“Ilmu adalah satu titik. Mereka yang jahil melipatgandakannya” demikian kata Hazrat Ali ...
Karenanya, dengan menyambung kata-kata beliau, saya sendiri menunjukkan ketakpedulian saya dengan berpanjang-panjang bicara. Namun demikian, dengan menunjukkan ketakpedulian ini pada saat yang sama menyingkapkan kesempurnaan dari ‘Mereka Yang Disempurnakan’, karena segala sesuatu dikenali melalui lawan-lawannya. Jika sesuatu tidak memiliki lawan, maka manfaat dan nilainya tidak akan dikenali. Segala sesuatu diciptakan berpasangan, yang satu menjadi lawan yang lain, yang satu relevan terhadap yang lain.
Peleburan dari hal yang bertentangan ini hanya dapat terjadi pada titik “Kesatuan’.
Dan Kesatuan hanya dapat dipandang dengan menyingkirkan tirai-tirai yang menutupinya; tirai-tirai yang berasal dari diri terhadap dirinya sendiri.
Esensi Absolut yang namanya Wahid (Yang Esa) menyatakan sifat WahidiyyahNya (Keesaan), mewujud dengan fitur-fitur dari Dimensi Sifat-sifat, sehubungan dengan RahmaniyyahNya (potensi tak hingga dimana Nama-nama agungnya berasal). Dengan fitur-fitur ini Dia kemudian membentuk kedaulatan Nama-nama pada Dimensi Malikiyyah (Kekuasaan Agung). Kemudian ke arah luar nama-nama ini menjadi gamblang dalam Alam Perbuatan (af’al) sesuai dengan keyakinan RububiyyahNya, dalam bentuk susunan Nama-nama yang unik.
Setiap entitas, atau ihwal perwujudan, membawa dalam dirinya semua sifat komposisional dari rantai evolusi ini.
Muhammad (saw) mengatakan: “Setiap partikel sama dengan keseluruhannya”; menunjuk pada realitas dari jagat holografik.
Partikel mendapatkan esensi, sifat-sifat dan fitur-fiturnya dari Esensi, Sifat-sifat dan Fitur-fitur dari Yang Esa Yang Tak Hingga. Perbuatan-perbuatan dari partikel ini merupakan konversi dari fitur-fitur agung implisit ini menjadi perwujudan-perwujudan eksplisit.
Memandang apapun dari sudut ini, kita tak akan melihat apapun kecuali Yang Esa.
Kita menyebutnya dimensi Perbuatan-perbuatan Allah, dimensi Nama-nama, dimensi Hakikat AbsolutNya dan lain-lain ... Namun apa sebenarnya pemahaman kita terhadap kata ‘dimensi’? Dimanakah letak dimensi nama-nama dipandang dari sisi Perbuatan-perbuatan? Dimana letak Sifat-sifat dipandang dari sisi Nama-nama?
Mereka menempatkan ‘Kursi’ di 7 langit, dan ‘Singgasana’ (arsh) di atas Kursi, kemudian mencari tuhan di dalam parameter-parameter ini, sedangkan “Dia hadir dengan EsensiNya di setiap partikel”.
Esensi Absolut Allah (dzat) tidak berhingga, jadi jika Dia hadir dengan Diri Tak HinggaNya di setiap partikel, dalam setiap dimensi, maka pada kenyataannya tidak ada partikel apa pun, yang ada hanya Dia Yang Kekal.
Selama kita gagal untuk memahami sepenuhnya Ketakterbatasan Allah dari sudut pandang ‘Keesaan’Nya (Wahidiyyah), pemahaman kita mengenai Islam dan Iman tidak akan pernah cukup.
Al-Qur’an menggambarkan keadaan orang semacam ini dengan:
“Tidakkah engkau lihat orang yang mempertuhankan ‘hawa’-nya (hasrat insting, bentuk tubuh, diri ilusi)?” (Qur’an 25:43)
Orang-orang telah menciptakan tuhan dalam khayalan mereka berdasarkan pengkondisian mereka sendiri, dan mereka menyia-nyiakan hidup mereka dengan menyembah tuhan khayalan ini.
Agar tidak menjadi salah satu dari mereka kita mesti memahami, melihat, merasakan dan menghayati Ketidakterbatasan Allah dari sudut pandang KeesaanNya (Wahidiyyah).
Semua ini hanya dapat dimengerti melalui pengalaman, bukannya dengan membaca, melainkan dengan menghayatinya.
Untuk bisa menjalani dengan sepatutnya, mesti dipicu dengan suatu sebab. Kita harus mampu melampaui kata-kata dan menjadi pewujud dari makna-maknanya. Kita mesti melepaskan diri dari tirai keberadaan, hingga yang tersisa hanyalah Yang Melihat.
Untuk mencapainya, pertama-tama kita harus meyakini dan kemudian mengejar keyakinan ini. Kita mesti dibersihkan dan dimurnikan dari semua pengkondisian kita dan emosi-emosi yang terikat padanya.
Setelah ini terjalani, kita mau tidak mau akan terperosok pada pemenuhan hasrat insting dan hasrat tubuh alami. Karenanya, kita mesti bertindak ekstra waspada menghadapi ujian jasmani kita di bawah pengawasan yang ketat.
Setelah ini tercapai, kemudian kita mesti menghancurkan ilusi atas ‘Diri’ yang terpisah dan “Mati sebelum mati”seperti yang dikatakan para Sufi, yakni menjadi tiada dan menyadari bahwa Yang Kekal hanyalah Allah.
Setelah semua itu, kita akhirnya bisa melepaskan diri dari berpikir sebagai manusia dan mulai berpikir sebagai mana Allah berpikir, sebagaimana perkataan Yesus.