Jika dipandang dari tingkatan Kewalian Kubro, esensi dari penyingkapan Ilmu Allah (Nubuwwat), bagaimanapun tidaklah ada, selain dari Esensi Absolut (dzat). Karenanya, dikatakan bahwa Esensi Absolut mewujudkan, dari ketiadaan, makna-makna yang dikehendakiNya untuk melihat dalam Ilmu itu dari DiriNya Sendiri, kepada DiriNya Sendiri. Di sini, tentu saja, kita merujuk pada makna-makna dari Nama-nama Allah, bukan Perbuatan-perbuatan Allah.
Allah menciptakan makna-makna, kemudian menyingkapkannya melalui perwujudan. Pada setiap saat, makna-makna yang mewujud ini berinteraksi satu sama lain menurut sifat-sifatnya, dan berdasarkan ini saling memandang satu sama lain sebagai Perbuatan-perbuatan Allah. Meskipun saya katakan ‘setiap saat’, tetap ingatlah bahwa pada kenyataannya hanya ada ‘satu’ saat, karena keseluruhan perwujudan merupakan hasil dari penampakan tunggal, yang oleh Sufi disebut sebagai Satu Penampakan (Tajalli Wahid) atau Penyingkapan Tunggal. Semua dimulai dan diakhiri pada ‘titik’ itu; alif, dan sisanya hanyalah ilusi.
Terkait dengan tingkatan ilmu, ada makna Nama-nama, yang mewujud melalui tindak penciptaan, seperti disebut oleh ayat berikut:
“Sesungguhnya, Allah (dari sudut Hakikat AbsolutNya) benar-benar Maha Kaya dari (terkondisikan dan terbatasi oleh) seluruh alam (komposisi individu dan material dari Nama-namaNya).” (Qur’an 29:6)
Fakta bahwa ilmu tidak ditentukan olah perwujudan terbukti dari Kebercukupannya Allah (Ghani) dan Tak bergantung pada Alam dan makna-makna dari Nama-nama yang diturunkan darinya. Jika ilmu ditentukan oleh penciptaan, maka ayat “Allah terbebas dari kebutuhan akan alam” menjadi tak berlaku, karena ini mengisyaratkan bentuk ketergantungan kepada alam.
Sedangkan Allah, yang terbebas dari kebutuhan akan dan tak bergantung pada alam, mengindikasikan Keabsolutan Hakikat Allah (dzat) yang dirujuk oleh para Sufi sebagai esensi murni dan absolut (dzat-I baht).
Sebenarnya, Esensi Absolut Allah (dzat) bahkan tak dapat didefinisikan sebagai ‘Keabsolutan’ karena kata ini hanya sebagai indikator terhadap Esensi Absolut (dzat) berkaitan dengan tingkat-tingkat perwujudan yang lebih rendah. Dalam kenyataannya, ‘Esensi’ ini tak dapat dijelaskan dengan istilah-istilah ‘keabsolutan’, ‘kemurnian’ atau ‘keberadaan’.
Jika kita benar-benar dapat memahami realitas mendasar, kita akan bisa memandang topik ini dari puncak kerucutnya, dari titik kesatuan.
Bukankah peristiwa yang kita kenal sebagai ‘Big Bang’ merupakan simulasi dari konsep yang sama pada tingkatan makro? Peristiwa yang disebut Big Bang ini merupakan hasil dari zat putih yang terbentuk dari lubang putih… Seluruh jagat dalam kosmos lahir dari ‘titik-titik’ tunggal semacam ini dan mengembang menjadi apa yang nampak sekarang ini. Titik pertama itu merupakan titik penentu dari akhirnya. Seperti halnya sel pertama seekor gajah, misalnya, juga mengandung informasi dari sel terakhirnya.
Karenanya, seperti halnya ekspresi tak-hingga dari keberadaan di dalam kosmos semuanya berasal dari satu titik utama, semua ‘makna’ di semua alam berasal dari IlmuNya Allah, berdasarkan pada Kehendak dan KekuasaanNya yang Tak-Hingga dan Tak-Terbatas.
Jika kita dapat memahami zat dengan cara ini, kita tentunya akan memahami dengan lebih jelas tentang ‘takdir’.
Allah berfirman “Aku ciptakan manusia sebagai khalifah-khalifah di muka bumi” dan “Manusia adalah khalifah di muka bumi”.
Ada khalifah-khalifah di berbagai langit, yakni di semua dimensi lain di jagat raya. Setiap dimensi, menurut struktur dan kapasitasnya, memiliki khalifahnya sendiri-sendiri. Apa yang kita tahu mengenai khalifah adalah seseorang yang diutus ke bumi, terbatas pada wilayah bumi. Namun hanya ada ‘satu’ khalifah sejati, yakni yang para Sufi menyebutnya Manusia Sempurna (Al-Insan Al-Kamil) yang merujuk kepada Ruh Agung (Ruh-ul Azam) yang dikenal sebagai Realitas Muhammad (Hakikat-I Muhammadiyyah) dan terkait dengan ilmu sebagai Kecerdasan Pertama (Aql-I Awwal).
Adam merupakan miniatur dari Ruh Agung. Cukup menarik, kata Adam secara harfiah berarti ‘hampa’ atau ‘tiada’. Ia memiliki nama namun keberadaannya hampa! Seperti halnya burung Roc, ada namanya namun dirinya tak berwujud!
Telah kita fahami bahwa keberadaan yang kita indera pada hakikatnya milik Allah ... Ini kemudian berkembang dan berlipatganda melalui Nama-namaNya, sejalan dengan bertambahnya Nama-nama, atau ekspresi-ekspresinya dan perwujudannya, keberadaannya pun nampak berlipatganda! Sedangkan dalam istilah ‘Keesaan’ (Wahidiyyah), keberadaan hanyalah ‘Satu’.
Andai pada setiap ombak kita beri nama, hal itu tidak akan merubah fakta bahwa semuanya adalah ombak. Apakah sebagian lebih besar dan yang lainnya lebih kecil, sebagian lebih menggulung sedang yang lainnya tidak demikian, semuanya tetap sebagai ombak dalam samudera yang sama. Hal ini tepat seperti beragamnya persepsi berasal. Persepsi berbeda menurut pandangan (basirah). Jika Anda memandang dari atas, tidak akan nampak adanya perbedaan atau perselisihan apapun, baik perubahan maupun pertentangan.