas dan non-dualitas, mendefinisikan syirik sebagai kegagalan untuk mengenal sifat keberadaan sejati. Yakni, ketika seseorang gagal untuk melihat bahwa segala sesuatu yang mewujud pada hakikatnya terdiri dari Nama-nama, maka ia sedang mengasumsikan keberadaan setara terhadap Nama-nama, dan ini bertentangan dengan realitas non-dualitas. Karenanya, orang seperti ini gagal dalam memahami Allah dengan sebenar-benarnya dan terus hidup dalam dunia khayal dalam imajinasinya.